FYI.

This story is over 5 years old.

Mereview Manusia

Saya Mereview Manusia yang Rutin Beri Skor Jelek Restoran di Tripadvisor

Supaya hidup ini adil dan seimbang lah.
JB
ilustrasi oleh John Butler
Foto oleh Will Bremridge.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.

Mei 2016, saya mengirimkan sebuah ide tulisan ke editor saya via surel. 13 bulan berlalu, di-ban dua kali TripAdvisor, satu peringatan lewat telepon, 173 sms, dua profil TripAdvisor baru dan gontok-gontokan di restoran termahal di London, ide itu terwujud.

Semua berawal ketika umurku baru berkepala dua. Karena saya kala itu bekerja di sebuah restoran, aku tertarik menggunakan TripAdvisor. Aplikasi ini tak ubahnya daerah liar di belantara internet, penuh dengan tukang tembak yang tak bertanggung jawab. Mereka menembak seenaknya. Sasarannya adalah restoran. Korbannya tak cuma restoran tapi para pekerja kecil di dalamnya. Saudara perempuan saya pernah bekerja sebagai manajer restoran. Suatu hari, dia bercerita bahwa beberapa pelanggan kerap mengancam akan menulis review yang jelek atau malah memberi satu bintang tanpa pernah mencicipi makanan di restorannya,

Iklan

TripAdvisor sendiri berkilah hal seperti ini tak pernah terjadi—review-review yang tak adil dan lebay dihapus. Tapi, bukan begitu kenyataannya. Coba kalian periksa restoran dengan lebih dari seratus review. Dalam waktu singkat, kamu akan menemukan review brutal yang sepertinya tak urung dihapus TripAdvisor.

Review yang luar biasa bengis.

Sembari menyusuri review-review kasar tersebut, saya mencoba membayangkan muka-muka pembuatnya—barangkali mereka adalah Jonru-Jonru kecil yang mencak-mencak karena pesanannya terlambat 30 detik, es teh mereka kurang manis atau penerangan restoran tempat mereka makan malam kurang aduhai. Lantas saya bertanya-tanya apa sebenarnya motivasi mereka? Kenapa manusia-manusia menyebalkan seperti ini tak kita temukan di laman surat kabar mengkritik habis-habisan pekerja H&M, atau pekerja industri jasa lainnya? Apa cuma nasi goreng yang kurang asin atau steak yang tak begitu empuk yang bikin mereka kehilangan kesabaran?

Semua pertanyaan ini tak kunjung saya temukan jawabannya, sampai ide itu datang: cari pereview paling bengis dan yak masuk akal di TripAdvisor, ajak mereka malam dan review tindak-tanduk mereka sebagai manusia.

DOUGLAS*

26 Novembver 2016. Makan siang di La Bodeguita, Elephant and Castle

Setelah menghabiskan hampir tiga bulan merayu reviewer satu bintang—dan kena ban karena "menawarkan makan gratis—saya akhirnya mendapatkan balasandari salah satu dari mereka. Dan pria ini adalah sosok ideal yang saya cari. Meski jarang ngobrol tentang makanan, Douglas selalu marah-marah di TripAdvisor lima tahun teakhir ini. Review-review "terbaiknya" mencakup "Layanan jelek! Bangsat, pelayanannya malah godain cewe gue!" dan "enggak tahu deh apa yang salah dengan pelayanan India, mereka melayani pembeli seperti lagi bete." Hampir setengah restoran yang dia review, ditandai dengan "terrible".

Iklan

Kami janjian ketemu di La Bodeguita, Restoran Premier di Elephant and Castle. Setelah menunggu 15 menit di Lobby, seorang pria berjalan melewati pintu restoran. Kelihatannya dia punya darah Asia Tenggara, dandanannya necis dan menenteng tas gym di pinggirnya. Kami bersalaman dan lantas duduk di tempat yang kami peasan.

"Waktu pertama kali menggunakan TripAdvisor, aku baru saja punya pengalaman nyebelin banget dengan sebuah restoran Cina," jelasnya. "Jadi ada seorang pelayan yang kayaknya lagi bete banget dan melihat ke arahku. Pandangannya kayak mau bilang "Lo mau apa hah?!" kalau kamu baca review-reviewku di TripAdvisor, kesannya aku kebanyakan stereoid. Aku kayak selalu ngomong 'Bangsat! Gue bunuh juga lo!' tapi aku sebenarnya orangnya fair kok."

