Konten Viral

Apakah Inisiatif Warga Bikin Sayembara Menangkap Orang Termasuk Main Hakim Sendiri?

Penghina insiden tenggelamnya KRI Nanggala-402 di medsos cepat ditangkap berkat bounty grup Facebook. Apakah KUHP membolehkan praktik itu diterapkan untuk kejahatan lain? Ini kata pakar pidana.
netizen Indonesia bikin sayembara menangkap penghina tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala 402 di medsos
Ilustrasi poster buronan ala budaya koboi via Getty Images

Efek viral kembali buktikan diri jadi jalan tercepat untuk menyelesaikan masalah. Nama Imam Kurniawan tiba-tiba jadi target pencarian banyak orang setelah ia diduga menuliskan komentar menyinggung tenggelamnya kapal selam KRI Nanggala-402.

Komentar Imam benar-benar bikin publik murka, sampai mendorong netizen patungan sukarela buat siapa pun yang berhasil mencokok dan ngegebukin si Imam.

Iklan
Screen Shot 2021-04-26 at 15.41.46.png

Patungan dimulai oleh akun Facebook Fajar ArbayuBae yang menggelar lapak dengan pancingan sumbangan Rp2 juta. Dari sana, banyak netizen ikutan nyumbang uang dari Rp10 ribu sampai Rp5 juta. Total Rp21 juta terkumpul, siap diberikan kepada orang yang bisa bikin Imam bonyok.

Entah karena hadiahnya, komentar Imam yang bikin darah tinggi, atau kombinasi keduanya, info bounty hunter itu langsung viral. Hasilnya, dalam waktu singkat netizen berhasil melacak keberadaan Imam di Sumatera Utara. 

Tidak lama berselang, akun Facebook bernama Fahmi Aditya menghubungi Fajar yang mengaku sebagai tetangga pelaku. Fajar kemudian menemui Imam. Melalui unggahan video ini, Imam mengklarifikasi dan membela diri dengan mengatakan penulis komentar tersebut bukanlah dirinya, melainkan orang lain yang diam-diam menggunakan akunnya. Imam mencoba membuktikannya dengan menunjukkan lokasi login Facebook-nya yang berada di Bandar Lampung, sementara ia sendiri berada di Sumatera Utara.

Menurut Fahmi, ia sudah membawa Imam ke koramil setempat. Video sekelompok tentara menganiaya Imam kemudian tersebar di internet.

Iklan

Fenomena mengerahkan kekuatan publik untuk kepentingan kolektif sudah lazim terjadi di negara penuh gotong royong ini. Misalnya, pada 2018 lalu Kampung Celeban di Kota Yogyakarta memberi hadiah uang kepada warga yang bisa menangkap maling. Warga mengaku sudah berkoordinasi dengan Polsek Umbulharjo perihal inisiatif tersebut. Uang hadiah dikumpulkan dari iuran warga.

“Iya, benar. Itu inisiatif seluruh warga RT 32. Karena di sini banyak pendatang, terutama anak indekos, mereka kehilangan handphone, laptop, sehingga membuat kami resah,” kata mantan ketua RT 32 Yoga Hendra Prakosa kepada Suara. “Jadi, ketika ronda malam itu aman, tetapi pada siang hari malah banyak yang hilang sehingga sayembara ini kami buat. Orang yang berhasil menangkap pelaku pada malam hari diberi uang Rp500 ribu. Sementara pada siang hari Rp300 ribu.”

Selain di Yogyakarta, sayembara serupa bisa ditemukan Depok, Samarinda, dan Semarang. Mengingat sebenarnya warga sedang mengambil alih tugas polisi, apakah hal ini benar secara hukum? Ternyata ada syarat yang harus dipenuhi. Jika tidak, warga yang menangkap penjahat malah bisa dipidana. Waduh.

Iklan

Direktur Eksekutif Institute for Criminal and Justice Reform Erasmus Napitupulu mengatakan kepada VICE, Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) membolehkan warga menangkap pelaku kejahatan tertentu, namun harus dengan syarat pelaku tertangkap tangan saat sedang melakukan kejahatan. KUHAP memperbolehkannya agar dalam situasi tindak pidana di depan publik, masyarakat tidak melakukan pembiaran. Namun, situasi menjadi lebih rumit karena kasus Imam terkait dengan informasi elektronik yang tidak punya konsep tertangkap tangan.

Di situasi tersebut, aksi masyarakat malah bisa dipidana dengan tuduhan penyekapan, penculikan, kekerasan, atau mengerahkan kekerasan.

“Kalau masyarakat patungan untuk mengejar seseorang, lalu ditangkap dan ditahan [tanpa bantuan aparat], itu jadinya melawan hukum. Bisa kena pasal penyekapan atau penculikan. Kalau tujuannya melakukan kekerasan, bisa kena [pidana juga] karena menggerakkan orang kan,” kata Erasmus kepada VICE.

Erasmus menambahkan, kemampuan menangkap dan menahan terduga pelaku selama 1 x 24 jam hanya dimiliki aparat penegak hukum (apgakum). Maka, idealnya apabila sayembara berhasil menemukan terduga pelaku secara cepat, baiknya langsung diserahkan ke apgakum.

Jadi bisa dibilang, sayembara menangkap pencuri di berbagai daerah bisa diterapkan karena punya definisi yang jelas akan tertangkap tangan. Namun, agak sulit diterapkan pada transaksi elektronik. “Ada dua pertanyaan [terkait ITE] yang harus dijawab secara kacamata hukum pidana yang sebenarnya masih abu-abu. Pertama, apakah ITE masuk dalam konteks tertangkap tangan? Ini agak susah dijawab karena untuk memastikan kapan dia posting, Anda harus masuk ke dalam sistem,” tambah Erasmus. Kedua, upaya masuk ke sistem ini malah rentan menyalahi UU ITE dan KUHAP sendiri sebab berpotensi melanggar privasi.

“Simpelnya sih boleh [melakukan pengejaran atas inisiatif sendiri], tapi pastikan pengejaran tidak melanggar hak privasi. Makanya, paling aman ya diserahkan pada apgakum. Cuma, [kejadian sayembara mencari pelaku kejahatan] itu menunjukkan kepercayaan publik terhadap apgakum itu berkurang,” tutup Erasmus.

Koordinator Penanganan Kasus Lembaga Bantuan Hukum Masyarakat (LBHM) Yosua Octavian juga seiya dengan Erasmus. Yosua menyarankan langkah yang seharusnya dilakukan masyarakat adalah mengumpulkan bukti untuk diadukan kepada penegak hukum. “Tidak perlu mengajak beberapa orang untuk patungan demi mendapatkan terduga pelaku,” kata Yosua kepada VICE.