Sekelompok Remaja Berkeliling Dari Rumah ke Rumah, Menghentikan Pernikahan Anak
Semua foto oleh Josh Estey.

FYI.

This story is over 5 years old.

Pernikahan Anak

Sekelompok Remaja Berkeliling Dari Rumah ke Rumah, Menghentikan Pernikahan Anak

Enam dari 10 anak di Bangladesh dipaksa menikah muda. Sekelompok anak muda berusaha mengubah tradisi itu dengan cara militan.

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.

Moriom memiliki sudut pandang penuh kasih menyoal keputusan sang ibu menikahkannya dengan seorang tetangga yang jauh lebih tua darinya, beberapa tahun silam. Saat itu dia masih anak-anak. Moriom mengaku tidak marah, meski tatapan hampa di matanya mengindikasikan kepasrahan. Sambil menggendong anaknya yang kini sudah masuk fase balita di pinggang, perempuan berusia 16 ini mengingat-ingat ketika pertama kali dia mengetahui soal rencana pernikahannya. "Saya sedih sekali ketika ibu saya bilang saya akan menikah dengan seseorang berusia dua kali lipat lebih tua. Tapi ketika dia bilang dia sudah tidak mampu ngasih makan saya, saya tidak mau menjadi beban." Dia diberitahu bahwa keluarga yang menikahinya stabil secara finansial dan rencana pernikahan ini baik bagi masa depannya. Sewaktu kecil, Moriom bercita-cita menjadi seorang guru, tapi dia hanya sekolah hingga kelas empat SD; sebagaimana sebagian besar pengantin anak, pernikahan menjadi akhir bagi pendidikan formal dan permulaan perannya sebagai ibu. Kisah Moriom, meski muram, adalah hal yang umum di Bangladesh: Satu dari setiap 10 anak perempuan di negara berkembang rata-rata dinikahkan sebelum menginjak usia 18 tahun. Berdasarkan data Unicef, di Bangladesh perbandingannya lebih ekstrem lagi, yakni enam dari sepuluh anak hampir pasti dinikahkan sebelum dewasa. Meski tingkat pernikahan usia anak Bangladesh menurun selama 15 tahun terakhir, angkanya masih mengejutkan. Kemiskinan adalah faktor utama pernikahan usia anak, namun persoalan sistemik ini tak sekadar soal orangtua yang tidak mampu mengurus anak. Pernikahan usia anak sering terjadi pada budaya-budaya yang menjunjung tinggi keperawanan sebagai penentu status keluarga dalam masyarakat. Gayatri Patel, seorang pegiat gender dan pemberdayaan di CARE, organisasi yang berkomitmen memberdayakan perempuan secara global, menyatakan tekanan ekonomi yang paling banyak memicu pernikahan anak. "Karena praktik yang umum adalah orangtua pengantin perempuan membayar maskawin kepada orangtua pengantin laki-laki, anak perempuan seringkali dipandang sebagai beban ekonomi dalam keluarga duafa," ujarnya kepada Broadly. "Semakin muda usia pengantin perempuan, semakin murah maskawin yang mesti dibayarkan keluarganya, keluarga duafa memiliki alasan lebih untuk menikahkan anak perempuannya di usia belia."

Iklan

Walau pernikahan usia anak seringkali dipandang sebagai solusi ekonomi sementara bagi sebagian keluarga, dampak praktik tersebut memiliki konsekuensi jangka panjang berskala besar yang melanggengkan lingkaran kemiskinan. Jika seorang perempuan tidak menikah di usia anak dan alih-alih terus bersekolah, dia memiliki kemungkinan menjadi lebih sehat dan berjaya—dan untuk memberikan kontribusi finansial bagi keluarga.

Laxmi, remaja dari desa dekat Sylhet, yang menafkahi keluarganya lewat menjahit. Foto oleh Josh Estey.