"Ini pesananku ya? Ga nyangka deh bakal segede ini.

Kamu mulai mencicipi makanan di piring kami yang penuh makanan. "Review-review kamu kan pedas-pedas. Pernah ngerasa bersalah enggak?"

"Enggak sih. Pernah nonton Ramsay's Kitchen Nightmares?" saya mengangguk. "Hampir 90 persennya ini yang terjadi: ada restoran yang mikir sajiannya udah top banget, tapi pas ada koki kelas dunia bilang sebaliknya, restoran itu tetap nyeyel." "Oh jadi kamu merasa seperti Gordon Ramsay."

"Ya enggak lah, aku nggak mau sejahat itu." "Tapi bukannya cara Gordon lebih sopan ya: bilang baik-baik ke manajer, bukan malah diam-diam membroadcast reviewnya." saya selalu berhasil menarik perhatiannya. "Aku juga kepikiran seperti itu." ujar Douglas, mulutnya penuh dengan saus sambal. "Pernah suatu kali, ada pelayan yang melihat aku ciuman dengan pacarku. Dia lalu bertanya apa kami bakal ML. Aku pikir "ini kalau dilaporin ke manajer restoran, bakal kelar karirnya di situ.' jadi aku cuma diam saja."

Iklan

"Kamu ngertilah," Douglas menunjuk gelas saya. "Pelayan restoran yang aku review lupa mengisi ulang gelas diet coke saya. Tapi aku enggak menyebut-nyebut hal itu."

Jangan-jangan orang ini juga menganalisa segala di kesehariannya. "Aku orangnya mikir banget, semua aku analisis. Aku tak cuma lihat permukaan belaka. Orang sering kali cuma liat permukaan doang. Orang sering menyepelekan saya. Tapi ujung-ujung aku yang benar tuh. Aku memang suka menganalisis dengan obyektif."

"Kalau boleh tahu, kamu kerja apa?"
"Aku kerja sabagai staff keuangan di kota."

Menjelang akhir makan siang kami, percakapan kami sudah mulai hambar.

"Jadi, menurutmu reviewku gimana?" "Kalau boleh jujur sih," jawab saya, sambil memandang ke arah pintu keluar. Sejenak tatapan saya mampir di tumpukan makanan di piring Douglas. "Review-review itu bukan tentang makanan kan?" Rahang Douglas mengeras. "Tapi menurutku sih, gapapa kok."

Dan begitulah percakapan kami selama 45 menit berakhir. Douglas bergegas menuju Gym. saya yang mengurus semua tagihan.

ROBERT*
1 Februari 2017. Makan siang di Water House (Wetherspoons)

Selama 11 tahun sejak pertama kali bikin akun TripAdvisor, Robert tak henti-hentinya mengobarkan perang terhadap Wetherspoons. Agak menggelikan sih kalau dipikir-pikir lagi. Semua orang tahu seperti apa cabang restoran Wetherspoons karena bentuknya selalu sama. Kita datang ke sana bukan untuk makanan yang bikin lidah kita menari. Kita kesana untuk makan murah bersama keluyarga. Jadi, sebenarnya mereview cabang Wetherspoons adalah pekerjaan yang nyaris sia-sia. Tapi tidak bagi Robert.

Iklan

Robert tengah berdiri di sebelah restoran Water House, Lewisham ketika saya datang. Satu tangannya menenteng segelas Ale dan sebuah tas menggantug di tangan lainnya. Usianya, saya takar, berada di tengah 40an. Rambutya hitam dan Robert bicara dengan akses Australia yang tak jelas.

"Memangnya vegan dan vegetarian boleh masuk cabang Wetherspoons?" tanyanya, kalem.

"Saya vegetarian. Kalau istri saya baru Vegan." hampir tersedak, Robert menurunkan gelas Ale-nya.

"Enggak bagus tuh kalau pacarmu enggak makan daging!"

Robert juga bekerja di bagian keuangan. Tapi, tak seperti Douglas yang berhati-hati dan terus membuat analisis, Robert adalah pribadi yang suka bersenang-senang. Selama makan siang, pria mengorder Rump steak, surf and turf, buffalo wings, keripik kentang, bir dan saus rarebit—jelas bukan pesanan seorang yang punya dendam mendalam terhadap Wetherspoons, "Eits, jangan salah, Aku suka Wetherspoons, bir enaknya." Dia lantas meneguk birnya. "Masalahnya, Wetherspoons itu ibaratnya adalah versi pub dari McDonalds."

