'Kami Cuma Bisa Tidur': Kebosanan Melanda Pengungsi Gunung Agung
Suasana di pengungsian GOR Sweca Pura, Klungkung, Bali. Semua foto oleh penulis.

FYI.

This story is over 5 years old.

Erupsi Gunung Agung

'Kami Cuma Bisa Tidur': Kebosanan Melanda Pengungsi Gunung Agung

Penduduk Bali yang dievakuasi dari kampung mereka di lereng Gunung Agung ragu bisa hidup sepanjang tahun di tempat penampungan pengungsi.

Wayan Rengge masih ingat ketika pertama kali melihat lava. Umurnya baru enam tahun. Saat itu, Rengge tinggal di sebuah kampung Bali di lereng Gunung Agung ketika gunung itu meletus pada 1963. Ratusan orang tewas. Ribuan orang lainnya terpaksa harus mengungsi. Rengge tak pernah merasa takut kala itu. "Senang bisa nonton," ujarnya. "Seperti api mengalir."

Kini, kakek berusia 61 tahun itu bakal kembali menyaksikan Gunung Agung memuntahkan lahar. Bedanya, kali ini Rengge akan menonton pemandangan yang sama dari Gedung Olah Raga yang disesaki oleh 1.500 pengungsi dari kampung-kampung di daerah zona merah.

Iklan

Gunung Agung kembali aktif diawali serangkaian gempa kecil yang mulai menggetarkan bumi sejak bulan lalu. Pada 22 September, petugas penanggulangan bencana meningkatkan status daruat dari siaga menjadi awas. Awas adalah peringatan tertinggi yang berarti orang-orang di sekitar gunung haru segera dievakuasi. Peringatan bahaya memaksa 140.000 penduduk setempat lari mengungsi, meninggalkan desa-desa yang berada di "zona berbahaya"—daerah yang berada di radius 9 sampai 12 kilometer dari kawah Gunung Agung, tergantung ketinggiannya.

Dua pekan berselang, Gunung Agung tak kunjung meledak. Pemerintah sudah kadung mengurus proses evakuasi penduduk dan hewan ternak dari lereng gunung. Pemerintah Provinsi Bali mendirikan kamp pengungsian GOR dan lapangan. Namun, banyak yang memilih berlindung di rumah sanak saudara mereka. Rengge tergabung dalam rombongan yang pertama kali dievakuasi. Penduduk desanya, terpaut tujuh kilometer dari kawah, diangkut dengan truk dan dibawa ke GOR Sweca Pura, Kecamatan Klungkung. Ini adalah salah satu kamp pengungsian terbesar.

Hidup di tempat pengungsian yang penuh sesak ibarat oplosan dari kebosanan dan ketidaknyamanan. Sekitar 1.534 pengungsi sudah berada di kompleks GOR ketika saya datang. Keluarga-keluarga pengungsi ini tidur beralas tikar di lapangan basket. Yang lainnya bersesakan di tenda-tenda yang didirikan di luar GOR.

Bagi pengungsi yang berusia uzur, letusan Gunung Agung bukan berita baru. Tatkala Gunung Agung meletus terakhir kali pada 1963, aliran lava dan abu berlangsung selama setahun lamanya. Saat itu, warga dekat gunung tak mengungsi sampai beberapa bulan setelah letusan pertama. Bencana itu memakan korban sebanyak 608 orang. Itu belum termasuk jumlah korban yang tewas karena kelaparan dan keracunan beberapa bulan setelah letusan terjadi.

Iklan

"Gejalanya sama dengan dulu." kata Rengge sambil duduk santai di atas tikar di bawah ring basket. "Asap dulu, diikuti abu. Terus api."

Wayan Rengge

Saat itu masih kecil belum masuk SD, Rengge membantu orang tuanya meladang. Dia jadi punya kesempatan untuk jadi saksi mata lelehan lava. "Asik," ucapnya. "Pulang dari kebun nonton lahar berapi. Banyak orang yang nonton."

Rengge lantas terbiasa hidup dengan gempa Bumi. para penduduk kampungnya punya kepercayaan tersendiri terkait gempa. "Dipikir Tuhan sedang memproduksi uang mas," jelas Rengge. Rumah keluarga Rengge dipisahkan dari kawah oleh sebuah sungai. Untungnya, saat Gunung Agung meletus pada 1963, aliran lava berhenti di tepi sungai dekat kawah.

"Setelah ada yang meninggal baru lari," kata Rengge. Itu pun baru terjadi enam bulan setelah letusan. Rengge, ibu dan ayahnya, kakeknya serta saudaranya mengungsi ke Desa Duda Timur. Akhirnya ada keluarga yang menampung, walaupun tidak saling kenal.

Saat kembali ke desanya, rumah Rengge masih seperti sedia kala. "Lahar tidak kena rumah," kenang Rengge. Sayang, mereka tak bisa meladang selama tiga tahun. Selama itu pula, mereka membanter kayu bakar dengan penduduk desa lain demi menyambung hidup. Sampai saat ini, Rengge masih mendiami rumah yang sama, yang sudah direnovasi, sampai pemerintah meminta dirinya mengungsi.

Melintang di sepanjang kawasan "Cincin Api," Indonesia punya lebih banyak gunung berapi dibanding kawasan manapun di Bumi. Satu dekade ke belakang, tiga gunung berapi di Indonesia, Sinabung, Merapi, dan Kelud, meletus.