Patel bilang faktor ekonomi bukanlah satu-satunya pendorong pernikahan usia anak, terutama di Bangladesh. "Sejak usia dini, anak-anak perempuan dianggap dan diperlakukan lebih rendah daripada laki-laki," ujarnya. "Ketika kondisi keuangan keluarga sedang tersendat, anak-anak perempuan diberi jatah makan lebih sedikit, atau dana untuk sekolah atau perawatan kesehatan mereka dialihkan untuk keperluan lainnya. Anak perempuan dianggap sampingan. Mereka menjadi rentan terhadap penyakit serta memiliki kesempatan terbatas." Norma sosial dominan umumnya menempatkan peran perempuan sebagai istri atau ibu, yang berdampak besar secara personal maupun dalam masyarakat: Karena perempuan tidak dianggap sebagai aset ekonomi berharga, tidak seperti laki-laki yang berkesempatan sekolah lebih lama dan mengembangkan keterampilan, bekal mencari pekerjaan dan bertahan hidup. Tingginya tingkat pernikahan usia anak berarti meningkatnya risiko kematian ibu saat persalinan dan risiko kesehatan lainnya terkait pernikahan usia dini. "Masa depan para perempuan telah didiktekan [oleh keluarganya]: menikah di usia dini, menghasilkan banyak keturunan sejak muda," ujar Patel. "Suara atau pendapat mereka amat jarang dianggap, mereka kesulitan mengubah keadaan ini." Praktik pernikahan usia anak telah dilarang sejak tahun 1929, ketika Bangladesh masih menjadi bagian dari India.
"Saya tidak tahu berapa umur saya ketika menikah," ujar Moriom malu-malu. "Saat saya tanya ibu saya, dia bilang, 'Umurmu 18 kok.'" Persoalan hukum ini seakan-akan menjadi lelucon di dalam keluarga. Meski peraturan tersebut tidak digalakkan, pelanggaran dapat dihukum satu bulan penjara dan denda 1000 taka, setara dengan Rp166.000. Perkembangan baru-baru ini membuat para ahli hak asasi manusia khawatir soal pernikahan usia anak dalam negeri: Bulan lalu, Bangladesh mengesahkan UU yang dijuluki para aktivis sebagai pasal karet, karena mengizinkan pernikahan tanpa persyaratan usia minimum untuk "kondisi khusus", yang definisinya di beleid itu memastikan mereka tidak mengalami diskriminasi atau dikucilkan masyarakat, tanpa menjabarkan yang dimaksud dengan "kondisi khusus" tersebut. Sebagian besar masyarakat mengkritik pasal karet tersebut, menyebutnya kemunduran bagi negeri yang secara terbuka berkomitmen mengakhiri pernikahan usia dini pada tahun 2041. Meski kisah hidup perempuan-perempuan seperti Moriom memberikan gambaran putus asa bagi perempuan di Bangladesh, gelombang perubahan besar akan segera datang. Di sebuah desa di luar Sylhet, tidak jauh dari daerah Moriom tumbuh, laki-laki berusia 17 tahun bernama Dipko berkeliling dari rumah ke rumah. Misinya selama tiga tahun belakangan adalah menghentikan anak-anak perempuan di desanya dinikahkan. Tanpa henti, Dipko membuka percakapan dan diskusi dengan setiap orang yang dia temui. Sejauh ini, dia mengaku telah meyakinkan 13 keluarga untuk mencari solusi ekonomi alternatif dan mengizinkan anak perempuannya terus bersekolah.

Aktivisme Dipko mulai ketika seorang pekerja sosial menemukannya bermain di lapangan dengan beberapa kawan. Pekerja sosial ini bilang, ada sebuah klub remaja mingguan di daerah sekitar. Klub tersebut adalah satu dari 6.000 program di Bangladesh yang didanai Unicef, yang berfokus meningkatkan literasi dan pendidikan kesehatan; program ini juga mendidik anak-anak soal risiko pernikahan dan persalinan usia anak, dengan tujuan memberdayakan anak-anak ini supaya menjadi advokat sesamanya. Dipko mulai menghadiri pertemuan tersebut dan langsung bersemangat membantu perempuan-perempuan di daerah tempat tinggalnya. "Kami belajar soal hak-hak kami. Kami kemudian tahu bahwa permasalahannya bukan sekadar perempuan jadi putus sekolah, tapi juga kesehatan mereka akan terganggu jika melahirkan sebelum tubuh mereka siap," ujar Dipko. "Saat saya tahu betapa buruknya keadaan ini, saya merasa perlu melakukan sesuatu."

