Sejak Kapan Terlalu Lama Melamun Dianggap Gangguan Mental?
Ilustrasi oleh Ben Thomson

FYI.

This story is over 5 years old.

Gangguan Mental

Sejak Kapan Terlalu Lama Melamun Dianggap Gangguan Mental?

Di dunia ini ada gangguan melamun. Pengidapnya akan menghabiskan berjam-jam membayangkan fantasi yang menghancurkan hidup mereka. Parahnya, mereka tak bisa berhenti.

Artikel ini awalnya terbit di The Wireless.

Andrea melamun minimal tiga jam sehari, berguling dari satu sisi ranjang ke sisi lainnya diiringi musik. Melamun membuatnya merasa "aman, hangat, seru, gembira, puas, dan seimbang." Tampaknya, alasan itu juga yang memicunya tidak pernah menikah. Dia adalah seorang detektif kepolisian. Dia tidak mau kebiasaannya melamun diketahui orang.

Sesi melamun Bill, manajer fasilitas, bisa bertahan hingga delapan jam. Dia sering melamun gelap-gelapan di dalam kamar tidurnya, atau sembari berjalan kaki dan mendengarkan playlist yang sama berulang-ulang. Dia pernah berjalan selama lima jam tanpa "sadar", dan ketika dia akhirnya berhenti, tumitnya berdarah karena terlalu lama berjalan kaki.

Iklan

Julia kesulitan bekerja karena pikirannya mudah ke mana-mana. Alih-alih dia tertawa, menangis, menyanyi, berbicara sendiri, dan setelah berjam-jam melakukan semua itu dia kelelahan. Melamun menyita tujuh puluh persen waktunya. Dia merasa kawan-kawannya mungkin telah menyadari ada yang aneh dari dirinya.

Pada 2002, Dr Eli Somer, profesor psikologi klinis dari University of Haifa di Israel, mencatat bahwa enam dari 24 penyintas kasus kekerasan anak yang dia rawat "terkadang melamunkan sebuah kehidupan rahasia."

Perilaku ini berbeda dari begong tidak disengaja di kala bosan. Lamunan mereka hiper ril dan sangat terperinci. Mereka melamunkan versi diri mereka yang lebih baik. Mereka melamunkan kekerabatan, ketenaran, romansa, penyelamatan dan pelarian diri. Aktor dan penyanyi tersohor turut meramaikan lamunan mereka.

Mereka melakukan gerakan repetitif—mondar-mandir, bergoyang, berputar, melempar bola ke udara. Mereka juga menyetel musik yang emosional. Menurut mereka, musik semacam itu dapat memicu lamunan dan memperpanjang skenario kegemaran mereka.

Somer tidak khawatir soal intensitas melamun mereka, atau bahkan waktu yang mereka habiskan untuk melamun. "Kebanyakan orang melamun kok," dia bilang dari kantornya di Haifa. "Melamun adalah fenomena normal, sebagaimana fenomena psikiatrik lainnya yang tersebar pada spektrum normal hingga abnormal." Pasien Somer tidak menunjukkan gejala psikosis atau skizofrenia; mereka sadar betul lamunan mereka bukan realita, dan bisa membedakan keduanya.

Iklan

Begini pikiranku yang ngawur: ngapain menjalani kehidupan kalau khayalan terasa jauh lebih indah?

Somer khawatir saat mendengar pasiennya tidak bisa berhenti melamun. Mereka mengaku kecanduan melamun. Sebagaimana kecanduan lainnya, mereka jadi kesulitan berfungsi sehari-hari. Kalaupun mereka memiliki sahabat, karir, dan pacar, mereka akan tetap fokus pada lamunan mereka. Tak ada satupun hal atau orang yang dapat mengusik keasyikan dunia khayal mereka.

