FYI.

This story is over 5 years old.

Perang Narkoba Filipina

Kelompok Separatis Muslim Mendukung Perang Narkoba ala Duterte

Perkembangan ini mengejutkan, apalagi jika kita menyadari konflik di Marawi antara militer Filipina vs ISIS masih berlangsung.
Foto anggota MNLF oleh Keith Kristoffer Bacongco/ Wikimedia Commons License

Presiden Filipina, Rodrigo "Punisher" Duterte memperoleh sekutu yang tak disangka-sangka dalam agendanya memerangi peredaran obat-obatan terlarang. Akhir pekan lalu, pemerintah Filipina meneken perjanjian dengan Front Pembebasan Islam Moro (MILF)—kelompok separatis yang selama lebih dari tiga dekade memperjuangkan berdirinya negara Islam di wilayah selatan Filipina. Pemerintah dan MILF bersepakat ikut bersama memerangi peredaran obat-obatan di wilayah otonom Muslim Kepulauan Mindanao (ARMM), wilayah yang dikuasai MILF.

Iklan

"MILF menawarkan bantuan ikut serta dalam operasi perang melawan narkoba di wilayah mereka kuat pengaruhnya. Jadi, kami memang harus melibatkan mereka," ujar Isidro Lapeña, Kepala Badan Nasional AntiNarkoba Filipina (PDEA) seperti dikutip Philippine Daily Inquirer.

Perjanjian ini diberi nama "Protocol of Cooperation on Anti-Illegal Drug Operations and Related Activities in MILF Areas/Communities". Beleid tersebut membuka kemungkinan kerja sama lain antara pemerintah dan kelompok separatis di masa mendatang, terutama bidang pemberantasan narkoba.

Bukan kali sebetulnya Duterte dan pemberontak di selatan Filipina. MILF, berbeda dari kelompok teroris seperti Abu Sayyaf atau Klan Maute, bersedia menghentikan perang gerilya dan menghormati perjanjian damai sejak 2014. Sebelumnya, MILF dan pemerintah Filipina setuju untuk menggabungkan kekuatan demi merebut kembali Kota Marawi di Kepulauan Mindanao yang sedang diduduki simpatisan Negara Islam Irak dan Syam (ISIS). MILF menyediakan rute aman, bagi warga Marawi terutama yang beragama non-Islam untuk kabur dan tinggal sementara di wilayah otonom mereka.

MILF punya alasan tersendiri, kenapa bersedia membantu Duterte, sosok kepala negara yang selama bertahun-tahun berusaha mereka gulingkan. Tak banyak orang yang tahu, bila MILF merupakan pendukung kebijakan anti obat-obatan terlarang ala Duterte sejak sang presiden masih menjabat sebagai Wali Kota Davao, kota terbesar di Kepulauan Mindanao. Beberapa kali, kelompok Islamis itu secara terang-terangan menawarkan bantuan kepada Duterte dalam berbagai bentuk. Pada 2015, contohnya, ulama petinggi MILF mengeluarkan fatwa yang menyatakan pemakaian, penjualan dan peredaran shabu (methamphetamine) sebagai tindakan 'haram' menurut hukum Islam.

Iklan

"Dengan terpilihnya Duterte sebagai presiden Filipina, mengingat sikapnya yang keras pada peredaran narkoba, maka ada kesamaan tujuan antara Filipina dan MILF," demikian kutipan pernyataan tertulis kelompok tersebut lewat situs resmi mereka.

Salah satu poin dalam perjanjian yang diteken antara MILF dan pemerintah Filipina adalah mendukung logistik operasi pemberantasan narkoba, memasok informasi pengedar ke dalam daftar "calon mayat" (berisi nama-nama pengedar yang bisa dibunuh kapan saja), dan menangkap secara swadaya setiap orang yang ketahuan berjualan narkoba di wilayah mayoritas muslim.

Bentuk kerja sama lainnya, termasuk dukungan militan MILF untuk ikut menyerang markas bandar narkoba. Pengacara kelompok separatis itu menjelaskan tujuan utama kerja sama ini adalah menghindari insiden "salah menyerang" MILF saat polisi menggelar operasi di pedalaman Filipina.

Walaupun demikian, MILF cukup punya masalah dengan narkoba di masa lalu. Kelompok-kelompok militan Filipina sejak lama dikenal mendanai operasi mereka melalui penjualan obat-obatan terlarang. Abu Sayyaf, salah satu kelompok teroris terbesar Filipina, sampai sekarang masih menjalankan bisnis narkoba. Klan Maute juga terpergok aparat memiliki stok sabu-sabu dalam jumlah besar di markas mereka. Di berbagai wilayah Mindanao, banyak sekali terdapat pabrik meth kelas rumahan, bahkan di kawasan yang dikuasai MILF.

MILF masih mengenal beberapa bandar narkoba, namun sebagian adalah jaringan independen. Akibat peredaran obat-obatan selama lebih dari dua dekade tanpa pengawasan pemerintah, diperkirakan lebih dari 70 persen warga pedesaan Mindanao kecanduan narkoba. Polisi, di lain pihak, sulit bertindak. Jika sembarangan menangkap pecandu, pengedar, atau menggerebek pabrik narkoba, mereka berisiko menyerang orang yang dekat dengan MILF. Perjanjian damai 2014 bisa terancam gagal apabila kembali terulang pertumpahan darah.

Iklan

Pihak berwenang Filipina menyakini bahwa langkah ini bisa membantu usaha memerangi peredaran obat-obatan di daerah yang sebelumnya susah diakses. MILF akan berkoordinasi dengan lembaga Coordinating Committee on the Cessation of Hostilities (CCCH) saat menjalankan upaya pemberantasan narkoba.

"Kami sebelumnya tak menemui masalah dalam menggalang operasi anti obat-obatan di kawasan lainnya. Namun, ada banyak kendala yang kami temui di daerah yang dikuasai MILF. kadang lewat serangkaian koordinasi, target yang kami incar bisa kami paksa keluar kawasan tersebut. Kami percaya, dengan protokol baru ini, kami bisa beroperasi dengan lebih efesien berkat koordinasi an dukungan dari MILF di daerah kekuasan mereka," kata Earl Baliao, ketua CCHC, saat dihubungi Rappler.

Perang melawan obat-obatan terlarang yang telah digalang semenjak Duterte resmi menjabat sebagai presiden telah menelah korban jiwa sebanyak 7.000 orang lebih. Kebijakan ini menuai kecaman dari komunitas internasional dan kelompok aktivis HAM yang menuduh Duterte sebagai pelaku kejahatan terhadap kemanusiaan, karena memerintahkan pembunuhan tanpa pengadilan di Filipina. Beberapa senator pun mulai menggagas upaya pemakzulan sang presiden walau dia belum menjabat setahun.

Uniknya, dengan semua kebijakan itu, popularitas Duterte sulit dibendung. Polling terbaru menunjukkan 70 persen persen lebih penduduk Filipina mendukung gaya kepemimpinan politikus asal Davao itu.

Pembunuhan tersangka pengedar atau pecandu narkoba, belakangan diketahui lebih banyak yang bermotif pribadi. Mereka hanya menjadi korban fitnah, namun terlanjur dieksekusi mati oleh polisi dan kelompok milisi bertopeng. Belum jelas apakah jumlah korban salah tembak akan meningkat, setelah pemerintah Filipina melibatkan MILF dalam pencarian daftar "calon mayat" terbaru.