Pandemi Corona

PPKM Mikro Diprediksi Tak Akan Bertaji Karena Biang Keroknya Pengawasan Lemah

Epidemiolog menilai masalah terbesar penanganan pandemi Covid-19 di Indonesia bukan regulasi, tapi penerapan '3T' yang tak maksimal. Di tengah pertaruhan pemerintah, banyak RS nyaris kolaps.
Epidemiolog mengkritik keputusan presiden Jokowi memilih PPKM Mikro dibanding lockdown untuk tangani Covid-19
Jenazah pasien positif Covid-19 yang meninggal di rumah diangkut petugas RS Kota Bandung pada 23 Juni 2021. Foto oleh Timur Matahari/via AFP

Indonesia mencatatkan rekor jumlah kasus harian yaitu sebanyak 20.574 kasus pada Kamis (24/6). Angka itu melonjak lebih dari 5.000 kasus dalam 24 jam. Ini merupakan yang tertinggi sejak permulaan pandemi di Indonesia awal Maret tahun lalu.

Dalam konferensi pers pada Kamis sore, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tular Vektor dan Zoonotik Direktorat Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan Siti Nadia Tarmizi mengatakan peningkatan jumlah kasus tersebut merupakan akibat tingginya mobilitas sebelum, ketika dan sesudah mudik lebaran dilarang. 

Iklan

Ini diperburuk oleh semakin meluasnya pelanggaran protokol kesehatan, padahal varian Covid-19 jenis Delta terus mendominasi di dalam negeri. Presiden Joko Widodo mengatakan meski transmisi virus semakin mudah, tetapi pemerintah tetap memilih menerapkan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) Mikro sejak 22 Juni kemarin. 

Menurut Jokowi, “penebalan PPKM mikro” adalah kebijakan paling tepat untuk menekan mobilitas masyarakat tanpa merugikan perekonomian. Dia menyebut pengambilan keputusan sudah didahului dengan mempelajari penanganan Covid-19 di negara-negara lain dan mempertimbangkan kondisi politik, sosial serta ekonomi di Indonesia.

“Pemerintah melihat kebijakan PPKM Mikro masih menjadi kebijakan paling tepat untuk konteks saat ini, untuk mengendalikan Covid-19, karena masih bisa berjalan tanpa mematikan ekonomi rakyat,” tuturnya.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian yang menjabat juga sebagai Ketua KCPPEN Airlangga Hartarto menjelaskan lebih rinci tentang apa yang dimaksud PPKM Mikro.

Beberapa di antaranya adalah perkantoran di zona merah harus menerapkan 75 persen work from home (WFH), sekolah daring, tempat makan beroperasi hingga pukul 20.00 dengan hanya 25 persen kapasitas dine-in, serta pelarangan ibadah massal. Aturan ini berlaku sampai 5 Juli 2021.

Keputusan untuk menjalankan apa yang kemudian disebut dengan ‘penebalan PPKM Mikro’ itu kontras dengan semakin banyaknya permintaan lockdown di Pulau Jawa yang disuarakan di media sosial. Ini mengingat pandemi sudah berjalan selama 1,5 tahun, tetapi Indonesia seperti justru berjalan menuju kegelapan. 

Iklan

Namun, Jokowi seolah berdalih PPKM Mikro lebih buruk dari lockdown. “Saya sampaikan bahwa PPKM Mikro dan lockdown punya esensi yang sama yaitu membatasi kegiatan masyarakat. Untuk itu tidak perlu dipertentangkan,” kata dia. “Jika PPKM Mikro terimplementasi dengan baik, tindakan-tindakan di lapangan yang terus diperkuat, semestinya laju kasus bisa terkendali.”

Epidemiolog Dicky Budiman menilai di masa krisis ini, semestinya pemerintah tidak lagi memakai PPKM Mikro meski mempunyai esensi sama dengan lockdown yaitu membatasi pergerakan masyarakat. 

Ia menyebut ini karena PPKM Mikro tidak efektif dalam menekan laju penyebaran virus. Dibanding itu, Dicky lebih menyarankan implementasi Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) yang pernah dipakai pada April hingga Mei 2020 lalu. “Lockdown versi Indonesia adalah PSBB berbasis regulasi,” kata Dicky kepada VICE.

Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 9 Tahun 2020 tentang Pedoman Pembatasan Sosial Berskala Besar, ketika muncul peningkatan kasus, pemerintah daerah harus meliburkan sekolah dan tempat kerja kecuali yang esensial seperti di pelayanan keamanan, pangan, kesehatan, dan keuangan. Aktivitas ibadah harus dilakukan di rumah dan kerumunan di tempat publik dilarang. Bahkan, moda transportasi umum dibatasi.

Untuk memastikannya, pemerintah diminta berkoordinasi dengan berbagai pihak termasuk aparat penegak hukum dan penanggung jawab fasilitas kesehatan. Keberhasilan PSBB, kata peraturan itu, dilihat dari adanya penurunan jumlah kasus dan ketiadaan penyebaran virus ke area atau wilayah baru.

Iklan

“Kalau bicara efektivitas, baik PPKM maupun PSBB harus melihat pada dua hal [yaitu] bagaimana dia menurunkan angka reproduksi [virus] dan bagaimana dia menurunkan growth rate atau rasio pertumbuhan kasus mau per hari atau per minggu,” tegas Dicky. 

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO), varian Delta yang pertama kali diidentifikasi di India pada Desember 2020 dan per 14 Juni 2021 sudah menyebar ke 74 negara. Reproduksi varian Delta sudah dianggap begitu mengkhawatirkan.

