Benteng Perlindungan Terakhir Waria Pekerja Seks di Singapura

FYI.

This story is over 5 years old.

Foto

Benteng Perlindungan Terakhir Waria Pekerja Seks di Singapura

Rumah dari hasil donasi itu menyediakan tempat tinggal bagi dua belas orang waria yang terlunta-lunta di Negeri Singa.

Semua foto oleh Morganna Magee.

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.

Rumah sepenuhnya dibiayai dari donasi ini menyediakan tempat tinggal bagi dua belas orang waria yang terlunta-lunta di Negeri Singa.

June, aktivis berumur 43 tahun, "bertransisi" ketika dia 17 tahun dengan dukungan penuh keluarganya. "Saya sadar bahwa saya seorang transgender ketika duduk di kelas 2 SMA," kata June yang kini berprofesi sebagai seorang pekerja kesehatan.

"Waktu itu banyak murid-murid lain yang memanggil saya bapok, istilah negatif untuk waria dalam bahasa Malaysia. Saya lega sekali mengetahui bahwa itulah identitas saya yang sebenarnya dan tahu harus menyebut diri saya apa."

Iklan

Pengalaman-pengalaman yang dialami kaum transperempuan di Singapura—sebuah negara yang warganya tergolong konservatif—bermacam-macam. Banyak yang retak hubungannya dengan keluarga, yang akhirnya mengganggu pendidikan dasar para waria itu, hingga menyebabkan mereka harus bekerja di jalanan untuk mencari uang sambil menghadapi bermacam-macam diskriminasi. Kini, banyak wanita tua yang "bertransisi" di era 70-an, 80-an dan 90-an harus menghadapi masa depan yang tidak jelas sebagai pekerja seks.

Melihat sulitnya para kaum waria mencari tempat tinggal di Singapura, June dan kakak perempuannya—yang telah meninggal dan juga seorang waria—membuka tempat perlindungan bagi transperempuan pertama di negaranya pada 2014. "Almarhum kakak saya selalu mengingatkan bahwa kami beruntung, jadi kami harus bisa melakukan lebih banyak untuk orang lain. Kata-kata beliau menginspirasi saya," kata June.

Kasur tingkat dan loker besi untuk setiap waria di penampungan ini

June mengatakan pengalaman melihat payudaranya tumbuh merupakan perasaan yang luar biasa. "Saya merasa benar-benar menjadi seorang perempuan."

Tempat perlindungan ini awalnya hanya sebuah ruangan kecil yang dapat menampung tiga transperempuan, terletak di loteng sebuah ruko. Mereka kemudian pindah ke bangunan yang lebih layak, sejak Oktober tahun ini. Tempat penampungan terbaru itu dilengkapi fasilitas yang lebih baik dan ruang tidur yang dapat menampung dua belas orang. Biaya operasi tempat ini sepenuhnya ditanggung dari hasil donasi pegiat maupun pendukung hak asasi LGBT. Sebuah kampanye penggalangan dana yang dilakukan secara online berhasil mendorong warga Singapura mendonasikan uang, barang, dan makanan. Kondisi di tempat baru ini jauh melampaui target awal.

Iklan

Uang donasi digunakan membiayai tempat perlindungan beserta biaya makanan ini selama dua tahun ke depan. Para waria yang tinggal di sini juga dianjurkan untuk bekerja selama mereka menginap. Setiap tiga bulan, kondisi mereka akan ditinjau.

Alat-alat kebutuhan kamar mandi yang didonasikan oleh penduduk Singapura.

Reaksi positif dari warga Singapura memberi June harapan, bahwa generasi selanjutnya tidak akan membutuhkan tempat perlindungan seperti ini lagi. "Akan tiba masanya ketika kaum waria Singapura tidak perlu bersembunyi."

June berharap suatu hari dia bisa menemukan seseorang dari komunitas waria yang bisa mengoperasikan tempat perlindungan yang terbuka bagi semua waria tanpa tempat tinggal.

Menilik sejarah Singapura, negara ini memang selalu memiliki pendekatan yang inklusif terhadap komunitas waria mereka yang jumlahnya tidak banyak. Di tahun 1950-an, gerombolan waria flamboyan di Singapura yang dikenal sebagai "Ratu Asia" kerap menarik perhatian para turis. Operasi pergantian alat kelamin pertama di Asia pun dilakukan di Singapura pada 1971. Sejak itu, lebih dari 500 operasi kelamin dilakukan di negara kota tersebut, hingga akhirnya pada tahun 90-an ketakutan warga Singapura akan penyakit AIDS membuat pemerintah harus membatasi operasi sejenis.

Biarpun tergolong dalam negara konservatif, Singapura memiliki sisi penuh kontras. Ketika seks pra-nikah dianggap tabu, prostitusi dianggap oleh pemerintah sebagai profesi legal bagi seorang perempuan. Ada banyak rumah bordil yang diawasi dan diatur dengan ketat oleh polisi. Setiap bulannya, para pekerja seks wajib melakukan cek kesehatan.

Iklan

Ruang tamu di tempat perlindungan waria.

June menolak anggapan bahwa kaum transperempuan hidupnya selalu berantakan. "Kehidupan semua orang ada naik turunnya, sama seperti hidup saya sebagai transperempuan," ungkapnya. "Tantangan hidup saya tidak lebih banyak dari penduduk lainnya, hanya bentuknya berbeda. Saya belajar mencintai diri saya dan tidak akan membiarkan hal-hal seperti ini mengusik pikiran saya terlalu lama."

June bekerja di sebuah pusat kesehatan perempuan di Singapura dan sikap pragmatisnya juga terlihat ketika membahas industri prostitusi yang menjadi ladang mencari nafkah banyak kaum transperempuan. "Profesi pekerja seks ya tetap profesi," jelasnya. "Ini satu-satunya industri yang tidak mempermasalahkan identitas gender kami. Kami melakukan hubungan seks hanya untuk mencari nafkah, bukan menegaskan identitas gender kami. Profesi ini telah memberikan kesempatan bagi komunitas kami hidup sesuai pilihan dan tidak perlu tunduk terhadap masyarakat luas yang berusaha mengatur bagaimana kami seharusnya."

June sedang mencukur kakinya di rumah.

Namun yang terpenting, Juni ingin kaum transperempuan bisa memiliki rasa percaya diri dan mencintai diri sendiri seperti dirinya. "Hadiah paling mewah yang anda bisa berikan ke diri sendiri adalah menjadi diri sendiri apa adanya. Setiap pagi saya bisa bangun sebagai diri saya sendiri, dan ini membuat saya makin mencintai diri saya," ujarnya.

"Perasaan ini sangat luar biasa dan biarpun sebagai transperempuan saya pernah mengalami banyak diskriminasi, saya tetap bersyukur atas hidup saya yang penuh dengan berkah. Kalau anda hanya berfokus di identitas gender saya, anda akan melihat kekurangan demi kekurangan. Jika anda melihat saya sebagai seorang manusia, anda akan melihat potensi kemampuan saya yang besar."

Iklan

Apartemen June yang penuh dengan barang-barang bernuansa pop art Asia. Seperti 80 persen warga Singapura lainnya, dia tinggal di apartemen HDB milik pemerintah Singapura.

Ruang santai di tempat perlindungan. Alamat gedung ini dirahasiakan demi alasan keamanan.

Tempat perlindungan ini penuh dekorasi bernuansa pop art Asia seperti rumah June. Di tembok terpasang foto June dan Irene, kakak perempuannya yang telah meninggal.

Sebuah guci berisikan abu kakak perempuannya, Irene yang juga seorang waria. Irene meninggal tahun lalu.