FYI.

This story is over 5 years old.

Film

Habis Ditonton Lagi, 'Fight Club' Ternyata Jelek Banget

Film ini kayaknya masih populer karena aktivis kiri amatiran yang baru nonton bisa ngerasa kritis dan keren.

Artikel ini pertama kali tayang 21 Agustus 2014. Kami unggah lagi sekarang karena masih relevan dan kami sepakat: iya sih, 'Fight Club' sebenarnya bukan film bagus.

Ketika saya menonton Fight Club untuk pertama kalinya, saya membatin, "Wah, ini nih film berisi kritik terhadap budaya konsumerisme paling pedes." Waktu itu saya masih berumur 16, jadi memang belum banyak terekspos terhadap isu tersebut. Kini saya sudah tidak lagi 16 tahun dan Fight Club sudah berumur 17 tahun sejak pertama kali dirilis. Film ini sempat sampai dibikin seminarnya di Comic-Con, yang dihadiri oleh sutradara David Fincher dan penulis novel aslinya, Chuck Palahniuk.

Iklan

Fight Club mulai kembali sering dibicarakan, dan wajar saja—karena banyak topik yang disentuh film tersebut dan prediksi yang dibuat film tersebut tentang kehancuran peradaban dunia Barat mulai menjadi kenyataan. Di AS, sering terjadi konflik antara penduduk dan polisi. Kesenjangan pendapatan antar penduduk semakin melebar sementara korporat-korporat besar semakin menjamur. Melihat keadaan dunia yang seperti ini, tidak heran bahwa kita kembali memuja karya fiksi nihilistik Fincher dan Palahniuk. Hanya saja, orang kerap lupa bahwa Fight Club itu sendiri sama buruknya dengan hal-hal yang dikritik film tersebut.

Sudah lama sekali saya tidak menonton ulang Fight Club. Namun kebangkitan popularitas film tersebut akhir-akhir ini membuat saya penasaran lagi. Apakah film favorit saya semasa remaja ini akan tetap menimbulkan kesan yang bagus? atau justru mengungkap bahwa saya dulu cuman remaja sok tahu?

Setelah menonton ulang, saya mengambil kesimpulan bahwa dulu saya hanyalah remaja polos yang tidak tahu apa-apa. Saya sama seperti anak remaja seumuran lainnya yang harus berjuang melawan jerawat,mencari makna seksualitas dan kerap percaya bahwa anarki adalah solusi yang masuk akal terhadap masalah-masalah masyarakat di dunia nyata.

Dan sesuai dengan semangat Tyler Durden, saya mengunduh film tersebut secara ilegal. Fuck konsumerisme. "Lawan, lawan si mesin raksasa," berikut kutipan dari Durden. Sambil ngebir dan ngerokok (lagi-lagi sesuai dengan semangat Durden), saya bersiap untuk melayangkan kritik pedas terhadap film yang dibintangi Edward Norton ini.

Iklan

Kredit film ini dimulai dengan sinapsis otak bergaya cyberpunk 90an yang trippy ditemani oleh dentuman musik digital yang ambigu. Ketinggalan zaman? Jelas, sama seperti ide utopia bahwa umat manusia bisa diselamatkan dari diri mereka sendiri. Setelah kredit, film dimulai dengan adegan pistol di dalam mulut karakter utama film. Ekstrem? Jelas. Edgy? Sudah pasti.

Narator film yang imsoniak merupakan sosok manusia 'normal' dalam peradaban modern. Dia kesepian, namun hobi mengkonsumsi Starbucks dan memborong furnitur IKEA. Mencari makna kehidupan, dia mendatangi support group penderita kanker testis. Pria-pria yang ditemuinya disana tergolong 'sensitif'—mereka sering menangis, memeluk satu sama lain dan mengasihani dirinya sendiri. Bob, salah satu anggota perkumpulan yang kelewat gemuk memiliki payudara. Dia kerap mengeluhkan payudara sebesar itu membuat dia merasa tidak 'maskulin.'

Begitu narator mulai menyesuaikan diri dengan lingkungan ini, dia mulai merasakan hangatnya eskapisme. Namun kemudian hadir sosok perempuan yang merusak segalanya. "Dia. Merusak. Segalanya." Ini perempuan gila mana sih? Dia merokok di tengah grup support kanker! Dia nekat menyeberang jalan tanpa menengok! Kerjaannya mencolong barang orang lain! Membuat tokoh utama kita tidak bisa tidur! Dia merupakan definisi sempurna dari sosok femme fatale. Ingat bahwa dia adalah satu-satunya sosok perempuan tangguh dalam film ini. Tsk.

