FYI.

This story is over 5 years old.

Budaya

Mantan Anggota Kultus Ideologi Meyakini Semua Orang Bisa Dicuci Otak

Alexandra Stein semasa muda menjadi anggota kelompok Marxist garis keras. Kini dia menjadi akademisi khusus meneliti rekrutmen kultus maupun sekte agama sempalan.

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.

Ketika saya tiba di rumah Dr. Alexandra Stein kawasan London Utara, dia sedang sibuk menelpon seseorang. "Tugas utama anda adalah terus berhubungan dengannya," kata Stein dengan nada tegas kepada lawan bicaranya. Sosok di sambungan tersebut ternyata tengah berusaha menolong seseorang yang mulai terjerumus dalam sebuah gerakan kultus. Sering sekali Stein mendapat telepon seperti ini dari anggota keluarganya yang cemas. Bukan sesuatu yang aneh sebenarnya, karena Stein adalah seorang peneliti spesialis kultus dan sekte keagamaan sempalan.

Iklan

Selama satu dekade lamanya, Dr Stein pernah menjadi anggota gerakan politik sayap kiri yang disebut sebagai The O. Setelah berhasil meloloskan diri, dia menulis buku tentang pengalamannya serta menghasilkan disertasi berdasarkan topik perkultusan. Berkat dua karya tulis itu, Stein segera menjadi salah satu akademisi terdepan dalam topik kultus serta sekte keagamaan. Dia baru saja merilis buku keduanya, Terror, Love and Brainwashing: Attachment in Cults and Totalitarian Systems. Pada hari yang dingin saat kami bertemu, topik perbincangan kami adalah pengalaman masa muda Stein, definisi kultus, dan apakah ada perbedaan antara pemimpin-pemimpin dunia dengan petinggi sebuah gerakan kultus.

"Orang tidak pernah menganggap partai politik sebagai kultus," kata Stein sambil menyeruput teh hangat. "Padahal bisa saja mereka masuk kategori kultus. Ada banyak sekali kultus politik di berbagai penjuru dunia." Ini topik yang dikuasai Stein. Dia dibesarkan di London oleh pasangan asal Afrika Selatan. Keluarganya membuat Stein sangat sadar politik sejak dini.

Ketika berumur 18, Stein pindah ke Amerika Serikat mencari petualangan baru, serta menjajal aktivisme akar rumput. Dia kemudian merasakan AS berubah jadi suram memasuki masa pemerintahan Presiden Ronald Reagan. Banyak rekan seperjuangannya keluar dari aktivisme dan melanjutkan hidup mereka. Tak lama setelah putus dengan pacarnya, Stein bertemu dengan anggota The O, sebuah kultus berbasis Marxis-Leninis dari Kota Minneapolis.

Iklan

The O mengiming-imingi Stein terlibat gerakan revolusi sayap kiri. Setelah bergabung, hidup Stein langsung berubah. Kultus tersebut mengisolasi Stein dari teman-teman dan keluarganya, memaksanya menikah, sampai mempunyai anak sebagai bagian dari misi kelompok. Mereka memaksa Stein bekerja di toko roti selama 8 jam sehari di luar pekerjaan utamanya sebagai analis komputer. Stein tinggal di "sebuah rumah kecil yang gelap, aneh dan dirahasiakan lokasinya". Dia bahkan bekerja keras membanting tulang demi kelompok tersebut.

Sibuk dengan dua pekerjaannya, Stein merasa letih setiap saat dan kehilangan kontak dengan semua teman dan kerabat. Biarpun tidak mengerti apa hubungannya antara membuat roti dan komputer dengan revolusi sosial, dia tidak mempunyai kekuatan mental untuk mempertanyakan gaya hidupnya saat itu.

Dr. Alexandra Stein. Foto dari arsip pribadi.

Pada 1991 setelah usaha kabur yang gagal, akhirnya dia berusaha melepaskan diri dari kultus tersebut dan berusaha mengerti apa yang terjadi kepada dirinya. Pengalaman itu menuntunnya ke sebuah misi seumur hidup untuk berusaha memahami fenomena yang menimpa dirinya—yang hingga sekarang masih menimpa banyak orang di dunia. "Mulai dari kultus politik, hingga kelas yoga misterius, hingga ISIS dan masih banyak lagi. Semua itu benang merahnya adalah kultus," ungkap Stein.

