FYI.

This story is over 5 years old.

Berita

‘Mengakali Pemilu’: Para Pendukung Trump Terus Melakukan Kecurangan di TPS

Donald Trump berkali-berkali memperingatkan pendukungnya atas dugaan "kecurangan" pemilu 2016 yang menguntungkan Hillary Clinton. Nyatanya, para pemilih yang tertangkap basah melakukan kecurangan kebanyakan pendukung Trump.

Artikel ini pertama kali muncul di VICE News.

Donald Trump berkali-berkali memperingatkan dugaan "kecurangan" pemilu 2016 yang akan menguntungkan Hillary Clinton. Nyatanya, sejauh ini pemilih yang tertangkap basah melakukan kecurangan justru para pendukung Partai Republik.

Pada Jumat pekan lalu, seorang hakim sengketa pemilu di Madison County, Negara Bagian Illinois, didakwa melanggar dua pasal kecurangan pemilu karena diduga berpura-pura mewakili suaminya yang telah meninggal. Audrey Cook, 88 tahun, saat diwawancarai St. Louis Post-Dispatch mengakui telah mengirim dua surat suara melalui pos tidak lama setelah sang suami meninggal dua bulan sebelumnya. Sang hakim mengklaim mendiang suaminya sebelum meninggal sudah berniat memilih Trump.

Iklan

"Saya sangat terganggu karena dituduh berbuat curang. Saya mewakili mendiang suami karena saya tahu dia sangat ingin melihat Trump memperbaiki negara ini dengan mata kepalanya sendiri," ungkapnya.

Cook akhirnya dipaksa pengadilan membayar jaminan sebesar $20,000 (setara dengan Rp261 juta). Dia terancam hukuman lima tahun penjara untuk setiap dakwaan bila hakim nanti memvonisnya bersalah. Sebuah surat kabar lokal Illinois, Belleville News-Democrat, menulis bahwa Cook hampir pasti segera dicopot dari posisinya sebagai hakim sengketa pemilu.

Akhir Oktober 2016, wanita 55 tahun dari Kota Des Moines, Iowa, ditangkap setelah dicurigai mencoblos dua kali di bilik suara terpisah. Berdasarkan laporan polisi, Terri Lynn Rote, nama perempuan itu, memberikan suaranya untuk Trump di kantor Komisi Pemilihan Umum (KPU) dekat rumahnya. Kemudian dia kembali memilih Trump di sebuah Tempat Pemungutan Suara (TPS) tambahan Des Moines. Saat diwawancarai Iowa Public Radio, Terri berkilah tindakannya mencoblos dua kali dilandasi kekhawatiran kertas suaranya akan diubah menjadi dukungan bagi Hillary Clinton.

"Saya tidak berencana memilih dua kali; itu keputusan spontan saja," katanya. "Pemilu ini sudah dicurangi."

Pernyataan Terri sejalan dengan komentar-komentar yang berulang kali dibuat oleh Trump dan para pendukungnya beberapa minggu belakangan. Kubu Trump sangat aktif mempertanyakan integritas panitia pemilu tahun ini. Saat kampanye maupun melalui akun Twitter resminya, Trump mengklaim bahwa pemilu ini akan "dicurangi" dan merugikan dirinya.

Iklan

"Jelas ada kecurangan pemungutan suara dalam skala besar yang terjadi pada dan sebelum hari-H pemilu," tulis Trump dalam tweet yang diunggah 17 Oktober lalu. "Kenapa para pemimpin Partai Republik tidak mau mengakui adanya kecurangan ini? Mereka terlalu naif!"

Merujuk artikel Washington Post, beberapa penyelidikan yang dilaksanakan beberapa tahun terakhir menunjukkan bahwa kecurangan dipengaruhi tindakan pemilih sebetulnya sangat jarang terjadi. Berdasarkan sebuah analisis komprehensif berdasarkan lebih dari 1 miliar sampel suara dari pemilu Amerika Serikat sepanjang kurun 2000 hingga 2014, hanya ditemukan sekitar 31 suara yang sangat mungkin telah diakali. Alih-alih menerima fakta ini, jajak pendapat Politico/Morning Consult pada Oktober lalu menunjukkan 73 persen pendukung Partai Republik sejak awal meyakini Trump akan 'dirampok' dalam pemilu presiden kali ini.

Laporan lain menyatakan dua orang penduduk Iowa segera didakwa lantaran memberikan suara dua kali. Namun mereka belum ditangkap oleh polisi, serta belum jelas kandidat mana yang mereka untungkan dengan aksi curang tersebut. Seorang wanita asal Florida bersama seorang pria asal Negara Bagian Virginia juga telah didakwa akibat mengisi formulir pendaftaran pemilu palsu. Sedangkan seorang wanita asal Florida lainnya diduga mencurangi surat pemilihan yang telah dibiarkan kosong guna mencoba memenangkan salah satu kandidat walikota di Miami-Dade County.

Trump mengingatkan para pendukungnya agar terus mengawasi TPS, terutama pada hari H pemilu yang jatuh pada 8 November. Belakangan strategi Trump berbalik merugikannya. Di Texas, seorang pendukung Trump ditangkap pada Oktober lalu atas tuduhan berkampanye tidak sesuai aturan. Dia berkeliaran memasang spanduk dan membawa plajat di tempat umum ketika pemilu tahap awal sedang berlangsung. Para pendukung Partai Demokrat di Arizona dan Pennsylvania mendaftarkan gugatan hukum terhadap pengurus cabang Partai Republik atas dugaan mengintimidasi para pemilih. Sebuah gugatan serupa tercatat di Pengadilan Ohio, mengakibatkan munculnya surat perintah penahanan sementara terhadap salah satu anggota tim kampanye Trump dan seorang anggota Partai Republik, setelah terjadi pelecehan pemilih di TPS, dikutip dari kantor berita Associated Press.

Sementara itu, Partai Demokrat sebenarnya sama-sama khawatir bahwa partai rivalnya berusaha mengubah hasil pemilu, caranya dengan membatasi kesempatan kaum minoritas dan kaum miskin mengikuti pemungutan suara. Pakar pemilu, Ari Berman, menulis dalam The Nation bahwa 14 negara bagian AS—kebanyakan yang dikuasai pendukung Partai Republik—menerapkan peraturan sistem pendaftaran pemilih baru untuk pemilu kali ini. Kebijakan yang merugikan sebagian etnis dan kelas sosial untuk mendatangi TPS ini berlaku pertama kalinya sejak 1965, setelah UU Hak Pemilu dianulir pada 2013 oleh Mahkamah Agung AS.

"Ada lebih banyak warga yang dilarang memberi suara di beberapa lokasi TPU akibat peraturan-peraturan seperti: kewajiban membawa KTP, ditiadakannya pemilihan tahap awal, dan upaya-upaya lain mencabut hak pilih warga—yang khususnya akan merugikan warga non-kulit putih, pemilih pemula, dan pemilih berpenghasilan rendah—dibanding kasus kecurangan suara," urai Berman.

Simak liputan langsung VICE News sepanjang pelaksanaan pilpres AS.