Drama Keluarga

Kasus Anak SD Minggat ke Luar Kota Sudah Sering Terjadi di Indonesia

Dua bocah Madura nekat bersepeda motor ke Jakarta bukanlah kasus pertama. Di sejumlah kasus minggat, alasan pergi karena rindu keluarga.
Kasus Anak SD Minggat ke Luar Kota Sudah Sering Terjadi di Indonesia
Ilustrasi anak minggat. Foto: Wikimedia Commons dan Google Maps. Kolase oleh VICE.

Aku sempat mengira tren ini sudah lama berakhir. Sewaktu kecil di awal 2000-an, aku cukup sering mendengar cerita minggat dari teman-temanku, atau cerita tentang temannya temanku. Dulu, motif paling umum biasanya karena sakit hati usai dimarahi ortu. Nyatanya, minggat, yang didefinisikan kamus sebagai ‘pergi tanpa izin’, adalah fenomena berkelanjutan yang kadang lumayan mengkhawatirkan.

Misalnya yang baru-baru ini terjadi. Senin pekan ini (20/11), polisi Semarang secara sambil lalu menilang dua bocah yang berboncengan motor menerobos lampu merah. Setelah digelandang ke pos, polisi dibikin kaget. Pasalnya SZ (11) dan DR (10) yang masih duduk di sekolah dasar ini berasal dari Sampang, Madura.

Iklan

Mereka bersepeda motor sejak Minggu siang (19/11) dengan tujuan akhir Tanjung Priok, Jakarta. Bila saja niat ini terlaksana, mereka beneran berkendara dari ujung ke ujung Pulau Jawa.

Untung saja pagi itu mereka ditilang. Selain masih anak-anak, keduanya tak membawa bekal baju maupun makanan, juga hanya bersandal jepit dan tanpa helm. Seakan itu masih kurang menyeramkan, motor yang dipakai juga tak ada plat dan spion.

SZ dan D berhasil menempuh jarak hampir 500 km berbekal Rp105 ribu pinjaman dari teman, serta sebuah ponsel untuk membuka Google Maps. Aplikasi ini menuntun mereka sepanjang perjalanan.

Kepada polisi, anak-anak ini mengaku bergantian menyetir motor. Kalau lapar, mereka akan jajan mi instan. Keduanya sempat istirahat tidur di malam hari di sebuah gardu kawasan Tuban.

SZ mengaku dialah pemilik ide ke Jakarta demi menemui seorang teman. Usut punya usut, si teman ini rupanya karib sekampung SZ, namun belakangan dibawa pindah ortunya ke Jakarta. Ia lalu mengajak DR untuk menepati janji temu di Terminal Tanjung Priok. 

Setelah mendapat cerita lengkap, polisi Semarang langsung menelepon keluarga si bocah. Cerita yang terkuak selanjutnya tak kalah epik.

Keluarga rupanya tak sadar sama sekali bahwa dua anak ini pergi jauh. Lalu, motor yang dipakai ternyata dipinjam atas seizin paman SZ. Kenapa Si paman mengizinkan? Ya habis bocah ini ngakunya pergi jajan doang.

Tiga bocah bersepeda dari Palembang ke Tangerang

Kisah serupa yang cukup mengharukan pernah terjadi pada 2017. Dua bersaudara Okta (15) dan Rizal (13), ditemani tetangga mereka bernama Aslam (11), menghabiskan enam hari menempuh rute Palembang-Tangerang (500-an km) menggunakan dua sepeda.

Kisah ini diketahui Jawa Pos saat ketiganya ditemukan dalam keadaan lusuh dan lelah oleh polisi Pos Pelayanan Mudik di Indralaya, Ogan Ilir. Polisi lantas menitipkan mereka ke panti sosial terdekat untuk dicarikan bus. Namun, mereka kabur tak lama setelah itu.

Iklan

Enam hari kemudian wartawan Jawa Pos menemukan mereka sudah sampai di rumah ortu di Ciledug, Tangerang. Dari hasil wawancara dengan nenek dan anak-anak tersebut, Jawa Pos merangkai kisah perjalanan yang dramatis.

Aslinya mereka emang domisili di Tangerang, tinggal dengan orang tua. Menjelang bulan puasa, pergilah ketiganya menumpang truk ke Palembang agar bisa berlebaran di rumah nenek Okta dan Rizal. Dua dari enam bersaudara ini rupanya sumpek melihat ayah yang kerap mabuk dan bertengkar dengan ibu di rumah.

Satu hari sebelum Lebaran, datang telepon dari adik mereka di rumah, mengabarkan pertengkaran hebat ortu. Tampaknya si adik minta pertolongan dua kakaknya agar segera pulang. Mereka pun langsung pamit kepada sang nenek yang tak tahu-menahu bahwa anak-anak itu akan pulang bersepeda. Ya kan mereka enggak bawa sepeda. Tapi rupanya mereka punya ide membawa kabur sepeda milik sepupu di Palembang.

Walau di jalan sempat kehabisan uang, harus ngamen, jatuh, hingga dikejar anjing, syukurlah mereka sampai dengan selamat di rumah.

Cerita-cerita sejenis bertebaran di berbagai wilayah. April 2023, ada seorang bocah berusaha naik pesawat dari Bandara Soekarno-Hatta menuju Palangkaraya karena kangen ibunya. Tahun 2022, bocah 9 tahun bersepeda dari Barru ke Makassar usai dimarahi ibu tirinya. Niat si bocah, sesampai di Makassar ia akan mencari sang ibu kandung.

Pada 2019, bonek cilik berusia 12 tahun hendak bersepeda dari Mataram menuju Surabaya demi bertemu pemain Persebaya idolanya: Irfan Sanjaya. Masih di 2019 pula, bocah 11 tahun bersepeda dari Tuban menuju Mojokerto untuk mencari kakaknya. Sementara 2018 silam, bocah 14 tahun naik sepeda dari pesantrennya di Cianjur untuk mudik ke Majalengka (210 km) karena ongkos pulangnya dicuri teman.  

Daftar masih berlanjut. Pada 2015 silam, seorang anak 12 tahun bersepeda lima hari dari Lampung ke Palembang untuk mencari pamannya. Terakhir, di 2014, dua bersaudara berusia 9 dan 11 tahun bersepeda dari Pemalang menuju Jakarta karena merindukan orang tua mereka yang merantau.

Kisah-kisah ini sejenak mengingatkan kita, jadi anak kecil itu emang kerap tidak berdaya. Semoga orang dewasa di sekitar bisa lebih peduli perasaan anak-anak.