FYI.

This story is over 5 years old.

Ilmu pengetahuan

DNA Gurita yang Kelewat Menakjubkan Bisa Memberikan Pencerahan Tentang Kecerdasan

Ini adalah makhluk super yang punya racun seperti ular, paruh seperti burung kakaktua, dan tinta seperti pulpen kuno. Bisa masuk ke lubang sebesar apel, dan berubah warna kapan saja ia mau.

Di sebuah siang hari, saya mengintip ke dalam tanki laboratorium Frank Grasso di Brooklyn College di Flatbush. Terlihat sebuah gumpalan licin berada di pojok tanki, menatap saya dengan satu mata. Dia adalah sebuah gurita, tanpa nama, karena baru saja tiba sehari sebelumnya, dikirim ekspres menggunakan FedEx. Di tanki kedua, sebuah gurita lainnya bersembunyi dengan sangat baik, hingga tak terlihat.

Perjalanan mereka akhir-akhir ini adalah alasan kenapa mereka malu-malu, Grasso, seorang psikolog komparatif dan ahli sains-neuro kognitif, menjelaskan ke saya. Saya bersimpati, tentunya dikirim ke sana-sini bukanlah hal yang menyenangkan, tapi saja juga sedikit kecewa bahwa pertemuan pertama saya dengan gurita hanya ‘segitu doang’.

Iklan

Dalam The Soul of an Octopus, Sy Montgomery menulis bahwa dia ingin bertemu seekor gurita karena mereka melambangkan “misteri besar dari dunia lain.” Manusia memisahkan diri dari gurita secara evolusioner lebih dari setengah miliar tahun yang lalu, dan gurita sering disebut sebagai makhluk yang paling mendekati alien di bumi. “Ini adalah binatang yang memiliki racun seperti ular, paruh seperti burung kakaktua, dan tinta seperti pulpen kuno,” tulis Montgomery. “Beratnya bisa sama seperti manusia dan panjangnya seperti mobil, namun tetap bisa memasukkan tubuhnya yang tanpa tulang ke sebuah lubang seukuran jeruk. Mereka juga bisa berubah warna dan bentuk. Mereka bisa mengecap menggunakan kulitnya. Dan yang terpenting, kabarnya gurita itu cerdas.”

Kita sudah sering mendengar kabar tentang gurita di berbagai akuarium dunia: kasus kaburnya mereka, kepribadian mereka yang kuat, bagaimana mereka suka bermain-main, memilih manusia favorit, dan kemampuan mereka menyelesaikan puzzle rumit. Dalam sebuah episode Blue Planet II baru-baru ini, seekor gurita berhasil mengusir hiu pajama dengan cara memasukkan lengannya ke dalam insang hiu agar ia kehabisan oksigen, kemudian dia menyamarkan dirinya sendiri di bahwa tumpukan kerang. Penulis sains Ed Yong menyebut episode tersebut “salah satu adegan TV paling seru”.

Ini adalah salah satu alasan peneliti seperti Grasso mempelajari gurita. Mereka adalah invertebrata yang memiliki otak yang berbeda dibanding manusia, namun tetap bisa menyelesaikan masalah rumit, belajar, dan memiliki ingatan.

Iklan

“Menurut saya mereka adalah jawaban menuju kecerdasan yang belum kita jamah,” ujar Grasso. Kalau dia sanggup menemukan apa yang membuat gurita bergairah, dan sumber kecerdasan mereka, dia bisa menemukan kebenaran fundamental tentang kecerdasan bagi semua organisme, termasuk manusia.

Gurita itu aneh. Mereka memiliki tiga jantung, sebuah otak yang menutupi kerongkongan, dan zat tembagalah yang membawa oksigen dalam darah mereka, bukan besi, artinya darah mereka berwarna biru.

Tapi dalam membicarakan kecerdasan mereka, kita harus melihat otak mereka. Sekilas, otak gurita terlihat serupa dengan otak manusia: mereka terorganisasi secara bilateral, jadi ada sisi kanan dan sisi kiri. Tapi ini hanyalah dua perlima otak gurita. Bagian lainnya, dan sisa dari sistem saraf sentral gurita, didistribusikan lewat tubuhnya, lewat lengan. Setiap lengan bisa bergerak secara otonom; Grasso mengatakan ini seperti apabila kita memiliki saraf tulang belakang di setiap tangan dan kaki.