Cara kultus memperoleh anggota adalah tema yang berusaha disampaikan Stein lewat buku barunya—tidak peduli apapun ideologi atau ajaran sebuah kultus, teknik yang digunakan selalu sama. Pemimpin organisasi rahasia semacam itu beroperasi dengan cara yang sama dengan pemimpin berwatak totalitarian atau pelaku kekerasan domestik. Apabila anda mengerti cara kerja mereka, anda bisa melindungi diri sendiri dari manipulasi sekte-sekte tersebut. Menurut Stein, psikologi sosial yang digunakan oleh kelompok-kelompok tersebut harusnya diajakan di sekolah dan universitas seluruh dunia.

Iklan

"Anggota sebuah kultus tidak akan sanggup berpikir atau merasakan apapun."

"Ada lima karakteristik sebuah kultus," kata Stein. "Satu: pemimpinnya karismatik dan otoritarian. Dua: Struktur kelompok ini selalu mengisolasi anggotanya. Tiga: ideologi total, kayak 'kamu cuma butuh gue dan tak ada sistem kepercayaan lain yang relevan.' Empat: terjadi proses pencucian otak anggota. Lima: hasilnya "menciptakan pengikut yang akan mengikuti perintah tanpa peduli kesejahteraan mereka sendiri."

"Makanya ada pelaku bom bunuh diri," ujarnya. "Banyak orang tidak mengerti hal ini, tapi anggota sebuah kultus itu tidak sanggup berpikir atau merasa apapun."

Rasanya seperti terjebak dalam sebuah kelompok pertemanan yang kejam. Kultus memberikan ilusi solidaritas, namun Stein menjelaskan bahwa anggota kultus biasanya adalah individu-individu yang sangat kesepian dan telah kehilangan semangat hidup untuk membuat keputusan bagi diri mereka sendiri. "Anda tidak bisa curhat ke siapapun dalam sebuah kultus," katanya." Kalau anda buka mulut, akan ada hukuman, jadi anda tidak bisa kemana-mana. Anda takut, tapi anda tidak punya siapa-siapa, jadi anda bergantung ke figur yang sebetulnya justru menciptakan rasa takut tersebut."

Tonton dokumenter VICE : Aktivitas Sekte Islam 'Feminis' di Turki

Inilah cara kerja kultus: memanfaatkan rasa takut dan ketergantungan. Ini semacam Sindrom Stockholm, hanya lebih keji dan membingungkan karena anda merasa anda sendiri yang membuat keputusan untuk bergabung dengan kelompok.

Yang berbahaya, menurut Stein adalah bagaimana semua orang sebetulnya rentan termakan taktik kultus-kultus ini. Kelompok-kelompok ini tahu cara menggunakan kepribadian anda untuk melawan anda sendiri, jelasnya. "Sering sekali orang-orang mengatakan, 'Wah gak mungkin sih kejadian sama gue.' Banyak sekali orang yang setelah mendengarkan cerita saya berkomentar, "Duh gue berduka cita ini kejadian sama elo. Ini gak mungkin sih kejadian sama gue soalnya gue independen banget.' Hampir semua orang mengatakan hal ini."

"Saya sudah belajar untuk tidak marah ketika mendengar komentar seperti ini," tambahnya. "Sangat alami ketika manusia ingin menjauhkan dirinya dari sesuatu yang menakutkan dan mengerikan. Tapi kita tinggal lihat saja kasus Hitler di Jerman untuk sadar bahwa kejadian seperti ini bisa menimpa siapa saja. Orang yang sedang teralienasi tidak akan sanggup melihat apa yang sedang terjadi di depan mata mereka."

Secara mengejutkan, Stein—yang menghadiri protes Donald Trump di AS—mengatakan bahwa presiden AS Donald Trump mempunyai kualitas serupa dengan seorang pemimpin kultus. "Dia karismatik dan otoritarian. Sepertinya dia juga tengah membangun struktur hirarki autoritarian dengan cara melibatkan keluarganya dalam pemerintahan. Dia juga menunjukkan proses isolasi, pencucian otak dan penggunaaan rasa takut. Dan yang terakhir, pengikutnya yang setia."

"Kita bisa lihat sendiri bagaimana Trump beroperasi layaknya seorang pemimpin kultus," katanya, sebelum menambahkan sembari terisak, "Sayang sekali kenyataannya begini."