Karena tercengang, Somer menuliskan temuannya ke dalam makalah penelitian dan menyebut perilaku melamun akut sebagai "Maladaptive Daydreaming" (disingkat MD). Somer mendeskripsikan perilaku ini sebagai "aktivitas mengkhayal ekstensif yang menggantikan interaksi antar manusia dan/atau menghalangi fungsi akademik, interpersonal, dan bekerja." Tapi tak satu pun orang di komunitas akademik menghiraukan makalah Somer, jadi dia tidak melanjutkan makalah itu.

Tanpa diduga, ribuan surel memenuhi kotak surel Somer.

"Mereka lagi Googling 'khayalan intens' dan kata kunci lainnya, dan ketemu lah sama artikel saya," ujar Somer masih terkesima. "Saya menerima ribuan surel dari segala penjuru dunia, memohon: 'Tolong, kami butuh bantuan. Kami telah mengunjungi dokter, psikologis, tapi kita engga diabaikan."

Dr Eli Somer. "Saya terkejut dengan fenomena ini."

Enam jam setiap hari—atau bahkan seharian penuh jika dia sedang sendirian.

Giting akibat melamun adalah perkara mudah karena kamu bisa jadi pecandu sekaligus bandarnya, kata perempuan berusia 26 tahun Natalie Switatala. "Begini pikiranku yang ngawur: ngapain menjalani kehidupan kalau khayalan terasa lebih indah? Aku engga pernah kepengin berpergian [jauh]. Bahkan naik ke puncak Eiffel Tower jauh lebih menyenangkan dalam khayalanku."

Iklan

Selama bertahun-tahun seorang mahasiswa dari Canberra, Australia, bertanya-tanya apa yang salah dengan dirinya. Lalu dia menemukan makalah Somer di Internet dan "sejak itu segalanya berubah."

Hari-hari ini dia menjadikan situs peer-support Wild Minds Network sebagai tempat pelarian. Situs itu memiliki 5,500 anggota yang mengidentifikasi diri sebagai "MDers." "Saya merasa kesepian selama bertahun-tahun. Saya kira saya satu-satunya orang yang mengalami kecanduan melamun," begitu bunyi sapaan pada situsnya. "Dulu saya merasa malu dan takut jika ketahuan. Sekarang saatnya menghentikan ketakutan itu. Kita bukan orang freak."

Komunitas MD secara luas menunjukkan kekuatan dari pembentukan istilah medis pada zaman Internet. Ada grup Yahoo dan Facebook, ada subreddit, forum kesehatan, blog personal, dan video YouTube. Laman demi laman dipenuhi rentetan pertanyaan serupa ini:

"Elo suka skip, engga?" "Elo kalau melamun ruangannya harus gelap?" "Teman-teman elo tahu kondisi elo?"

Somer dan beberapa orang duduk melingkar, bertukar kisah untuk melengkapi riset mereka. Makalah terbaru mereka, dengan 447 responden dari 45 negara; pelamun termuda berusia 13 tahun, dan tertua berusia 78 tahun. "Bayangkan sebuah program televisi yang terus diperbaharui setiap 30 tahun sekali," ujar responden dengan nomor urut 221. "Bayangkan semua pengalaman yang dilalui para karakternya. Itulah yang terjadi di pikiranku selama lebih dari tiga puluh tahun terakhir."

Iklan

Penelitian ini tergolong baru dan masih perlu pengembangan, ujar Somer, tapi mereka kini mengetahui bahwa trauma masa kecil tidak selalu menjadi pemicu (meski seperempat MDers pernah menjadi korban kekerasan). "Sebagian orang sepertinya terlahir dengan kemampuan melamun dengan intens." Beberapa responden lebih menggemari fantasinya daripada kehidupan nyata, dan mengaku tidak tahan dengan godaan melamun.

Dorongan untuk melamun rasanya seperti terikat pada roda yang tidak akan berhenti berputar, ujar Natalie, yang mudah terpicu oleh apa saja: lagu, iklan, bahkan baju-baju di majalan. "Aku langsung membayangkan diri sendiri mengenakan pakaian itu, lalu membangun cerita di sekitar pakaian itu."