Karena sistem saraf sentral mereka tersebar seperti ini, apabila sebagian besar dari otak bilateral mereka diambil (sudah pernah dilakukan ilmuwan), seekor gurita akan tetap bisa berfungsi. Mereka masih bisa mencari makan, bergerak-gerak, dan bertingkah seperti normal. Gurita memiliki 500 juta neuron dalam tubuhnya, jauh dari 100 miliar neuron yang dimiliki manusia, tapi tetap jauh lebih banyak dari invertebrata lainnya (anjing memiliki sekitar 500 juta neuron juga).

Iklan

Grasso menyadari bahwa pembahasan tentang kecerdasan binatang kadang dinodai oleh proyeksi dan antrhopomorphisme, jadi dia memilih untuk membahas secara spesifik apa yang seekor gurita bisa lakukan dengan otaknya yang aneh. Ketika Grasso memasukkan seekor kepiting ke dalam toples dan memasukkannya ke dalam tanki bersama gurita, dia memberikan gurita sebuah tugas yang belum pernah diberikan proses evolusi alami. Namun sang gurita ternyata mampu membuka toples dalam hitungan menit. Makhluk laut lain bisa saja menghabiskan seumur hidup tanpa bisa menyelesaikan masalah ini, ujarnya.

“Mereka bisa mempelajari hal-hal rumit,” ujarnya. “Mereka sering memiliki kebiasaan baru. Mereka bisa belajar cara mengeksploitasi sumber makanan baru yang leluhur mereka tidak lakukan. Mereka bisa belajar melakukan manipulasi rumit untuk melakukan ini. Mereka bisa dilatih, seperti seekor anjing. Ada bukti bahwa mereka belajar dengan cara memperhatikan, dan ini luar biasa bagi binatang penyendiri seperti mereka—bisa menonton spesies lain dan mendapatkan kemampuan baru hanya dengan menonton.”

Primata, seperti manusia, adalah binatang sosial, dan ada teori yang mengatakan bahwa kecerdasan manusia datang sebagian besar dari interaksi kita satu sama lain. Tapi kisah gurita agak berbeda: mereka selalu sendirian semenjak lahir. “Mereka mendapatkan kecerdasan dengan cara yang berbeda,” ujar Grasso. “Ini membuat kita kembali mengunjungi konsep kecerdasan. Gurita tidak mengalami evolusi kecerdasan namun tetap bisa menyelesaikan masalah sosial yang rumit.”

Iklan

Bahkan cara mereka bergerak membutuhkan tenaga otak. Tidak seperti manusia dan binatang lain yang memiliki endoskeleton atau eksoskeleton, gurita memiliki tubuh yang lunak; tidak ada bagian tubuh yang keras kecuali paruhnya. Ketika mereka memanjangkan lengan untuk mengambil sesuatu, mereka bisa ke arah manapun. Ketika manusia memanjangkan lengan untuk mengambil sebuah apel, ada batas berapa derajat yang kita bisa lakukan untuk menggerakan lengan, dibatasi sikut, pergelangan tangan, dan sambungan bahu. Gurita memiliki pilihan tak terbatas untuk mencapai apel tersebut, dan melakukan manuver dan koordinasi delapan lengan membutuhkan konsentrasi otak, ujar Grasso.

Mereka juga memiliki sistem kamuflase yang mengagumkan; kulit mereka terbuat dari banyak paket minyak berwarna, atau pigmen, dengan otot terekat. Apabila seekor gurita ingin membuat sebagian lengannya berwarna coklat, dia akan meregangkan otot tersebut. Apabila dia ingin warnanya menjadi merah, dia akan menarik tambalan tersebut dan membuatnya menjadi merah. Mereka bisa mencampur warna, menciptakan bayangan dan pola yang rumit, dan bisa menghilang dalam latar belakang apapun.