Iklan

Carla dijadikan subyek seks Tyler Durder agar sang narator yang 'alim' tidak dirusak moralnya. Durden memberi tahu sang narator bahwa apabila dia menceritakan hubungan mereka ke sang perempuan, hubungan bromance mereka akan berakhir—kapan lagi narator bisa menyaksikan Durden mandi telanjang?

"Kita adalah generasi lelaki yang dibesarkan oleh perempuan," kata Durden, sambil berbaring di samping bak mandi tempat sang narator yang sedang stres jiwanya. Kalau mereka memang dibesarkan oleh perempuan, kenapa mereka memperlakukan perempuan dengan buruk? Lucu kan? "Ayah-ayah kita merupakan model dari Tuhan," ceramah Durden. "Kalau Ayah kita saja meninggalkan kita anaknya, lalu seperti apa Tuhan?" Oh jadi Tuhan itu cuman bisa diwujudkan dalam bentuk lelaki aja toh. Perempuan gak bisa jadi penyelamat katanya.

"Gue kasian sama cowok yang rajin ke gym, berusaha terlihat seperti model Calvin Klein atau Tommy Hilfiger," teriak sang narator. "Sejak kapan cowok sejati seperti itu penampilannya?" ludah Durden di depan papan iklan Gucci. "Pengembangan diri itu sama seperti masturbasi," jelasnya. "Nah kalau penghancuran diri, itu baru…" kemudian film tersebut langsung menampilkan adegan dua pria berotot telanjang dada, sama persis seperti jiplakan iklan Gucci yang baru saja mereka kritik, saling menghantam satu sama lain.

Level brutalitas yang ditampilkan film ini juga hampir masuk ke ranah pornografi. Tidak ada tuh yang mengatakan bahwa pria sejati tidak boleh berkelahi atau menekan insting purba mereka. Faktanya, justru hal sebaliknya yang terjadi. MMA adalah salah satu olahraga terpopuler di era modern. Itu bukti bahwa kekerasan itu diterima oleh masyarakat. Jadi sebetulnya cowok-cowok di Fight Club itu memberontak melawan apa sih?

Salah satu adegan juga mengingatkan kita film Howl karya Allen Ginsberg. Narator mengaku sudah menyaksikan bagaimana individu-individu intelektual di generasinya harus melakukan pekerjaan-pekerjaan yang mereka benci agar bisa membeli barang-barang yang mereka tidak butuhkan. "Perang yang sesungguhnya adalah perang spiritual," jelasnya. "Depresi yang sesungguhnya bukanlah ekonomi, tapi kehidupan kita." Mereka semua percaya bahwa kejayaan akan tiba, namun nyatanya tidak kunjung datang. Dan sekarang mereka semua "ngamuk" gara-gara itu. Ini sama seperti bocah umur 6 tahun yang berteriak-teriak di lantai supermarket akibat tidak dibelikan sereal oleh orang tua.

Palahniuk menulis Fight Club sebagai satir, sebagai semacam penelitian terhadap horor yang kerap muncul dalam identitas pria-pria dewasa yang secara mental masih kekanak-kanakan. Di akhir buku dan film, narator ditunjukkan berdiri di hadapan kehancuran yang dia timbulkan sendiri, penuh dengan penyesalan. Ini sebetulnya ending yang ok, sayangnya kebanyakan penonton justru menarik kesimpulan yang berbeda. Kebanyakan orang justru terinspirasi secara mentah-mentah oleh adegan kekerasan dan wacana misoginis yang ditampilkan sepanjang film.

Mungkin banyak orang di luar sana yang menginginkan kehancuran dunia. Mereka tidak peduli bahwa mereka bukanlah satu-satunya yang tidak puas dengan dunia. Nihilisme itu sesungguhnya serumpun dengan narsisisme. Namun jangan salah, karakter utama, si narator akhirnya sadar bahwa dia tidak menginginkan hal ini. Dia tidak ingin mengikuti mentalitas Durden yang anarkis. Sayangnya kebanyakan penonton justru menganggap perilaku ini irasional dan "cemen". Apabila penonton tidak mengerti film satir, apakah film tersebut masih bisa disebut satir? Atau mungkin Fight Club hanyalah film kritik masyarakat yang dangkal dan penuh dengan pesan buruk?

Follow Megan Koester di Twitter.