"Rasanya seperti kehilangan kendali," kata Natalie, "dan setelah kamu giting, kamu akan crash. Kalau aku mencoba berhenti, rasanya kayak sakau. Aku jadi sakit, muntah-munta dan kena migrain." Dia menuliskan hal itu pada newsletter lokal dengan fokus kesehatan mental miliknya. Di situ, Natalie menggunakan nama aslinya karena dia ingin menormalkan MD—"agar orang lain yang menderita tahu mereka engga sendirian, dan ke mana harus mencari bantuan.

"Aku pengin offline sejenak dan turun ke jalan."

Tidak semua MDers ingin menghilangkan kebiasaan melamun mereka. Sebagian dari mereka ketakutan karena rasanya seperti keluar dari kepompong mereka selamanya.

"Aku menghabiskan hampir setiap detik dengan melamun," tulis pemilik akun Reddit SaveItForRainyDay17, yang mengaku dia engga sadar hingga baru-baru ini bahwa ada istilah khusus untuk perilakunya. "Tanpa ini, aku mungkin sudah mencoba mencoba bunuh diri. Beberapa orang memakai narkoba, mabuk-mabukkan, atau berjudi untuk kabur. Kalau aku, aku punya dunia khayalanku."

Iklan

MD adalah sebuah upaya mengkompensasi, ujar Somer. "Contohnya, orang-orang yang sangat pemalu dan introvert atau memiliki kecemasan sosial. Mereka pasti lebih nyaman membayangkan diri mereka bergaul dengan bintang pop, bintang rock, atau menjadi orang terkenal."

Penyintas kekerasan acapkali membayangkan diri sebagai pahlawan super, menjelajah pada malam hari dan menyelamatkan anak-anak. Kadang mereka membayangkan jadi pihak yang diselamatkan. Laki-laki penyintas kekerasan cenderung memiliki khayalan keji. "Mereka berperang, melawan musuh dengan pedang, atau membom musuh."

Natalie sering melamun dia jadi orang terkenal dan berkawan dengan para selebriti. Ini soal membangun koneksi, ujarnya. Sering juga ada unsur "damsel in distress," seperti mengkhayalkan seorang laki-laki datang untuk menyelamatkanku, mendekapku dan membuat segalanya baik-baik saja. Terkadang dia bahkan membayangkan kematiannya sendiri, lalu menangis.

Pada tahapan tertentu, rasanya seperti menjalani dua kehidupan berbeda.

Hal umum bagi MDers untuk membumbui lamunan mereka dengan tragedi, ujar Somer. "Spekulasi saya adalah, mereka memiliki kesedihan mendalam yang terlalu berbahaya untuk diutarakan. Jadi mereka membayangkan sesuatu yang menyakitkan terjadi. Tapi bedanya, dalam khayalan mereka bisa mengatur intensitas rasa sakit itu."

Natalie pernah mengalami kekerasan seksual saat remaja. Ayahnya jarang di rumah, dia bilang. "Aku rasa melamunkan seorang laki-laki mencintaiku, muncul dari kebutuhan emosional yang tidak terpenuhi."

Iklan

Natalie mempunyai pacar (nyata) yang mengetahui perilaku melamunnya, tapi mereka jarang membicarakannya karena dia biasanya baru mulai melamun setelah pacarnya pergi kerja. Pagi ini, Natalie bilang, dia sedang duduk di ranjang dikelilingi kawan-kawannya; kawan baru maupun lama. "Selalu ada seorang laki-laki, atau siapa saja, yang saya ingin buat terkesima," ujarnya.

"Aku menyetel lagu 'Born To Die'-nya Lana Del Rey. Ketika musiknya mulai, aku ngebayangin nyanyi-nyanyi dengan orang lain memainkan instrumennya."