Sembilan menit dan 34 detik kemudian—oh ya saya menghitungnya—pesanan kami diantar kemeja. Kami makan di cabang Wetherspoons yang pelayannya disebut "kurang berpendidikan." Sekilas review itu terkesan tak adil sebab pesanan kami dikerjakan dan diantarkan dengan efisien. Tetap saja, Robert menyangkal pendapat saya. "Pekerja di sini bekerja berlebihan dan dikecewakan manajer mereka yang tak memberikan pelatihan." Robert lantas menunjuk seorang manajer yang tengah berleha-leha dekat setumpukan gelas. "Nah orang itu enggak peduli pengalamanmu makan di sini. Enggak sama sekali."

Iklan

"Tapi, kalau kamu enggak melakukan apa-apa untuk mengubah Wetherspoons, bukannya review-review pedas kamu jadi sia-sia?"

"Jelas enggak! Aku sadar banyak orang stress di TripAdvisor yang menulis review satu bintang yang tak becus. Tapi, jangan lupa, orang normal juga menggunakan TripAdvisor. Kamu mau bawa pacarmu ke sini? Engga kan. Aku cuma ingin memberikan sedikit sumbangsih, aku ingin jadi bagian keluarga besar TripAdvisor. Dan yang paling penting, tiap kali aku menulis review atau tengah melihat-lihat, selalu menyenangkan ketika ada yang mengirim email untuk berterimakasih atas review yang aku bikin." Robert berhenti sejenak. "Kalau digunakan dengan benar, forum adalah hal terbaik yang kamu temukan di Internet."

Catatan penulis saat mereview perilaku Robert.

Sore itu terus bergulir. Gelas-gelas bir sudah lenyap entah kemana. Pembicara jadi tak tentu arah sebelum kembali ke TripAdvisor. "Pekerja nulis pertama saya adalah membuat banyak akun TripAdvisor sebanyak-banyaknya dan menulis review pesanan untuk beberapa." saya mengaku.

Robert tiba-tiba berhenti. " Sebentar, Jadi, kamu dibayar untuk menulis review palsu."

Saya mengangguk dan tertawa. Kali ini—untuk pertama kalinya di sore itu—Robert tak ikut tergelak.

"Bray, itu kan enggak main-main. Kalau yang kamu review restoran yang sahamnya dijual bebas, harga sama mereka bisa naik—bisa jadi itu tujuan mereka menyewamu. Kamu masih merekam ini kan? Ini harus direkam." tak urung, mood pembicaraan kami mendadak muram. Saya berusaha mengubah arah pembicaraan tapi semuanya sudah terlambat. "Aku benar-benar gak percaya.

Iklan

Dalam sekejap, saya menjelma menjadi salah satu cabang Wetherspoons—mata Robert tajam mengawasi gerak-gerak saya. Setengah kemudian kami saling pamitan.

SIMON*
16 Mei 2017: Makan malam di Le Gavroche, Mayfair

Saya melakukan ini selama beberapa bulan terakhir. Sayang, jawaban yang saya cari belum kunjung nongol. Robert dan Douglas menyangkal review-review yang mereka buat. Mereka senyam-senyum di restoran, tapi langsung menjadi bengis di depan ponsel mereka.

Tapi, aku lalu ketemu Simon. Dia berdarah Jerman dan bekerja sebagai dokter. Simon tinggal di wilayah makmur di London barat. Dengan pipi yang kemerah-merahan, alis geodik dan kepala yang mirip seperti bola spons, Simon memiliki perawakan setinggi 177cm. Usia Simon hampir mencapai 60 tahun dan dia bicara dengan aksen Inggris yang bikin remaja anglophile nangis darah. Uniknya, Simon adalah satu-satu orang yang salah mengeja Adele ("Adely"). Ketika saya mengirim pesan kepadanya, balasan yang saya terima singkat saja "telepon aku.". Setelah itu semuanya jadi lebih lancar.