Grasso berpikir ini juga bisa menjelaskan otak mereka yang kuat; mereka harus mengontrol ribuan titis kecil menggunakan otak. Kejutan: gurita itu buta warna. Jadi mereka bisa melakukan kamuflase canggih tanpa bisa melihat warna itu sendiri. “Ini puzzle yang rumit,” ujar Frank. “Bagaimana bisa seekor binatang mencocokkan warna ketika tidak ada bukti mereka memiliki pigmen visual yang dibutuhkan untuk memproduksi penglihatan warna, sama seperti manusia?

Iklan

Mungkin kita memang sering melebih-lebihkan makna di balik gurita yang menyemprotkan air ke sumber cahaya di akuarium. Tapi morfologi tubuh dan otak mereka masih menjadi sumur subur untuk informasi biologis, dan kita harus terus belajar, ujar Clifton Ragsdale, seorang ahli sains-neuro dari University of Chicago. Dia mengerahkan studi gurita di luar sekedar mempelajari hal-hal aneh yang mereka laukan: Ragsdale merupakan bagian dari tim yang pertama kali mengurutkan genom gurita pada 2015.

“Ada banyak studi yang dilakukan abad lalu oleh ahli neuro-sains Inggris yang mempertanyakan otak dan kelakuan gurita,” ujarnya. “Mereka menggunakan metode saat itu dan memberikan kami banyak informasi. Tapi tetap saja ini tidak memberi tahu kami apa-apa tentang sirkuit garis besar mereka. Kami tidak paham apapun tentang mikro-sirkuit organisasi otak gurita. Ini membuat kamu kesulitan mencari tahu, misalnya, bagaimana binatang ini memproses informasi visual. Atau bagaimana sistem ingatan mereka bekerja.”

Ragsdale dan kolaboratornya menemukan bahwa gurita memiliki sebuah genom besar, dengan 2.7 milliar pasangan dasar dan lebih dari 33.000 gen kode sandi protein (genom manusia memiliki sekitar 3 milliar pasangan dasar dan 20-25.000 gen). Genom gurita lima atau enam kali lebih besar dibanding genom invertebrata lainnya yang pernah diurutkan, dan memiliki dua kali lipat jumlah kromosom.

Karena genom mereka sangat besar, Ragsadale menduga mungkin saja gurita mengalami duplikasi genom. Ketika material genetik dilipatgandakan untuk meningkatkan diversitas genetik dan menghasilkan unsur baru (pernah terjadi dua kali terhadap vertebrata nenek moyang). Tapi mereka tidak menemukan tanda-tanda duplikasi gen, dan justru menemukan bahwa genom mereka sangat besar akibat ekspansi beberapa keluarga gen, menyusun ulang gen lain, dan menampilkan gen baru seutuhnya.

Iklan

Ekspansi gen yang mengejutkan mereka, jelas Ragsdale, adalah yang terjadi di dalam protocadherin, gen yang mengatur pengembangan neuron dan interaksi antar neuron. Mereka melihat 168 gen protocadherin dalam genom gurita, atau sepuluh kali lipat lebih dari inverterbrata lainnya dan dua kali lipat dibanding mamalia. Ragsdale mengatakan tadinya diasumsikan bahwa hanya vertebrata yang bisa memiliki segitu banyak gen protocadherin yang berbeda-beda.

Genom mereka juga teracak-acak, dengan gen yang biasanya ditemukan berdampingan di kromosom justru tidak berdekatan, “Seakan-akan genom mereka diacak-acak menggunakan blender,” jelas anggota laboratorium Caroline Albertin lewat sebuha pernyataan. Genom mereka banyak didominasi oleh transposon, atau “gen meloncat,” yang bisa mengubah sususan mereka sendiri di genom. Ragsadale dan kolaboratornya tidak yakin apa sebenarnya peran mereka, tapi menemukan bahwa ada ekspresi transposon yang meningkat di saraf neural.