Sebagian MDers menggunakan musik sebagai latar bagi emosi, seperti scoring film. Lainnya, seperti Natalie, justru menyanyikan liriknya seakan-akan mereka adalah bintang di sebuah video musik. "Rasanya seperti sedang menuliskan lagunya," ujarnya. "Aku bisa merasakan langsung kepedihan dalam lagu itu."

Sembari melamun, Natalie tertawa dan tersenyum dan mengobrol. "Engga ngobrolin hal yang penting, hanya urusan keseharian yang aku bayangin diobrolin oleh kelompok pertemanan."

"Hal-hal yang aku katakan, bagaimana aku bersikap, itu adalah yang aku harap bisa aku lakukan di kehidupan nyata."

Pikiran kita adalah caretaker yang efesien namun rumit. Pikiran kita dapat menyembunyikan trauma dan rasa sakit dengan cara apapun.

Sarah dari New Zealand kesepian dan depresi, tapi dia juga sedang jatuh cinta. Pacarnya, Paul, hanyalah satu dari banyak orang yang dia lamunkan—sebuah karakter yang dia comot dari program televisi kegemarannya. Tapi kini Paul adalah segalanya bagi Sarah, setidaknya selama lima jam sehari ketika dia melamun.

Iklan

Dia memang engga nyata. Aku tahu, kok. Tapi dia adalah laki-laki idaman yang engga akan pernah aku temui di kehidupan nyata.

Dia menyadari bahwa dia terdengar aneh. "Dia memang engga nyata. Aku tahu, kok," tulisnya pada surel. "Tapi dia adalah laki-laki idaman yang engga akan pernah aku temui di kehidupan nyata. Sosok Paul dalam bayanganku membuatku merasa nyaman, terutama ketika aku sedang gundah. Aku betul-betul galau karena aku tahu aku engga akan bisa bersama dia. Aku sudah malas cari pacar di kehidupan nyata, soalnya engga ada yang bisa sehebat Paul."

Sebagai mahasiswa kedokteran, Sarah membayangkan dunia-dunia yang jauh. Dia bisa saja memerangi para Nazi di PD II atau menjadi putri di abad pertengahan. "Atau, aku bisa saja jadi aktivis politik di era 60an, atau aktris atau penulis di abad 20. Sulit untuk berkonsentrasi atau untuk melakukan tugas sehari-hari. Akhir-akhir ini aku sedang kesulitan mengerjakan tugas kuliah—dan ini bikin aku benar-benar takut."

"Pada tahapan tertentu rasanya seperti menjalani dua kehidupan berbeda; kamu lebih mengenali diri dan kehidupan khayalanmu. Kadang kamu jadi frustasi dan merasa tak berdaya, yang justru semakin membuatmu pengin kabur dari realita."

Bayangan diri ideal hampir mustahil dihindari MDers. William, juga berasal dari New Zealand, iseng-iseng bermusik dan menulis—"tapi aku menghabiskan lebih banyak waktuku membayangkan kesuksesan, daripada bekerja untuk mencapai kesuksesan itu."

Iklan

Laki-laki berusia 43 tahun ini secara rutin bermain musik pada konser, mengajar, dan kongkow dengan selebriti. Ketika dia melamun, gerakan tubuhnya mengikuti skenarionya: ketika dia sedang mengajar, dia akan bergerak menanggapi murid-murid bayangannya. Ketika dia sedang konser, dia bergerak terbatas menyesuaikan dengan luas panggung bayangannya.

Menurutnya, melamun seperti itu jauh lebih baik daripada hanya nganggur dan nungguin istrinya pulang kerja, setiap hari.

"MD serupa dengan menyadari kamu nonton bokep," ujarnya. "Kamu engga mau mengakuinya ke orang-orang, kamu tahu ada hal lain yang lebih penting untuk dikerjakan, tapi kamu ya tetap saja nonton bokep. Aku pengin menguranginya sih, supaya bisa menghabiskan waktu dengan istriku, tapi aku engga ngerti kenapa orang lain engga mau menggunakan imajinasi mereka untuk mengkhayal setiap saat."