"Kamu pasti mikir aku gila. Tapi percayalah, perasaanku benar-benar kuat,"ujar Simon lewat sambungan telepon. "Aku masih tak percaya restoran-restoran ini masih menyajikan sampah. Aku pernah menghitung berapa banyak yang kita habiskan untuk makan di restoran selama setahun. Jumlah totalnya sekitar 6 ribu dollar. Dan itu semua dihabiskan untuk membeli sampah yang dibungkus dengan sangat pretensius." Simon lalu ngoceh, menyemburkan cacian yang kerap dia pamerkan dalam reviewnya. "Aku suka membaca review buruk di TripAdvisor—aku masih enggak ngerti kenapa orang serius banget nulis review bagus. Aku ambil jalan sebaliknya, aku nulis review buruk. Kalau ada yang aku bilang standar, berarti restoran itu agus." saya cuma diam mendengar ocehannya. "Aku masih punya review-review jelek yang harus aku tulis. Jumlahnya mungkin sampai 200." dari kopi sampai caviar, Simon menulis celaaannya di struk pembayaran yang dia terima. Dia bahkan mengumpulkannya di saku bajunya.

Iklan

Saya sadar, Simon adalah orang yang saya cari.

Catatan penulis soal perilaku Simon selama wawancara.

Simon mengusulkan Le Gavroche sebagai tempat kami makan tapi dia sih "woles saja", katanya. Setelah mempertimbangkan dua opsi lainnya, jelas kalau sebenarnya Simon keukeuh ingin pergi ke Le Gavroche. saya segera menggoogle restoran tersebut. Bajingan, tenyata itu restoran paling majal di London.

Saya datang terlambat sekitar sepuluh menit, kelelahan lari di sepanjang kawasan Mayfair. Keringat membasahi bagian belakang jaket hitam saya. Pokoknya enggak enak banget lah. Simon menunggu di luar restoran, dengan setelan terbaiknya. Kami lantas masuk dan ditunjukan tempat kami duduk. Alih-alih langsung duduk, saya malah ngeloyor buang air kecil. Ketika saya kembali, meja kami kosong. Rupanya, Simon memutuskan pindah ke tempat "yang lebih nyaman." Simon tak suka bertele-tele. Semua yang keluar dari mulutnya adalah kritik. "Restoran ini pintar menyuguhkan air. Mereka tak menaruh es dalam air, ini bagus sih menurutku," ujarnya. "Bagus kalau begitu," jawab saya sekenanya. Simon berhenti sejenak: "tergantung juga sih…"

Seorang pelayan muda datang mendekat. "Anggur yang paling murah di sini berapa harganya?" tanya Simon. "Harusnya ada yang harganya £34 (setara Rp577 ribu) per botol."

"£50 (Rp848 ribu), pak."
Simon Geram. "Pasti ada itu yang harganya £34!" "Baik, saya periksa dulu ya." "Aku tak sedang berdebat dengan pelayan tadi. Kalau memang ada anggur yang harganya £34 per botol, aku tak akan kembali ke sini," ujarnya, mengutip harga anggur yang lebih murah di dua restoran lain yang dimiliki Michel Roux.

Iklan

Seorang Sommelier muncul dan perdebatan tertunda itu meletus kembali. Sommelier itu berujar bahwa dia pernah bekerja di restoran yang harga anggur-nya disitir simon. Sebaliknya, Simon ingin berlama-lama berseteru dengan sang Sommelier. Mulut saya terkatup. Gigi-gigi saya bersentuhan. jari- jari saya sudah berkali-kali bolak-balik mengacak-acak rambut. Rasanya mirip seperti nonton satu episode Curb Your Enthusiasm.

"Ya ampun." saya melihat ke arah Simon. "Anggur putih ini kan harga 45 poundsterling (Rp763)sebotol."
Simon menatap tajam pada sang Sommelier.
"Oui, monsieur."
"Jadi, kamu pikir kami cuma mau anggur merah?"
"Ya Pak. saya tak tahu apa yang bapak mau."
"Begitulah Pak." Sommelier itu segera ngacir. "Ketebak banget, dia bakal ngomong itu."
Kami saling nyengir. Seorang perempuan lantas datang menuangkan anggur pesenan kami.
"Lihat sendiri kan. Anggur-nya kurang dingin. Tapi aku enggak mau bikin musuh di sini." Tawa kami meledak. Saya meminta Simon memfoto saya.

Selagi saya menyantap soufflé keju yang jauh lebih mahal dari sepatu yang saya kenakan, Simon mulai memberikan penilaian: Simon tak suka bagaimana anggur di restoran itu disimpan dekat wc dalam sebuah gerobak kecil atau bagaimana pelayan menjatuhkan roti di lantai. Dan percayalah, apa yang dikatakan Simon benar adanya. Saya seperti baru saja diberi pil biru dari film The Matrix. Seketika, semua hal yang sepele ini jadi penting bagi saya.