Varian ini merupakan yang paling cepat bertransmisi di mana satu orang positif bisa menularkan hingga ke delapan lainnya. Sebagai perbandingan, satu orang yang positif varian Alpha (pertama di Kent, Inggris) berpotensi menginfeksi hingga enam orang. Sedangkan seseorang yang terjangkit varian Covid-19 awal, yaitu muncul di Wuhan, bisa menulari sampai empat orang.

Mayoritas yang positif varian Delta memperlihatkan gejala seperti radang tenggorokan, sakit kepala, flu dan demam. Berdasarkan studi kesehatan yang dipublikasikan pada 14 Juni lalu, mereka juga lebih rentan menunjukkan gejala lebih berat sehingga harus dirawat di rumah sakit, terutama jika mempunyai penyakit penyerta seperti diabetes dan jantung.

Melihat parahnya situasi di Indonesia, Dicky PSBB adalah kebijakan yang lebih tepat jika dilaksanakan sesuai regulasi yang ketat. Saat PSBB April hingga Mei tahun lalu, reproduksi virus turun dari 1,5 menjadi 1,08.

Iklan

Sementara, sejak awal tahun sampai Juni, reproduksi virus bukannya menurun, tetapi justru meningkat dari 1,19 menjadi 1,36. Begitu pula rasio pertumbuhan kasus dari 30 persen per minggu pada Januari bertambah menjadi 54 persen pada bulan ini.

Selain itu, pemerintah juga kendor dalam testing (pemeriksaan dini lewat tes), tracing (penelusuran kontak), dan treatment (perawatan pasien) atau yang juga dikenal sebagai 3T. 

“Ini fatal sekali karena 3T itu vital untuk memutus mata rantai penularan karena ada aspek isolasi dan karantina di situ yang akan efektif memutus mata rantai penularan Covid-19,” ujarnya.

Kritik lain yang disampaikan Dicky adalah tentang pengawasan implementasi kebijakan di lapangan. Selama ini, banyak anggota masyarakat yang tidak tertib memakai masker di tempat umum, ibadah massal dilakukan tanpa protokol kesehatan, serta kegiatan perkantoran mulai meningkat. Tak ada sanksi baik bagi elemen pemerintah maupun swasta yang melanggar.

Data Satgas Covid-19 pada Februari lalu saja memperlihatkan tingkat kepatuhan memakai masker di DKI Jakarta hanya 66,27 persen. Sempat naik diatas 85 persen pada Maret, tetapi satu bulan kemudian menurun menjadi 81 persen. Kemudian, dalam beberapa waktu terakhir, banyak perkantoran di kota-kota besar yang mulai mewajibkan para karyawan mengakhiri WFH.

Iklan

“PPKM ini terbukti tidak efektif karena implementasinya,” kata Dicky. “Bisa jadi ini karena implementasinya yang tidak ada monitoring yang tepat. Tidak ada juga sanksi untuk kantor yang menolak [aturan WFH]. Jadi, jangan masyarakat saja. Pemerintah juga harus harus di-monitoring.”

Ketika bagian hulu tidak dikontrol dengan ketat, para pekerja medis yang berada di hilir pun merasakan dampak luar biasa. Laporan-laporan muncul dari berbagai penjuru daerah tentang tingkat keterisian tempat tidur di banyak rumah sakit mulai penuh. Ruang-ruang isolasi juga kian terbatas, belum lagi muncul kekhawatiran menipisnya persediaan oksigen.

Kementerian Kesehatan pun terpaksa mengonversi tiga rumah sakit di Jakarta untuk khusus menangani pasien Covid-19 dengan gejala sedang hingga berat. Ketiganya adalah RS Fatmawati, RS Persahabatan, dan RSPI Sulianti Saroso. Nadia, dalam konferensi pers mewakili pemerintah, mengatakan ini cara untuk mengantisipasi membludaknya jumlah pasien. 

“Walau secara rata-rata nasional angka keterisian [tempat tidur] itu 67 sampai 68 persen, di beberapa daerah angka keterisian tempat tidur sudah mencapai di atas 80 persen,” ucapnya. 

RS Sulianti Saroso, misalnya, menambah 41 tempat tidur hingga Juli sehingga total ada 145 tidur. Selain itu, ketiga rumah sakit juga menyiapkan sejumlah tenda agar tidak terjadi penumpukan pasien di Instalasi Gawat Darurat (IGD) yang saat ini mulai terjadi. Kementerian Kesehatan juga mencari auditorium-auditorium yang bisa diubah menjadi tempat isolasi maupun perawatan penderita Covid-19.

Iklan


Penambahan tempat tidur pun harus diikuti rekrutmen tenaga medis lebih banyak sebab dengan tingkat kasus yang diprediksi terus meningkat, jumlah yang ada sekarang tidak memungkinkan untuk merawat secara optimal. Contohnya RS Persahabatan yang berencana menambah 150 perawat dan 14 dokter untuk mengurus total 380 tempat tidur. 

Para tenaga kesehatan pun mengingatkan bahwa masyarakat harus meningkatkan kepatuhan terhadap protokol kesehatan mulai dari memakai masker, mencuci tangan, hingga menjaga jarak. Mereka mengungkapkan ini adalah masa yang sangat berat bagi pekerja medis. 

“Kami bebannya cukup berat di rumah sakit. Kami punya keterbatasan,” kata Plt. Dirut RS Fatmawati dr. Azhar Jaya. 

Dicky juga mendorong pemerintah untuk tidak terus memprioritaskan ekonomi diatas kesehatan masyarakat. “Ini masalahnya sudah bukan menyelamatkan ekonomi, tapi nyawa,” tegasnya.