Bertahan di Jakarta

Daftar Stereotip Pemicu Anak Muda Ragu dan Takut Hidup di Jakarta

Buat sebagian pekerja di luar Jakarta, Ibu Kota ibarat lubang neraka berbiaya tinggi, sementara gajinya kini biasa saja. Menurut pembaca, mana stereotip yang benar atau sebaliknya terasa berlebihan?
Stereotip Pemicu Anak Muda Ragu dan Takut Hidup di Jakarta
Foto kepadatan KRL di jam sibuk [kiri] oleh iqbal nuril/via Pixabay; Foto pemandangan dari atas gedung di Jakarta Selatan oleh Muhammad Ravel/via Unsplash

Ibu kota sejak lama disebut lebih kejam daripada ibu tiri. 

Pada praktiknya, kekejaman itu enggak cukup membuat orang berhenti berbondong-bondong pindah ke Jakarta demi penghidupan yang lebih baik. Enggak apa-apa tersiksa dikit, asal masa depan gemilang segera hadir. Bambang Brodjonegoro, pada 2018 masih menjabat sebagai Kepala Bappenas, melaporkan Jakarta sebagai kota paling terbebani nomor dua di dunia karena diisi aktivitas 30,2 juta orang setiap hari.

Iklan

Sebagai kota tujuan utama para perantau Indonesia, pertumbuhan jumlah penduduk DKI Jakarta konsisten terjadi. Dimulai dari 10,18 juta jiwa pada 2015, menjadi 10,5 juta jiwa pada 2019. Setiap 1 kilometer persegi tanah Jakarta dihuni oleh 15.804 jiwa, bandingkan dengan Makassar yang notabene “Jakarta-nya” Indonesia Timur, yang cuma dipadati 192 jiwa per kilometer persegi.

Kenyataan bahwa 70 persen perputaran uang nasional terjadi di provinsi ini bikin kita maklum mengapa banyak kaum migran menuju Jakarta dan berusaha jadi “seseorang”, sampai tercatat bekerja lebih panjang dari orang lain.

“Jam kerja migran umumnya lebih panjang karena mereka lebih termotivasi meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan. Pada umumnya migran lebih gigih dan pekerja keras,” kata Peneliti Pusat Penelitian Kependudukan LIPI Ngadi, dilansir Lokadata. Menurut UU 13/2003 tentang Ketenagakerjaan, durasi bekerja seminggu adalah 30 jam. Sementara para migran di Jakarta ini menghabiskan 70 jam kerja per minggu.

Di balik kemilau daya tarik ekonomi dan perkembangan karier, tidak sedikit pula anak muda yang menolak pindah ke Jakarta. Sementara di poros tengah, ada para pekerja yang menimbang-nimbang dengan bertanya di Quora. “Mana yang lebih baik, gaji 6 juta di Jakarta atau 3 juta di Jogja?” tanya satu akun. Atau pertanyaan lain: “Jika kamu tinggal di Solo dengan gaji Rp10 juta/bulan apakah kamu bersedia pindah kerja ke Jakarta dengan gaji Rp20 juta/bulan?”

Iklan

Emang segitu horornya ya tinggal dan kerja di Jakarta, sampai gaji besar tak langsung bikin seseorang berkata iya? Untuk tahu lebih jelas apa alasan kegentaran ini, VICE berinisiatif meminta pendapat singkat anak muda non-Jakarta tentang bayangan seram mereka jika bekerja di Jakarta. Berikut kompilasi alasan mereka.


“Gaji gede, cost gede.” - Gora, 26 tahun

“Macet, padat, apa-apa mahal. Terlalu banyak gedung tinggi, bikin pusing,” - Praja, 28 tahun

“Kualitas udara buruk, pemukiman padat, macet.” - Nisrina, 29 tahun

“Pernah seminggu penelitian di sana kerasa banget capek di jalan. Kalau berkarier di situ kebayangnya tua di jalan duluan. Hahaha.” - Bimo, 26 tahun

“Sepertinya Jakarta itu selalu in a rush, cepat. Sudah terdoktrin bahwa tingkat stres orang Jakarta itu tinggi.” - Dicky, 32 tahun

“Dapat uang banyak tapi selalu habis di biaya pergaulan, hedonisme, dan lifestyle. FOMO [fear of missing out]-ku tinggi kalau di Jakarta. Enak di Lampung, makan tahu tempe sudah happy.” - Rizky, 26 tahun

“Aku selalu takut kerja di Jakarta tuh bikin kita enggak punya kehidupan. Kayak apa-apa untuk korporat gitu. Work flow-nya enggak selow dan kudu serba cekatan. Mantanku pernah bilang juga kalau dia tua di jalan gara-gara hidup di Jakarta. Padahal, kalau waktu yang dia buat nunggu kemacetan dibuat baca buku, mungkin seminggu udah nyelesain Tetralogi Buru.” - Ajeng, 27 tahun

“Kualitas udara yang buruk.” - Filipus, 24 tahun

Iklan

“Biaya asisten rumah tangganya muahal.” - Fythra, 26 tahun

“Jakarta tuh hectic, kompetitif, segala hal terburu-buru. Kerja sebulan ngabisin duitnya seminggu.” - Rivani, 23 tahun

“Enggak se-mobile di daerah. Sekarang pendapatan juga enggak signifikan jauhnya, padahal di Jakarta lebih tinggi soal living cost.” - Bima, 27 tahun

“Kadang orang-orang kalau bicara keras-keras, bentak-bentak gitu. Aku kan kaum cemen berhati kecil.” - Dinda, 28 tahun

“Macet, kriminalitas tinggi, takut tua di jalan.” - Dian, 29 tahun

“Bagi gue yang orang Tangerang, butuh effort dua kali lebih banyak ke kantor. Setengah gaji kayaknya cuma buat transportasi. Enggak bisa ngekos karena mempertimbangkan ibu sendirian di rumah.” - Elma, 24 tahun

“Banjir, trotoar jelek, berurusan dengan keluarga yang enggak deket untuk kondangan atau jenguk lahiran, transportasi massal belum memadai, ormas tukang grebek, dan tukang parkir ninja.” - Geri, 26 tahun

“Lebih ke cost of living sama gaya hidupnya sih kalau aku karena banyak yang bilang susah sekali untuk menghemat sih kalau sudah di Jakarta. Kalau musisi kan mau enggak mau sepertinya harus srawung [nongkrong[ bertemu dengan musisi lain, otomatis kan keluar dana untuk hal-hal seperti itu.” - Yabes, 25 tahun

“Polusi.” - Langit, 23 tahun

“Nasi pecel seporsi Rp25 ribu cuma nasi dan sayur. Helow di Jogja cuma Rp10 ribu udah dapat telur! Kalau libur, hiburannya enggak jauh-jauh dari kasur, Netflix, kafe, mal. Ya kali beton lagi, beton lagi. Orang-orang di Jakarta pada ambis, enggak bisa selow urusan kerjaan, suka bikin mikir ‘apaan sih nih orang!’” - Umu, 26 tahun

“Khawatir sama orang-orang jahat yang sepertinya banyak. Entah copet, jambret, begal, dan lain-lain. Lebih ke situ sih.” - Dono, 26 tahun


Begitulah. Buat kalian yang tinggal di Jakarta, ada tanggapan soal stereotipe di atas?