Mengentaskan Pengangguran

Menakar Efektivitas Kebijakan 'Gaji' Pengangguran Rp500 Ribu/Bulan ala Jokowi

Insentif kartu pra-kerja ini mulai berlaku pada 2020, diberikan berturut-turut maksimal tiga bulan. Ekonom agak pesimis, karena untuk kurangi pengangguran, jumlah sektor pemberi kerja yang lebih perlu digenjot.
Menakar Efektivitas Kebijakan 'Gaji' Pengangguran Rp500 Ribu/Bulan ala Jokowi
Momen antrean masuk ke job fair di GBK pada 2015, yang amat padat sehingga ada peserta pingsan. Foto oleh Beawiharta/Reuters.

Agaknya cita-cita pemuda asal Makassar Wawan Hirawan menjadi pengangguran yang digaji (dan pernah ditulis VICE) bakal kesampaian. Pemuda yang juga seorang pesulap tersebut viral sesaat setelah video bikinannya berjudul “Gantung Ijazah karena Jokowi” beredar di akun Facebooknya. Sebenarnya niat jadi penganggur profesional itu hanya satir. Wawan menagih janji kampanye Joko Widodo menjelang pilpres 2019 yang dia sangka bakal menggaji pengangguran.

Iklan

Janji yang dimaksud Wawan soal "pengangguran digaji" itu sebenarnya adalah program Jokowi berupa kartu pra-kerja. Kartu tersebut rencananya bakal efektif Januari 2020. Lewat kartu itu para pengangguran akan mendapat pelatihan dan insentif transfer dana dari pemerintah senilai Rp300 ribu hingga Rp500 ribu.

Meski betul bakal kesampaian, harapan Wawan menjadikan pengangguran sebagai profesi yang digaji seumur hidup harus sirna. Sebab, gaji pengangguran tersebut cuma berlaku selama tiga bulan saja. Dengan harapan selama tiga bulan tersebut peserta bisa mendapatkan ‘dana segar’ dan pelatihan teknis, lantas selanjutnya terjun ke dunia kerja.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko mengatakan program itu akan menyasar 2 juta pengangguran. Sumber dananya adalah pos anggaran APBN 2020, diperkirakan mencapai Rp10 triliun. Dana ini dibagikan tanpa ada pembatasan usia. Nantinya pemerintah akan menggandeng platform dompet digital untuk penyaluran insentif dana tunai tiga bulanan buat para pesertanya.

"Sambil mencari pekerjaan itu lah nanti [pemerintah] akan menyiapkan insentif kepada mereka, kurang lebih antara sekitar Rp300 ribu-Rp500 ribu paling lama tiga bulan," kata Moeldoko.

Meski niatnya baik, namun pengamat ekonomi mengatakan belum tentu program tersebut bisa menekan angka pengangguran, yang menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) mencapai 6,83 juta orang—dari total angkatan kerja 136,18 juta orang—per Februari tahun ini. Target dari BPS, angka tersebut bakal turun menjadi 6,5 juta pengangguran pada 2020.

Iklan

Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan yang terpenting sebenarnya bukan masalah memberikan insentif dan keterampilan, tapi justru di soal penyerapan tenaga kerja. Sebab meski telah diberi pelatihan teknis namun penyerapan kerja lemah, belum tentu bisa menekan angka pengangguran.

"Kartu pra kerja belum tentu efektif selesaikan masalah pengangguran," kata Bhima saat dihubungi VICE. "Sebab sektor formal dalam kondisi yang melambat, khususnya serapan tenaga kerja di manufaktur. Jadi saya ragu kesiapan dari sektor industri untuk menyerap peserta hasil training kartu pra kerja."

Bhima juga khawatir, alih-alih menambah keterampilan untuk dapat kerja, dikhawatirkan orang hanya mengincar insentif yang diberikan.

"Ini rawan salah sasaran," kata Bhima. "Karena motivasi peserta ikut training dalam program belum tentu untuk diterima bekerja, tapi ada insentif gaji yang ditawarkan pemerintah selama tiga bulan. Ini potensi menciptakan moral hazard."

Apa yang dikatakan Bhima sejalan dengan data Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM). Sepanjang 2018, penanaman modal di Indonesia hanya terealisasi Rp721,3 triliun atau tumbuh 4,1 persen dibandingkan tahun sebelumnya sebesar Rp692,8 triliun.

Akhirnya penurunan investasi tersebut berdampak di penyerapan tenaga kerja. Sepanjang 2018, penyerapan tenaga kerja mencapai 960.052 orang. Serapan tersebut menurun 18,38 persen dari tahun sebelumnya yang masih mencapai 1,17 juta.

Ini belum termasuk persoalan bonus demografi, yang akan dialami Indonesia sampai 2036, ketika jumlah penduduk di rentang usia produktif 15-64 tahun mencapai 70 persen dari total populasi. Kepala BPS Suhariyanto mengingatkan pemerintah bahwa bonus ini harus diolah sedemikian rupa, agar tak menjadi bencana demografi. Salah satunya tentu dengan menyediakan lapangan pekerjaan, pendidikan yang layak, serta pelayanan kesehatan dan gizi yang memadai.

Jika mimpi Wawan menjadi pengangguran profesional (tanpa berniat satir) ditiru oleh generasi muda lainnya, sayangnya bencana demografi bukan lagi cuma sekadar prediksi.