The VICE Guide to Right Now

Pemerintah Jepang Ingin Pakai Perjodohan Berbasis AI, demi Genjot Angka Kelahiran

Dana yang disiapkan setara Rp268 miliar. Teknologi kecerdasan buatan itu nantinya disebar ke berbagai pemerintah daerah memfasilitasi perjodohan para jomblo.
Pemerintah Jepang Pakai Perjodohan Berbasis AI demi Genjot Angka Kelahiran
Foto ilustrasi pasangan lansia di Jepang oleh Mark Novak, Unsplash 

Jepang masih terus mengalami angka penurunan kelahiran yang ekstrem dari tahun ke tahun. Untuk mengatasi problem kependudukan itu, pemerintah pusat berniat mendanai proyek perjodohan online berbasis kecerdasan buatan (AI), yang bisa menilai kecocokan tiap individu dengan calon pasangan berbekal analisis data.

Jika teknologi dalam aplikasi tersebut bisa terwujud, maka pemerintah berharap jemput bola, dengan menawarkan calon pasangan buat warga yang selama ini melajang. Kebijakan ini diumumkan awal pekan lalu, seperti dilaporkan Japan Times.

Iklan

Perjodohan difasilitasi negara bukan barang baru di Jepang. Separuh dari total 47 prefektur Negeri Matahari Terbit sudah terbiasa menggelar acara perjodohan, agar lajang tua-muda segera menikah. Sebagian pun sudah menggunakan teknologi, meski masih sederhana, untuk menilai kecocokan calon pasangan yang belum mengenal satu sama lain.

Analisis yang digunakan beberapa prefektur sejauh ini sederhana, hanya menilai umur, latar pendidikan, serta penghasilan. Kecerdasan buatan akan membuat analisis lebih mendalam sekaligus meluas, membuat peluang kecocokan acara perjodohan bisa lebih presisi.

Seperti dilaporkan Yomiuri Shimbun, perjodohan berbasis AI ini akan melibatkan hobi, ideologi, serta preferensi pribadi tiap individu. Anggaran yang disiapkan untuk menghadirkan teknologi perjodohan berbasis kecerdasan buatan ini mencapai 2 miliar Yen (setara Rp268 miliar).

“Anggaran ini nantinya akan dipakai untuk menyubsidi anggaran pemerintah daerah, sehingga tersedia layanan perjodohan berbasis AI yang standarnya sama,” kata salah satu anggota kabinet saat dikonfirmasi media. “Semoga, dengan adanya terobosan ini, angka kelahiran di negara kita bisa meningkat.”

Penduduk Jepang, terutama yang berusia di bawah 45 tahun, semakin malas meningkat. Muncul problem sosial dijuluki ‘parasit lajang’, mengingat mereka terus tinggal bersama orang tua sampai usia dewasa. Penyebabnya macam-macam. Ada yang memilih mengejar karir, beban kerja terlalu besar, masyarakat patriarkis, ongkos menikah di Jepang mahal, sampai karena si lajang memang tidak ingin punya relasi dan terikat dengan manusia lain.

Iklan

Menurut statistik 2019, hanya ada 846 ribu anak yang lahir di Jepang. Itu angka kelahiran terendah yang pernah tercatat Negeri Matahari Terbit. Apabila kondisi macam ini terus berlanjut, ilmuwan memprediksi penduduk Jepang akan anjlok menjadi 82 juta orang saja pada 2065.

Dari berbagai alasan pemicu orang Jepang malas kawin, kondisi dunia kerja jadi salah satu biang kerok utama. Lapangan kerja yang menyerap lelaki makin menyempit. Padahal negara ini masih sangat patriarkis, mengingat lelaki diharap jadi tulang punggung keluarga dan perempuan akan keluar kerja lalu fokus sebagai ibu rumah tangga setelah menikah.

Gara-gara serapan kerja turun, banyak lelaki Jepang yang kini terpaksa bekerja di lebih dari dua tempat untuk mencukupi biaya hidup. Lelaki macam ini cenderung tidak disukai dalam acara perjodohan, terutama oleh keluarga calon mertua.

Perempuan terdidik juga semakin malas menikah, lantaran budaya patriarkis ini tak kunjung berubah. Surat kabar the New York Time melaporkan kondisi miris perempuan karir yang mau menikah di Jepang. Dari 49 jam seminggu yang dihabiskan untuk kerja, 25 jam di antaranya untuk mengerjakan urusan rumah tangga. Sebaliknya, angka rata-rata lelaki Jepang saat mengerjakan tetek bengek dapur, sumur, dan kasur tak sampai lima jam sehari.

Meski problem mendasarnya ada pada budaya, pemerintah Jepang tetap menempuh berbagai cara supaya orang tertarik menikah. Mulai dari janji memberi uang subsidi bagi pasangan muda, mengirim bantuan langsung tunai untuk tunjangan anak pasangan muda, sampai membebaskan biaya TK secara nasional. Sejauh ini, belum jelas efektivitas berbagai program tersebut.