Klub para remaja di Sylhet.

Ada kalanya Dipko menghadapi perlawanan. "Banyak orangtua bilang saya tidak berhak mencampuri keputusan mereka menikahkan anak. Mereka bilang anak perempuan itu milik mereka dan harus menurut setiap pilihan yang mereka buat. Terkadang saya menanggapinya dengan mengancam melapor ke polisi. Proses diskusi tidak selalu berlangsung mulus." Meski dia belum pernah diserang secara fisik, Dipko mengaku beberapa kali diancam. Tapi dia tidak gentar—dia malah bersemangat membawa bala bantuan. "Kini teman-temanku juga ikut. Kami berkeliling dalam kelompok. Saya rasa cara ini lebih berhasil." Perempuan muda di Bangladesh kini belajar mengemukakan pendapat dan menentukan masa depan mereka sendiri. Laxmi, berusia 17 tahun dan tinggal di desa yang sama, berkata dia mungkin telah dinikahkan jika bukan karena keikutsertaannya di klub itu. Laxmi memiliki disabilitas fisik yang disebut di dunia barat sebagai "orang kuntet," yang membuatnya kesakitan saat berjalan. Setelah naik kelas empat SD, dia memutuskan tinggal di rumah bersama ibunya, membantu sang ibu melakukan tugas rumah tangga sementara saudara-saudaranya pergi sekolah. "Saya bisa-bisa saja ke sekolah, tapi saya tidak sanggup jalan sejauh itu, dan orangtua saya tidak mampu memberi uang transportasi," ujarnya. Di saat dia tidak pergi sekolah, klub remaja ini menyediakan sarana belajar dan mempersiapkan Laxmi menghadapi pernikahan. Tak lama kemudian setelah dia berulang tahun ke-15, Laxmi mendengar ayahnya berkata kepada ibunya sembari memasak makan malam, bahwa Laxmi telah siap dinikahkan. "Saya bergabung ke dapur dan bilang ke ayah saya, tidak, saya belum siap, dan tubuh saya belum berkembang. Saya juga bilang bahwa pernikahan usia anak melanggar hukum dan ayah saya bisa masuk penjara." Laxmi bilang mulanya sang ayah tidak menganggapnya serius, dan kaget melihatnya bisa mengungkapkan pendapat. "Dia bilang keluarga kami tidak akan terlalu miskin jika saya dinikahkan saja, dan itu adalah hal yang semestinya saya lakukan demi keluarga kami—terutama karena kondisi fisik saya." Dia menyampaikan rencana yang lebih baik: Dia ingin memberikan kontribusi finansial bagi keluarga ini dengan mempelajari cara menjahit dengan ibunya dan suatu hari membuka usahanya sendiri. Dia bahkan menunjukkan kalkulasi finansial kepada ayahnya, membuktikan bahwa dia bisa mendapatkan uang lebih banyak daripada yang dihasilkan orangtuanya dari maskawin. "Ibu dan saya kini membuat sari bersama-sama, dan uang yang saya hasilkan membantu saudara-saudara saya sekolah," ujarnya. Suatu hari nanti Laxmi ingin mempunyai toko adibusananya sendiri. Laxmi bersikeras pilihannya menolak menikah muda sebagai solusi terbaik. "Bukannya saya anti pernikahan. Saya hanya ingin bisa memilih dengan siapa dan kapan saya menikah."

Liputan ini memperoleh dukungan pendanaan dari CARE dan Bill and Melinda Gates Foundation.