Iklan

Tak lama kemudian, kami asik ngobrol tentang proporsi double macchiatos di seantero London, sebelum tiba-tiba percakapan kami diinterupsi. "Maaf," ujar seorang perempuan di dekat kami. "Saya bisa dengar kalian bicara. Topik pembicaraan kalian menarik sekali. Sayangnya, saya tak bisa mendengar suara suami saya. Bisa tolong kecilkan suara anda barang sejenak?"
Simon: "Sepertinya susah." Saya segera meluruskan punggung. "Aku bakal coba, tapi gimana kalau aku terlahir sepert ini?"
"Ya bagaimana lagi, pembicaraan tentang macchiatos itu menarik tapi suara kalian terlalu keras."
"Ya kalau gitu, enggak usah didengarkan saja."
"Sudah dicoba Pak, tapi seluruh restoran mendengarnya."
"Ini pertama kali aku ditegur seperti ini di restoran. Aku bisa lho dengar orang ngobrol di sana," ujar Simon. Lumayan fair juga argumentasinya.
"Mereka tak seribut kalian"

Beruntung, sajian utama kami segera datang. Mood obrolan kami pun berubah jadi lebih tenang. Simon bercerita terakhir kali makan di sini "Sepuluh tahun lalu, aku datang di sini dan ini restoran terbaik yang pernah aku datangi saat itu. Aku memesan pig trotter yang harus dimasak selama 8 jam. Aku jalan-jalan sendiri mengelilingi restoran. Pengalaman yang menyenangkan."

"Enggak suka jalan sama teman?"

"Teman-temanku mengira aku terlalu kritis. Dan ada satu alasan lain yang agak ganjil sih: kalau aku diajak makan, berarti aku bakal dibayarin—aku mengalaminya beberapa kali—dan nanti ketika aku menulis review yang jelek, persahabatanku bisa terancam. Jadi kalau bawa teman, aku tak bisa menulis review."

Iklan

Sommelier kembali. "Kalian kritikus?" sambil memberi isyarat ke arah recorder yang saya bawa. Saya cuma bisa nyengir: "Enggak juga sih." dan ya Tuhan, Simon langsung merengut.

"Harusnya kamu enggak usah ngomong seperti itu! Gara-gara kamu kita bakal dapat pelayanan sekenanya." saya tak mengerti maksud Simon. "Mereka bisa memperlakukan aku semua mareka—ini ga penting tapi semua ini ada kaitannya dengan makanan,"

"Maksud kamu?"
"Begini, menurutku memasak itu sangat susah, jadi aku menghormati mereka yang membuat makanan. Makanan itu mirip dengan karya seni, musik atau sastra. Aku selalu kagum dengan mereka yang ahli memasak. Makanya aku berani mempertahankan apa yang aku katakan di TripAdvisor." Simon rehat sejenak. "Seorang manajer yang geram pernah bilang padaku 'kalau memang tak suka tiap restoranyang kamu datangi, kenapa enggak makan di rumah saja?' ini gak masuk akal. Aku suka makan di sini. Ada beberapa hal yang menurutku bagus atau malah bagus banget. Tapi, ikannya terlalu asin. Apapun itu—aku punya jawaban buat pertanyaan itu: Aku sedang melakukan perlawanan."

"Okay, perlawanan personal."
"Bukan begitu juga, ini bukan perlawanan personal. Aku merasa kasihan terhadap orang pada umumnya karena banyak makanan yang menurutku tak enak-enak banget harganya maha. Jadi Bung, ini adalah pencarian pribadiku untuk kepentingan orang banyak: aku mencari restoran yang paling sempurna."

Tiga jam berlalu dan saya akhirnya mendapatkan jawaban yang saya cari. Simon telah berkorban demi kita dengan merelakan lidahnya mengecap makanan-makanan dengan rasa semenjana. Simon juga mengorbankan diri untuk menuis review bagi saya atau siapapun yang membacanya, sembali berharap suatu hari nanti dia akan mencapai nirwana kuliner."

"Simon, boleh tahu restoran terbaik yang pernah kamu datangi?" tanya saya. "Apa ya," ucapnya sambil mengangkat bahu. "Restoran ini" "Restoran terbaik di muka bumi?"

"Aku berpikir keras untuk menemukanya." "Jadi, rencananya mau ngasih berapa bintang nih?" Simon meneguk anggurnya. Kali ini agak banyak. "Tiga bintang."


*Nama-nama narasumber telah diubah.

@Oobahs / @willbremridge / @john_baltar