Iklan

Kali ini, pemerintah berharap dengan sistem peringatan bencana dini dan penanggulan. Sejak awal, Bali bisa terhindar dari bencana alam besar. Satu tim berisi pakar gempa dan pakar gunung berapi di pos pengamatan Gunung Agung terus menerus merekam aktivitas Gunung Agung. "Pertama, kami buat sensor di gunung untuk mencatat tiap kali gempa. Dapat kita lihat aktivitas Gunung Agung meningkat," kata I Dewa Mertheyasa, kepala pos pengawasan Gunung Agung. " Kedua, observasi visual untuk melihat kondisi di permukaan kawah, mengeluarkan asap."

Meski gempa yang terasa di permukaan sudah berkurang, kondisi di bawah permukaan Bumi masih sangat rentan. "Fluktuasi itu normal, tergantung magma," jelas Mertheyasa.

Pusat Vulkanologi menganjurkan evakuasi semua warga yang tinggal radius 9-12 km zona berbahaya. Namun, begitu alarm tanda bahaya menyala, penduduk di luar zona merah juga ikut-ikutan mengungsi. Alhasil, jumlah pengungsi membengkak.

Kini, area di barat Gunung Agung telah dinyatakan aman oleh pemerintah. Sebagian pengungsi sudah kembali mendiami desa mereka.

Sementara pengungsi veteran macam Rengge kalem saja menghadapi letusan, pengungi muda tampak menunggu dalam cemas. "Letusan terakhir dengar ceritanya saja dari kakek," kata Luh Budiastini, ibu dua anak berumur 34 tahun sekaligus menantu Rengge. Pas pemerintah pertama kali keluarkan peringatan, dikiranya besoknya meletus. Ambil seperlunya saja, paling bawa baju. Dokumen-dokumen penting seperti KK sudah dijadiin di satu tempat jadi tinggal ambil."

Iklan

Kini Luh, seperti pengungsi lain yang saya temui, lebih khawatir dengan hidup tak menentu yang bakal mereka lakoni daripada letusan gunung itu sendiri. Tak ada yang tahu kapan Gunung Agung bakal meletus atau berapa lama mereka bakal hidup di pengungsian.

Hidup di GOR bukan perkara mudah. Udara di sana sangat panas. Beberapa keluarga hidup berjejalan dalam satu tenda. Mereka yang beruntung dapat tempat di dalam lapangan basket terlindung oleh atap bangunan. Sayangnya, bangunan GOR-nya sendiri tak bebas dari masalah. Toilet GOR terus-terusan banjir dan lampu dibiarkan menyala semalaman. Tidur nyaman di malam hari adalah kemewahan tersendiri.

"Enggak enak di sini,"ujar Luh. Kendati pemerintah, LSM, donor pribadi dan sukarelawan tak henti-hentinya menyediakan kebutuhan pokok seperti makanan, air, dan selimut, hidup jelas tak berjalan seperti biasanya. Staf penanggulangan bencana memasang kipas angin besar agar pengungsi tak kepanasan. Sebuah layar dipasang di salah satu sisi lapangan basket untuk menayangkan acara TV. Hanya saja, ruangan begitu ramai hingga susah mengikuti tontonan yang terjadi. Tontonan baru bisa dinikmati di malam hari, ketika pengungsi mencoba tidur.

Jangan bicara pula tentang privasi yang hampir nihil di sana. Beberapa keluarga berusaha membuat dinding dengan menumpuk barang milik mereka. Harapannya, mereka bisa menandai daerah pribadi mereka. Tapi, dinding abal-abal tak bisa begitu saja meredam suara 1.500 orang lebih orang yang tinggal di tempat itu. "Susah tidur karena ribut," keluh Luh.

Iklan

Yang lebih parah adalah kebosanan yang menghantui para pengungsi. "Di kampung kan ada kerjaan. Di sini tidur, bangun, bosan. Enggak ada kepastian, enggak ada tujuan hidup." Saban pagi hari, Luh ikut turun tangan membantu para sukarelawan memasak santapan pagi. Selebihnya, dia mengajak dua anak berjalan-jalan, meski tak pernah jauh dari kompleks GOR. "saya juga enggak tahu lingkungan di sini jadi enggak berani," katanya.

Dua anak kembarnya yang berusia 11 tahun harus mendaftar ulang di sekolah dekat tempat pengungsian. "Ini anak saya kemarin enggak sekolah, dia punya binatang peliharaan, kucing, pingin lihat," kata Luh. "Ikuti saran pemerintah saja," jales Luh. "Tetap mau pulang. Satu tahun enggak kuat saya. Dua minggu saja sudah bosan." Banyak pengungsi mengaku khawatir jangan-jangan Gunung Agung tak pernah benar-benar meletus. Pemerintah jelas menampik kekhawatiran mereka. "Semua Tergantung data," kata Mertheyasa, seorang vulkanolog. "Kita manusia kan sulit memprediksi kapan gunung akan meletus. Yang jelas level kegempaannya tinggi."

Luh juga berkata bahwa dirinya menolak percaya bahwa Gunung Agung pada akhirnya meledak. "Pribadi saya masih belum percaya karena dilihat dari kasat mata belum kelihatan tandanya," katanya.

Jika pun, Gunung Agung kelak memuntahkan lava, mertua Luh tak begitu gusar. "Sudah aman, balik lagi," ujar Rengge. Lelaki tua ini sudah beberapa dekade menghabiskan hidup di lereng Gunung Agung. Tak pernah terbersit keinginannya untuk angkat kaki dari sana. Lalu, dari mana Rengge punya kekuatan hingga bisa seberani itu?

"Yang baru ini santai karena sudah tahu dari dulu," pungkas Rengge.