Rasisme

Aku Orang Jepang Asli, Tapi Polisi Sering Mencurigaiku Karena Berkulit Hitam

“Orang berpenampilan modis dengan rambut gimbal biasanya pakai narkoba,” tukas polisi yang menghentikan lelaki Jepang kulit Hitam secara paksa.
Alonzo Omotegawa
Foto: Alonzo Omotegawa

Alonzo Omotegawa lahir dan besar di Jepang. Dia cuma punya paspor Jepang, dan pernah tinggal di luar negeri setahun saja. Sebagian besar hidupnya dihabiskan di Negeri Sakura. Tapi, teman-temannya akan tertawa jika dia terlalu “kejepang-jepangan”. Di saat-saat seperti itu, dia hanya bisa mengangkat bahu sambil berkata, “Ya memang saya orang Jepang.”

Suatu malam di Januari, dua polisi menggiring lelaki 25 tahun itu menjauhi kerumunan penumpang di stasiun Tokyo. Mereka menggeledah secara paksa barang bawaannya.

Iklan

“Orang berpenampilan modis dengan rambut gimbal biasanya pakai narkoba,” tukas seorang polisi dalam video yang direkam olehnya.

Itu bukan kali pertama Omotegawa dicurigai polisi gara-gara penampilan fisiknya. Dia kemudian membagikan pengalamannya ke Japan For Black Lives, organisasi nirlaba anti-rasisme terhadap orang kulit Hitam di negara yang jarang membicarakan isu rasial.

Kebanyakan orang Jepang menganggap rasisme dan xenofobia bukanlah masalah penting di sana. Padahal, survei yang dilakukan pemerintah pada 2017 menunjukkan, 30 persen orang asing di Jepang telah mengalami diskriminasi. 

Omotegawa bukan orang asing, tapi diperlakukan seolah-olah dia bukan orang Jepang. Polisi mengamankannya tanpa alasan jelas. Saat itu, dia sedang menunggu kereta dan tidak melanggar ketertiban umum sama sekali.

“Polisi bilang akan menggeledah tasku. Ketika ditanya ‘Kenapa?’, mereka jawab ‘Gelagatmu mencurigakan. Anda kelihatannya takut dengan kami.’ Saya lalu membalas, ‘Jelas saja saya takut. Anda menghampiri saya tiba-tiba,’” dia mengenang kejadian buruk itu.

Polisi tidak menggubris ucapannya. Setelah diinterogasi setengah jam, mereka menggeledah isi tas Omotegawa. Hasilnya? Polisi tidak menemukan apa-apa.

Video rekamannya viral di kalangan netizen Jepang. Namun, alih-alih membuka mata betapa seriusnya isu rasisme di sana, dia malah menerima reaksi lain. Omotegawa pesimis terjadi perubahan yang lebih baik di negaranya.

Iklan

Dia merekam insiden itu sebagai bukti telah menerima tindakan rasis. Lelaki itu pernah dicegat polisi beberapa minggu sebelumnya. Dia menyesal tidak merekamnya karena yakin ada hubungannya dengan warna kulit.

Berdasarkan data Kementerian Kesehatan Jepang, satu dari setiap 30 anak yang lahir di Jepang memiliki darah campuran. Ironisnya orang-orang yang mengaku “tidak peduli warna kulit” kerap menyangsikan diskriminasi yang dialami oleh orang blasteran di Jepang. Publik figur, seperti Miss Universe Jepang 2020 Aisha Harumi Tochigi, atlet basket Rui Hachimura, dan pemain tenis Naomi Osaka, pun tak luput dari hinaan bernada rasis.

Omotegawa menyebut media Jepang kurang menyorot isu-isu ini. “Negara ini hanya mementingkan berita yang menguntungkan mereka di media sosial,” tandasnya.

Tak sedikit orang yang mempertanyakan keaslian video Omotegawa. “Beberapa berkomentar, ‘Orang asing selalu kena karena dandanan atau gaya rambut kalian.’”

Ada juga yang mempermasalahkan videonya menampilkan wajah polisi. Mereka bilang tidak pantas mengunggah video itu ke media sosial.

Di negara berpopulasi lebih dari 126 juta jiwa, hanya orang keturunan Jepang yang disebut jun japa alias “Jepang tulen”. Omotegawa terbiasa dipanggil orang asing.

“Saya menerima perlakuan yang sama di mana saja, bukan cuma oleh polisi. Saya tidak pernah dipandang layaknya orang Jepang, kecuali kalau saya berbicara bahasa Jepang selama lima menit berikutnya,” tuturnya.

Iklan

Terry Wright adalah penari profesional yang sudah 15 tahun tinggal di Jepang. Dia besar di Brooklyn, New York. Dia berujar meski pengalaman orang kulit Hitam di Amerika Serikat berbeda dengan di Jepang, cara orang memperlakukan mereka kurang lebih sama.

Wright mengingat-ingat kembali saat dihentikan polisi New York. “Kalian akan berpikir, ‘Tamat sudah riwayatku’. Polisi menodongkan pistol ke arahku.”

“Ketakutan yang dirasakan [ketika di Jepang] tidak persis sama. Saya tahu ‘conviction rate’ di Jepang mencapai 99 persen, yang berarti mereka bisa saja mengusir saya. Mereka bisa saja merampas segalanya yang saya punya jika memang mau,” terang lelaki yang mendukung Japan For Black Lives.

Meskipun pembunuhan George Floyd dan aksi protes Black Lives Matter memicu diskusi soal rasisme di Jepang, momentumnya cepat meredup. Seorang pengunjuk rasa memberi tahu VICE World News, warga Jepang sama sekali tak tertarik untuk menunjukkan solidaritas.

“Saya belum bisa melupakan tatapan orang yang melihat aksi kami. Mereka mengabaikan kami,” katanya.

Ketika berkunjung ke Amerika Serikat, Omotegawa juga tidak diperlakukan dengan baik. “Rasanya seperti teroris saat pergi ke Amerika. Saya memang bukan orang Amerika, tapi saya bisa menggunakan aksen Amerika. Saya pegang paspor Jepang, tapi saya berkulit Hitam.”

“Saya kayak mata-mata kali, ya. Saya sudah enam kali mengunjungi Amerika, tapi hanya sekali lolos pemeriksaan imigrasi dengan mudah. Biasanya saya dihentikan sampai dua atau tiga jam,” dia melanjutkan.

“Sekarang sudah 2021, tapi ini [rasisme] masih terus terjadi,” tuturnya. Omotegawa tak yakin situasinya akan membaik di masa depan.

Follow Hanako Montgomery di Twitter dan Instagram.