Target jangka panjang Somer adalah mengupayakan MD diakui sebagai gangguan psikiatrik oleh Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM) yang digunakan oleh dokter di seluruh dunia untuk mendiagnosa dan merawat pasien dengan gangguan mental.

"Banyak ahli kesehatan mental mendiagnosis penyakit ini dengan tepat," ujarnya. "Konsekuensinya, para dokter perlu mencari tahu apa saja pilihan pengobatannya." Hal ini juga akan membuka pintu bagi dana penelitian, yang sangat jarang diberikan untuk penyakit tidak resmi.

Tapi, mendaftarkan penyakit baru pada DSM, yang dikontrol oleh American Psychiatric Association, adalah sains yang amat subjektif. Bahkan National Institute of Mental Health, agensi pendanaan terbesar di dunia untuk penelitian kesehatan mental, telah menuduh proses kategorisasi "sangat tergantung konsensus" alih-alih "sebuah pengukuran laboratorium objektif."

Iklan

Aku tidak mau kita menciptakan kategori kabur untuk aktivitas 'melamun', hanya karena seseorang menganggapnya maladaptif.

Kendala terbesar bagi Somer adalah kritikus yang menuduhnya melakukan dosa klinis besar: menyebut sebuah kegiatan umum sebagai penyakit atau kelainan. Dr Eric Klinger, profesor di University of Minnesota yang mempelajari hubungan antara kecenderungan berfantasi dengan psikopatologi, menyetujui bahwa yang diidentifikasikan Somer adalah "kondisi khusus", dan "perlu mendapatkan perhatian klinis."

Tetapi dia berkata, "Aku tidak mau kita menciptakan kategori sumir untuk 'melamun' hanya karena seseorang menganggapnya kecanduan akut."

Kata kuncinya adalah "menganggap." Melamun boleh jadi sebuah kegiatan umum yang dilakukan siapa saja yang memiliki otak utuh, jelas Klinger. Melamun menyita setengah kegiatan mental kita, dan terdiri dari 2,000 segmen tiap harinya. Biasanya, lamunan berhubungan dengan cita-cita pribadi—disadari ataupun tidak. Nah, setelah itu, ada beberapa orang yang ternyata lebih sering melamun jika dibandingkan dengan orang kebanyakan. Dan beberapa orang dalam kategori tersebut merasa menyesal. Itulah mengapa istilahnya disebut "maladaptif."

Hal tersebut tidak membuat melamun maladaptif sebagai gangguan mental yang unik, menurut Klinger, yang juga mengungkapkan bahwa kondisi ini sering tercampur dengan gangguan psikiatrik lainnya seperti depresi akut dan OCD.

Tapi tidak semua pelamun kompulsif menderita OCD atau depresi, ujar Somer. Tidak semua penderita depresi, atau OCD, memiliki fantasi yang jernih dan tidak bisa dikontrol. "Jadi ini merupakan karakteristik unik yang menjadikan melamun sebuah gangguan mental yang unik."

"Dan ini memang gangguan mental."

Jayne Bigelsen, pengacara besutan Harvard dari New York yang memiliki gelar S-2 bidang psikologi, adalah satu-satunya peneliti MD yang mengalami langsung kecenderungan melamun kompulsif.

"Sebelumnya engga ada yang tahu," ujar Bigelsen, yang menerbitkan penelitian mandiri dan gabungan dengan Somer. "Hari ini aku dapat surel dari seorang psikologis dan dia bilang, 'ada pasien datang ke ruangan saya dan bilang dia punya penyakit MD.' Dia belum pernah dengar soal itu."

Pada usia tiga atau empat tahun, Bigelsen berjalan dalam lingkaran berjam-jam lamanya, membayangkan kehidupan sekolah dan program televisi kegemarannya. Lalu, ketika dia berusia dua belas atau tiga belas tahun, "Aku kehilangan kendali," ujarnya. "Aku sadar bahwa kapan saja aku bisa hanyut dengan imajinasiku."