FYI.

This story is over 5 years old.

Timur Tengah

RS Darurat di Yordania Membuat Telinga dan Mata Buatan dari Printer 3-D Bagi Korban Perang

Rumah sakit Médecins Sans Frontières menyediakan layanan yang tak pernah didapatkan warga korban perang di Timur Tengah.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.

(Foto utama artikel: para pasien di rumah sakit darurat Médecins Sans Frontières, Ibu Kota Amman, Yordania. Seluruh foto oleh penulis.)

Inilah satu-satunya rumah sakit darurat sekaligus rujukan di kawasan Timur Tengah yang berkomitmen merawat korban luka perang. Dokter dan perawat di sana berusaha membangun ulang tubuh dan jiwa manusia-manusia yang terpaksa datang. Memberi perawatan sejenak, semacam jeda, sebelum para pasien terpaksa harus kembali ke zona konflik tempat tinggal masing-masing. Saya berada di Amman, Ibu Kota Yordania—sebuah kerajaan di tengah gurun yang relatif kecil dan kering. Amman adalah lokasi kota kuno Petra, yang dikenal berkat film Indiana Jones saat memburu Cawan Suci Yesus. Kota ini walaupun aman, tetaplah dikelilingi kekacauan. Berjalanlah beberapa jam ke sebelah utara, maka kau  bertemu wilayah Suriah yang dilanda perang saudara enam tahun terakhir. Israel dan perbatasan Tepi Barat, Palestina, ada sisi timur Amman. Jangan lupa, Irak dan Arab Saudi berada di selatan kerajaan ini. "Yordania adalah salah satu negara stabil terakhir di wilayah Timur Tengah," kata Marc Schakal, kepala misi Médecins Sans Frontières (Organisasi Nirlaba Dokter Lintas Batas). Setelah satu dekade beroperasi, sekurang-kurangnya 10.000 operasi telah dilakukan terhadap 4.500 pasien. Ahli bedah rata-rata menggantikan sendi dan pinggang yang lepas, atau memasangkan kulit buatan pada pasien luka bakar. Mayoritas pasien biasanya menginap di RS ini selama enam bulan. Saat saya datang, nampak beberapa pasien terbaring di tempat tidur, bergantung pada kursi roda, serta terpaksa berada di ICU karena terancam diamputasi. Tak sedikit pasien lainnya berlumuran luka bekas penyiksaan. Awal 2017, sebuah printer 3D baru telah tersedia di RS tersebut. Rencananya teknologi itu akan dipakai mencetak organ buatan, mulai dari telinga sampai mata palsu diproduksi khusus menyesuaikan tiap-tiap pasien. Peta konflik di wilayah Timur Tengah dapat dilacak melalui asal pasien-pasien rumah sakit ini. Sepuluh tahun lalu, kata Schakal, mayoritas pasien berasal dari Irak. Kini, kebanyakan pasien adalah warga Suriah, meski warga Yaman, Irak, dan Palestina juga masih menjadi langganan rumah sakit MSF itu.

Iklan

Seorang pasien menjalani proses fisioterapi di rumah sakit darurat MSF.

Sejak pertama kali rumah sakit ini berdiri, para staf merasa karakter luka-luka akibat perang tidak berubah. Yang paling umum adalah luka pecahan tulang atau seorang pasien kehilangan setengah wajahnya. Bom, peluru, atau bangunan runtuh menyebabkan jenis luka-luka parah yang sama, meski pelakunya berbeda. Sangat mungkin bila yang terjebak reruntuhan bangunan rumah sakit justru prajurit atau teroris pelaku. Schakal mengaku tidak pernah menanyakan latar belakang pasien, apalagi mereka yang buru-buru meninggalkan rumah sakit setelah dirujuk dokter lokal. Sebagian pasien mungkin saja sebenarnya militan atau anggota organisasi teror. Tetap saja mayoritas pasien adalah penduduk sipil—pembuat roti, tukang listrik, kuli bangunan; perempuan dan anak-anak.

Di bangunan RS delapan lantai itu, ada dua lantai yang khusus berfungsi untuk perawatan praoperasi, sedangkan dua lantai lainnya sepenuhnya dipakai buat pemulihan pasien. Ada juga sasana fisioterapi dan bangsal isolasi. Hanya fungsi dari lantai teratas gedung yang tidak jelas. "Di sini kami tidak akan menanyakan keluhan pasien. Mungkin tidak sesuai standar medis, tapi hal ini agar pasien dapat bersikap normal saat dirawat, mengingat situasi tidak normal di negara mereka," ujar manajer psikososial Elisa Birri, sambil duduk di ruangannya yang terang dan dengan pemandangan kota yang luas.

Birri, perempuan Italia yang mengenakan celana Adidas, bertanggung jawab atas perawantan mental para pasien. Tugasnya adalah menangkal gejala depresi dipicu pengalaman buruk di masa lalu, sekaligus menyiapkan mental mereka agar tak lagi trauma di masa depan. Semua gejala ini pasti akan dialami pasien korban perang. "Gejala paling umum adalah kilas-balik, mimpi buruk, kecemasan, dan depresi," ujarnya.

Iklan

Saat saya datang, departemen yang dipimpin Birri mengobati 160 pasien sembari menjalankan sebuah sekolah untuk anak-anak—ini sekolah pertama yang dibuka oleh MSF di Amman. Merawat pasien sekaligus mendidik anak-anak mereka sangat makan waktu dan tenaga, tetapi menurut Birri sangat diperlukan. Anak-anak korban perang akan mengalami trauma dan kesulitan tanpa kegiatan rutin sehari-hari.