Tahun lalu, peneliti dari Tel Aviv University menemukan bahwa gurita secara ekstensif menggunakan penyuntingan RNA, yang artinya mereka bisa mengubah ekspresi gen mreka sendiri tanpa harus menguah sekuens DNA itu sendiri. Di musim keduia Jessica Jones (spoiler alert), faktor ini sempat disebutkan: Jessica JOnes kabarnya mendapatkan tenga supernya lewat penyuntingan genetik menggunakan DNA gurita. (Gurita menggunakan RNA untuk tenaga super mereka sendiri, seperti memanipulasi saraf untuk bertahan dalam keadaan temperatur esktrem.) semenjak ditayangkan, publik sangat tertarik dengan “DNA gurita.”

Iklan

Laboratorium Ragsdale juga mulai meneliti regenerasi lengan gurita. Kalau kamu mengamputasi sebuah lengan, ujarnya, lengan tersebut akan tumbuh kembali dan bisa berfungsi dengan lumayan baik. Tapi lengan gurita bukanlah sekedar lengan, tapi juga sistem kamuflase yang kompleks. Lengan mereka, yang tidak hanya bergerak tapi juga merasakan dan mengecap, merupakan perpanjangan dari sistem saraf sentra mereka.

Manusia tidak bisa beregenerasi sama sekali. “Setelah minum-minum berat semalaman, iya hatimu akan beregenerarisasi ,” ujar Ragsdale. “Tapi ini tidak memiliki sturktur tiga dimensi yang rumit. Kita tidak akan mendapatkan pencerahan tentang regenerasi struktural macam ini dengan cara mempelajari manusia, atau regenerasi mamalia. Kita harus mencari dalam hal lain di dunaia binatang.

Dia mengatakan sifat dari regenerasi gurita mungkin bisa digunakan dalam kasus kerusakan tulang belakang. Tentu saja akan sangat berguna belajar menumbuhkan bagian dari saraf sentral mereka. Menggunakan DNA gurita untuk menyunting gen kita sendiri mungkin tidak akan terjadi dalam waktu dekat, tapi ini menjadi contoh mengapa pendekatan molekular sangatlah berguna: kita mengorek-ngorek genom gurita hingga kita melihat bagaiamana sebenarnya gurita melakukan hal-hal yang mereka bisa lakukan alih-alih hanya mengagumi mereka.

Berbagai pengujian molekular juga mengungkap kemiripan antara gurita dengan manusia. Benny Hochner, seorang ahli neurobiologi di The Hebrew University of Jerusalem, telah mempelajari ingatan gurita. Sama seperti manusia, gurita memiliki ingatan jangka panjang dan pendek dalam bagian otak yang terpisah. Dalam area otak yang penting bagi ingatan, dai menemukan potensiasi sinaptik jangka panjang (LTP), sebuah proses yang meningkatkan sinapsis antar sel saraf. Ini merupakan mekanisme yang digunakan untuk menjelaskan pembentukan ingatan jangka-panjang, dan dalam manusia, mengambil tempat di pusat ingatan, hippocampus. Ketika Hochner memblok LTP dalam otak gurita, dia menemukan bahwa ingatan mereka tentang tugas memburuk.

Iklan

Jean Boal, seorang profesor perilaku binatang dan biologi laut di Millersville University di Pennsylvania dan para kolaborator telah mempelajari fase tidur REM yang dilakukan gurita. Konsepnya sama, apabila gurita memilikinya, berarti mereka berevolusi secar aindependen. “Ini artinya gurita memiliki fungsi penting fundamental yang dibutuhkan,” ujarnya. “Ini mungkin bisa membantu kami mempersempit apa yang terjadi ketika mereka tertidur yang sangat penting.

Tidak semua penelitian gurita bersifat provokatif. Dalam artikel ini, Engber juga mengaku bahwa laboratorium Hochner menemukan gurita yang lambat belajar, dan dengan segala kebebasan lengan yang mereka miliki, cara mereka berjalan sangatlah sederhana. Dia juga mengutip studi lain yang mengatakan gurita tidak memiliki kepribadian yang kuat sama sekali, artinya, semua referensi anekdot dari peneliti tentang gurita yang ramah dan suka bermain mungkin hanya setengah kebenaran. Setengahnya lagi? Anthromorphisme.

