#NamaBaikKampus

Demo Gaya Baru di Medsos, Usai UGM Langgar Janji Bikin Regulasi Kekerasan Seksual

Janji rektorat mengesahkan beleid penanganan dan pencegahan kekerasan seksual per 13 Desember dilanggar. Selain tagar #UGMBohongLagi, unjuk rasa juga digelar lewat shitposting.
Tagar #UGMBohongLagi trending usai rektorat UGM Langgar Janji Bikin Regulasi Kekerasan Seksual
Foto dari arsip VICE

Aliansi Mahasiswa UGM melakukan contoh nyata bagaimana media digital bisa jadi pendukung penerapan demokrasi. Senin (16/11) lalu, mahasiswa yang kecewa karena UGM urung mengesahkan peraturan pencegahan dan penanganan kekerasan seksual di kampus, memutuskan menyuarakan aksinya di media sosial. Lewat tagar #UGMBohongLagi, mahasiswa mengangkat isu ini jadi perhatian luas di internet.

Tagar tersebut menjadi trending topic Twitter Senin (16/11) kemarin, berhasil membuat publik teringat kasus kekerasan seksual yang mencoreng nama UGM pada November 2018. Akun aliansi, media sosial pribadi, hingga laman shitposting bergerak untuk menekan kampus agar segera menepati janji mereka.

Iklan

Sebenarnya tagar ini sudah diangkat sebelum tanggal 13 Desember. Ini hasil konsolidasi teman-teman Aliansi Mahasiswa UGM yang sepakat untuk aksi di media, media sosial, karena tak kunjung direspons pihak kampus,” ujar Humas Aliansi Mahasiswa UGM Atiatul Muqtadir atau Fathur kepada Detik. Lewat akun Twitternya, Fathur turut menjelaskan proses advokasi kasus dan pengingkaran janji UGM sejak tahun lalu.

Kasus kekerasan seksual pada mahasiswi di UGM sudah beberapa kali terjadi dan diliput media massa. Namun, kasus Agni yang pertama kali dilaporkan pers mahasiswa UGM Balairung adalah yang paling menyita perhatian nasional dan memicu kemarahan publik. Penyebabnya, selain kasus itu sendiri, adalah sikap UGM yang sangat lunak pada pelaku. Citra Maudy, jurnalis Balairung yang menuliskan laporan tersebut, bahkan sampai diperiksa Polda DIY.

Menurut Fathur, ketika kasus Agni menjadi isu nasional, rektorat berjanji membentuk tim penyusun draf peraturan penanganan kasus kekerasan seksual di kampusnya. Draf itu mulai dibahas pada 28 Februari 2019 ketika perwakilan mahasiswa dan LSM bertemu tim penyusun untuk membahas rancangan awal.

Sebulan setelah pertemuan, pada 29 Mei 2019, draf peraturan sudah jadi dan telah diserahkan kepada rektorat UGM. Mulai dari sini kabar tentang draf tersebut pelan-pelan hilang.

Mahasiswa lewat forum diskusi dan aksi mendesak rektorat untuk segera mengesahkan draf tersebut. Pada 13 November 2019, rektorat membuat surat perjanjian dengan mahasiswa yang salah satu isinya, komitmen untuk mengesahkan peraturan penanganan dan pencegahan kekerasan seksual per 13 Desember 2019. Surat itu ditandatangani Wakil Rektor Bidang Pendidikan, Pengajaran dan Kemahasiswaan (PPK) UGM Prof. Dr. Ir. Djagal Wiseso Marseno, M.Agr.

Iklan

Tenggat lewat, peraturan belum juga hadir. Merasa aksi massa, audiensi, dan advokasinya tidak didengarkan, aliansi mahasiswa memutuskan membawa kasus ini ke proses pengadilan paling modern: Penghakiman netizen.

Juru bicara Aliansi Mahasiwa UGM Turno mengatakan, mereka melakukan ini karena UGM lamban memproses peraturan. Padahal, draf yang disampaikan perwakilan mahasiswa dan LSM sudah lengkap. “Draf yang kami serahkan pada Februari lalu secara umum telah memuat dan menerangkan langkah-langkah pencegahan kekerasan dan pelecehan seksual. Tidak hanya preventif, tapi juga rehabilitasi,” ujar Turno kepada Gatra.

Rektor UGM Panut Mulyono sebagai pihak tergugat mengatakan, penundaan pengesahan peraturan terjadi karena aturan ini harus mendapatkan persetujuan rapat pleno Senat Akademik terlebih dahulu pada Januari 2020. Iya, gara-gara birokrasi.

“Kami sama sekali tidak memiliki niatan atau mengulur-ulur waktu tidak memenuhi janji soal peraturan tentang penanganan pelecehan seksual di kampus. Sekarang hanya tinggal soal mendapatkan persetujuan dari rapat pleno Senat Akademik. Penyusunan draf memakan waktu karena adanya peraturan lain tentang pelanggaran etika di kampus,” ujar Panut. Secara terpisah, Direktur Kemahasiswaan UGM Suharyadi mengungkapkan draf sudah diterima rektor UGM dan sudah dikirim ke Senat Akademik sejak 27 November untuk diminta disahkan.

Tuntutan kepada institusi pendidikan agar segara memiliki regulasi soal kekerasan seksual semakin gencar. Ketidakjelasan mekanisme pelaporan membuat korban kekerasan cenderung menyimpan perkara dibanding melaporkan pelaku. Mengutip Tirto, Survei 2016 oleh Lentera Sintas Indonesia dan Magdalene bersama Change.org Indonesia menunjukkan, 93 persen penyintas kekerasan seksual tidak melaporkan kasusnya kepada aparat. Pada 2017, Badan Pusat Statistik merilis survei yang mengatakan satu dari tiga perempuan pernah menjadi penyintas. Sepanjang 2018, Komnas Perempuan mencatat sebanyak lebih dari 400 ribu kasus kekerasan terhadap perempuan terjadi.

VICE, Tirto, dan The Jakarta Post dalam liputan kolaboratif #NamaBaikKampus turut mengumpulkan informasi serupa dalam lingkup kampus dan mendapati kenyataan bahwa telah terjadi kekerasan seksual di 29 kota dan 79 perguruan tinggi. Pelaku kekerasan seksual juga berasal dari berbagai tempat. Mulai dari dosen, mahasiswa, staf, pastur, warga lokasi KKN, sampai dokter di klinik kampus.

Kasus kekerasan seksual terus terjadi karena kampus-kampus tak punya aturan yang memuat mekanisme cara penanganannya. Jadi, memang sudah benar jika mahasiswa UGM terus menekan kampus agar aturan yang drafnya sudah jadi tersebut segera disahkan. Pak Hadryanto dan Pak Totok, kapan nih Senat Akademik UGM mau segera berapat?