FYI.

This story is over 5 years old.

Lingkungan

Insiden Pria Dimangsa Piton, Puncak Gunung Es Perebutan Lahan Manusia dan Hewan di Indonesia

Lembaga pemantau lingkungan mencatat ada puluhan insiden sejenis lima tahun belakangan. Semuanya terjadi di sekitar kawasan perkebunan sawit dan tambang.
Sumber gambar: Wikimedia Common

Insiden ular piton memangsa manusia di Sulawesi Barat memicu horor dan ketakutan. Namun, setelah diperhatikan lagi lokasi kejadiannya, rasanya ada faktor ketidakseimbangan alam. Korban yang bernasib nahas adalah petani kelapa sawit. Habitat hewan melata itu di Sulawesi kemungkinan besar terganggu akibat ekspansi perkebunan.

Ekspansi korporasi di bidang pertambangan dan perkebunan membuat laju pertumbuhan ekonomi yang cepat selama satu dekade terakhir. Namun bukan berarti ekspansi tersebut tidak membawa efek samping. Di bidang perkebunan, Indonesia menikmati booming minyak kelapa sawit pada awal 2000-an. Akhir 2016, total produksi minyak kelapa sawit mencapai 32 juta metrik ton, dengan nilai ekspor mencapai US$18,6 juta.

Iklan

Meledaknya bisnis minyak kelapa sawit, memacu pembukaan lahan gambut besar-besaran di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Papua, hingga memicu sengketa lahan dan konflik antara manusia dan binatang. Beberapa melibatkan harimau, gajah, orangutan, dan yang cukup jarang terjadi: ular. Seperti yang baru-baru ini terjadi di Sulawesi Barat ketika seorang pria ditemukan tewas dimangsa ular piton di sebuah perkebunan sawit. Dalam video yang viral sejak awal pekan ini, jasad pria dewasa ditemukan di dalam perut ular piton.

Kasus tersebut bisa jadi pengingat bahwa apapun yang terjadi, manusia dan binatang hidup berdampingan di beberapa daerah, dan konflik bakal sewaktu-waktu terjadi. Konflik manusia-binatang memang kerap terjadi, namun mayoritas korban berasal dari kubu binatang.

Sementara kasus tewasnya manusia bisa dikatakan jarang terjadi. Di Sumatera Selatan, seorang pemuda tewas setelah diserang harimau saat hendak mencari daun nipah pada awal tahun ini. Sementara di Aceh, dua orang tewas pada 2009 setelah diinjak gajah.

Menurut data WWF, di Riau—lokasi yang memiliki 2.399.172 hektar kebun sawit—68 ekor gajah mati karena berkonflik dengan manusia sepanjang 2012 hingga 2016. Kebanyakan gajah tersebut mati setelah diracun.

"Semakin menyempitnya habitat mereka, akan semakin tinggi pula konflik antara hewan dengan manusia. Ekspansi pembukaan lahan yang akan terus berlanjut juga dapat membuat populasi hewan terus berkurang," kata Yuyun Indradi, Kepala Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia saat dihubungi VICE Indonesia.

Iklan

Sementara itu Syamsidar dari World Wild Fund (WWF) Riau mengatakan bahwa populasi gajah di Riau saat ini mencapai sekitar 330 ekor yang tersebar di sembilan kantong. "Tahun lalu angka kematian gajah karena konflik dengan manusia memang menurun, tercatat hanya lima ekor," tutur Syamsidar.

"Gajah sering berkelompok dan bergerak dari satu hutan ke hutan lain, mereka sering melintasi perkebunan warga dan diusir mungkin dengan kekerasan," tutur Syamsidar.

Syamsidar mengatakan bahwa saat ini WWF dan pemerintah setempat kerap melakukan patroli dan monitoring pergerakan gajah, agar bisa dihalau dari permukiman dan perkebunan warga.

Menurut Yuyun, pencegahan konflik manusia-hewan yang paling efektif adalah dengan membatasi izin pembukaan lahan. "Pemerintah memang telah menerbitkan moratorium penggunaan lahan, tapi tidak efektif karena tidak konsisten. Pengawasan masih lemah, penegakan hukum apalagi," kata Yuyun.

Pemerintah sudah menerbitkan moratorium perizinan hutan dan lahan gambut sejak 2013, namun jumlah lahan yang digunakan untuk kepentingan industri justru mengalami peningkatan hingga 12 juta hektar pada periode 2011-2013 menurut temuan Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) dan Yayasan Kemitraan.

Syamsidar meyakini penyelesaian konflik perebutan sumber daya antara manusia-hewan berada di level pemerintah, bukan masyarakat. "Masyarakat lokal maupun pendatang membuka lahan dalam skala kecil, tapi korporasi bisa ratusan hektar karena sejak di level perizinan sudah salah. Akhirnya yang menjadi korban adalah masyarakat juga," ujar Syamsidar.