Tapi kenapa juga gurita dinilai menggunakan standar yang sangat tinggi? Apa mereka harus menjadi murid yang hebat dan memiliki kepribadian yang berbeda untuk dijadikan kandidat biologi perbandingan? Mungkin saja kita pernah bersikap lebay tentang kelakuan mereka, tapi ini bukan berarti kelakuan mereka tidak luar biasa.

“Kalau setiap binatang itu spesial, dan setiap binatang memiliki kecerdasannya sendiri, kenapa juga kita lebih tertarik dengan gurita dibanding ikan badut atau kerang?” tulis Engber.

Iklan

Mungkin seharusnya kita tidak pilih kasih. Tapi gurita masih bisa pamer dalam dunia invertebrata, sesuai kandungan genom mereka. Ketika membicarakan “kecerdasan,” Ragsdale mengatakan banyak koleganya yang berhati-hati menggunakan kata tersebut saking seringnya disalahgunakan. Tapi dia merasa kebanyakan media-lah yang telah terbuai oleh “kegeniusan” gurita. Saya sendiri tidak bisa menemukan peneliti yang berani menjelaskan kecerdasan mereka. “Kami memilih frase seperti: pemecah masalah yang hebat, dan sangat banyak akal dalam lingkungan mereka,” ujarnya.

Lagian, Grasso mengatakan biologi dan psikologi komparatif bukanlah tentang menerapkan kecerdasan kita terhadap gurita, atau sebaliknya. Tapi lebih tentang melihat bagaimana evolusi menyelesaikan masalah dengan cara yang berbeda, atau yang lebih menarik, dengan cara yang sama. Kecerdasan manusia tidak sedang bersaing dengan kecerdasan gurita; jadi kita seharusnya tidak menghakimi apabila perilaku mereka tidak sesuai dengan perilaku kita, dan bukan juga kita seharusnya membandingkan perilaku yang serupa.

“Pesan utamanya adalah mereka memiliki organisasi otak yang sangat berbeda dengan manusia di setiap aspek kecuali fakta bahwa otak mereka memiliki neuron dan bilateral,” ujarnya. “Namun semua bagian ini bekerja sama untuk menghasilkan organisme koheren yang bisa bertahan hidup. Gurita sekarang adalah versi yang paling maju, sama seperti manusia sekarang adalah versi yang paling maju.”

Sebelum saya meninggalkan para gurita di Brooklyn College, murid Grasso menjatuhkan seekor kepiting ke dalam air. Guritanya belum makan, dan seharusnya lapar, jadi kami berharap dia akan terpancing keluar. Satu lengannya sempat terjunjung keluar, tapi kemudian masuk kembali.

Saya harus menerima bahwa pertemuan pertama saya dengan gurita tidak sama dengan pengalaman Montgomery: “Lengan-lengannya berputar seperti agar-agar berusaha meraih tangan saya. Langsung saja kedua tangan dan lengan saya dibalut belasan lengan yang lembut.”

Saya dengar beberapa hari kemudian, para gurita tersebut sudah menyesuaikan diri dengan rumah baru mereka. Mereka kini aktif dan siap untuk belajar. Mereka dinamakan Quasimodo dan Queen.

Kini Grasso akan mulai menguji Quasimodo dan Queen, bukan untuk melihat apakah mereka nakal—tapi apabila mereka bisa mempelajari tugas baru dan sanggup mengingat. Penting bagi kita untuk tidak memproyeksikan kualitas manusia ke mereka, ujarnya, tapi mempelajari gurita mengingatkan kita bahwa manusia bukanlah satu-satunya makhluk “cerdas” di dunia.

“Ini menyentuh definisi mendasar kecerdasan, dan inilah mengapa psikologi komparatif menanyakan pertanyaan-pertanyaan mendasar tersebut,” ujarnya. “Apa yang dimaksud dengan kecerdasan, apa yang bukan, dan seberapa jauh ini bisa didorong. Saya puas bisa memahami kecerdasan dengan melihat banyak contoh yang berbeda, daripada secara arogan mengatakan: Kecerdasan itu mengacu pada manusia.”