Birri telah bekerja bersama MSF di seluruh wilayah Timur Tengah, termasuk Suriah dan Libya. Dia  menyatakan reaksi para pasien terhadap peperangan dan trauma serupa di mana-mana.

"Setelah enam bulan dirawat, seandainya performa mereka tidak menurun, itu [disebut secara medis] masuk kategori patologi. Untuk kasus warga Suriah dan Irak, kami tidak hanya membicarakan satu jenis trauma. Bisa ada satu bom di suatu hari dan bom lain seminggu kemudian." Artinya, penanganan untuk korban dari Suriah dan Irak harus berbeda dibanding pasien lain. Konseling kejiwaan sangat dibutuhkan para korban.

Di luar kantor Birri, terlihat seorang psikolog dan fisioterapis membantu remaja laki-laki berjalan menggunakan tongkat penyangga. Remaja itu mengambil satu langkah ke depan, disusul langkah selanjutnya. Matanya terpaku pada lantai. Kedua anggota staf perawat menyemangati. Sambil menyaksikan aktivitas itu Birri berkata semua staf RS sebetulnya hanya bermodal semangat. "Jelas, tidak ada sihir dari yang kami lakukan. Tapi sebagai manusia, kami sangat kuat."

Iklan

Setiap sesi terapi, para staf mencoba menciptakan "ruang aman" untuk mengajarkan strategi mengatasi trauma bagi para pasien. Misalnya mengingatkan pasien bahwa keluarga mengandalkan mereka agar segera pulih. Terkadang agama juga disinggung. Masalahnya, apakah menasehati penyintas konflik agar percaya pada Tuhan adalah langkah yang tepat? Dalam jangka panjang, menurut para staf RS, iman kepada Tuhan boleh jadi lebih manjur ketimbang obat-obatan untuk mengatasi permasalahan mental. Alasannya, para pasien tidak dapat memperoleh obat-obatan di daerah rumahnya.

Meski begitu, Birri merasa berat setiap menyadari bahwa pasien-pasiennya akan kembali ke tempat penuh kekerasan. Kita tidak tahu apa yang akan terjadi kepada mereka. "Menyadari bahwa mereka tidak bisa selamanya dirawat di sini terasa sangat sulit bagi para staf rumah sakit."

Akram, mengenakan tracksuit dan rambut merah, tinggal di rumah sakit MSF di Amman selama enam bulan terakhir. Alisnya mengerut ketika berbicara; tubuhnya masih kaku kecuali tangan kanannya, yang menggeliat dari pergelangan. Baginya, ruangan-ruangan di rumah sakit terasa seperti ruang hampa—kehamapaan yang diwarnai tembok berwarna krem dan daun pintu oranye, serta sepenuhnya keheningan. Saking heningnya, yang bisa dia dengar adalah suara kruknya sendiri menggores lantai steril, setiap dia berjalan di koridor.

Pemandangan ini bukan apa-apa dibandingkan selatan Suriah, tempat asal Akram. Di sana, yang dia ingat hanyalah suara riuh jalanan atau ledakan bom pada malam hari. Rumah Akram hancur karena bom, menyebabkan tubuhnya rusak secara permanen. Lelaki 34 tahun ini sempat koma selama enam jam. Ketika bangun, dia tidak lagi bisa berjalan. Dia sempat dinyatakan lumpuh total setelah menjalani tujuh kali operasi di Suriah. Seorang kawan membantunya menyebrang ke perbatasan Yordania. Dia lalu terdaftar menjadi pasien RS yang didirikan MSF. Setelah operasi pinggul dan proses fisioterapi panjang, sekarang setidaknya dia terpincang-pincang. Tak lagi divonis lumpuh. Akram juga berpartisipasi pada kelompok terapi yang berfokus pada pengelolaan rasa sakit; dia sigap memberikan saran-saran pada sesama korban perang.

Iklan

"Kami belajar cara mengklasifikasi rasa sakit, cara mengatasinya: menyibukkan diri, jangan mengisolasi diri, dan harus mau ngobrol dengan orang lain," ujarnya. "Semua kegiatan tadi dapat mengurangi pikiran-pikiran buruk."

Kampung halaman Akram, Kota Daraa, sekarang dikenal sebagai "tombak revolusi"—lokasi asal para pemberontak Suriah. Di kota itulah 15 remaja dan anak di bawah umur ditangkap dan disiksa oleh militer pemerintah pada 2011. Mereka disiksa hanya karena membuat graffiti anti-Rezim Presiden Basyar al-Assad di tembok sekolah. Insiden yang menimpa 15 anak itu memicu kemarahan warga, serta salah satu faktor yang menyulut Perang Saudara di Suriah. Terlepas dari kekejaman perang yang dia saksikan selama lima tahun terakhir, Akram bersiap kembali ke Daraa. Setelah luka-lukanya sembuh, yang lebih sakit baginya adalah penderitaan emosional. Tepatnya kerinduan. Hal-hal itu adalah jenis rasa sakit yang sulit tertangguhkan. Istri, saudara-saudara, dan orang tuanya masih di terjebak di kota itu.

"Semua pengalaman ini sangat berat bagi saya," ujar Akram. "Tapi saya sangat ingin kembali."

Satu bulan setelah pertemuan kami, Akram akan menyeberangi perbatasan Yordania-Suriah.

"Saya tidak punya pilihan."

Follow penulis artikel ini di akun Twitter @sallyhayd.