FYI.

This story is over 5 years old.

Sepakbola

Sosmed Kini Jadi Ajang Pertempuran Psikologis Bursa Transfer Sepakbola

Diego Costa menampilkan strategi semacam itu setelah mengunggah fotonya memakai seragam Atletico Madrid di akun Instagram. Seberapa efektif taktik begini mempengaruhi keputusan klub melepas pemain?

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports.

Kalau sudah perkara transfer, Diego Costa selalu blak-blakan. Setelah hampir satu musim berkoar-koar tentang keinginannya untuk keluar dari Chelsea, di awal musim transfer tahun ini, Costa tanpa tedeng aling-aling mengklaim Chelsea tak lagi menginginkan jasanya. Sebuah pernyataan yang bikin daya tawar Chelsea runtuh dan memungkinkan Costa melenggang dengan santai keluar dari Chelsea. Sepintas kata-kata Costa cuma kelakuan bengal seorang pemain sepakbola yang kerap bikin gara-gara dan keriuhan—dalam hal ini Costa cuma kalah dari Luis Suarez, pesepakbola yang doyan menggigit lawan dan mengeluarkan penyataan rasis. Di sisi lain, tindakan Costa ditafsirkan pengamat sepakbola sebagai kejeniusan sang pemain memanfaatkan media sosial dan pers guna melancarkan kepindahan ke klub yang jadi incarannya. Hebatnya, selain memanipulasi media mainsteam, Costa juga dengan sangat cerdas memanfaatkan kekuatan sosial media untuk mencapai keinginan tersebut.

Iklan

Costa sejak jauh-jauh hari secara terbuka mengaku ingin kembali ke pangkuan Atletico Madrid. Pilihan Costa bukannya tanpa dasar. Semasa membela bendara Atletico di musim kompetisi La Liga 2013/2014, Costa menyumbang 64 gol dalam 153 penampilan. Dia membantu klub tersebut memenangkan La Liga. Minggu ini, Costa menyiarkan video via fitur Instagram Live yang berisi dirinya tengah menari di jalanan kampung halamannya sambil mengenakan t-shirt Atletico.

Sampai berita ini diturunkan belum jelas apakah tindakan Costa diprakarsai oleh agennya atau justru dirinya memutuskan dengan penuh kesadaran mengenakan seragam Atletico. Costa sangat halus merayu Los Rojiblancos agar segera turun tangan mengurus kepindahannya. Jika semua ini diandaikan seperti pemakaian Tinder, bisa kita bayangkan Costa adalah pengguna tinder yang menswap Atletico Madrid, match Costa yang paling menarik di Tinder. Lalu bagaimana dengan Instagram Live? Khusus untuk yang itu mari kita bayangkan sebagai medium yang bisa digunakan untuk merayu Chealsea agar mau ikut kencan bersamaa Costa dan Los Rojiblancos.

Terlepas dari analogi penggunaan tinder di atas—maaf ya bray kalau agak maksa—Diego Costa sepertinya tengah menggunakan media sosial sebagai alat perang urat syaraf terhadap manajemen Chelsea. Musim transfer sejak dulu selalu menjadi medan perang urat syaraf antara pemain vs klub. Lalu Costa baru saja melakukan serangan yang mematikan dari akun instagramnya. Dengan asumsi bahwa siaran live Costa di Instragram bakal menguatkan posisi tawar peminat jasanya, video ini sekaligus membantu Atletico mendapatkan harga yang bersahabat untuk memboyong pemain asal Brazil itu dari Stamford Bridge. Tingkah Costa di Instagram juga mengandung makna penting lainnya: menegaskan keinginan Costa kepada petinggi The Blues. Dengan memanfaatkan Instagram, secara tidak langsung Costa mengancam Chelsea bahwa dirinya bakal terus jadi duri dalam daging, kecuali klub asal London bergegas mengurus kepindahannya ke Atletico Madrid.

Iklan

Costa bukanlah satu-satunya pemain yang menggunakan media sosial untuk melancarkan kepindahan di musim panas. Bek Monaco, Benjamin Mendy, dikabarkan hampir bergabung dengan Manchester City, setelah mengunggah foto dirinya mengenakan celana pendek Union Jack. Di postingan itu, dia menulis caption "see you soon" di Instagram yang lantas dianggap indikasi kalau dia sudah ngebet pengen pindah klub. Tiemoue Bakayoko, pemain Monaco lainnya kabarnya ditawar Manchester United lebih tinggi dibanding klub yang dia inginkan, Chelsea, dia merespon dengan cara mengunggah post Instagram bertema Blues. Pernyataan ini juga ditekankan oleh kakaknya lewat Snapchat. Entah ini keputusan Bakayoko atau sang agen, ini merupakan contoh lain bagaimana kini pemain bisa menggunakan media sosial untuk mempengaruhi jalannya transfer. Bakayoko akhirnya dikontrak Chelsea di akhir pekan yang sama, walau tidak jelas seberapa signifikan pengaruh postingan kakaknya terhadap transaksi tersebut.

Fenomena ini juga bisa diamati lewat bagaimana aktivitas Instagram dan Twitter atlet sepakbola dianalisa dengan semakin ketat oleh media mainstream. Setiap 'like' dan 'follow' dianggap sebagai petunjuk akan kemungkinan transfer. Biarpun semua analisa ini sesungguhnya sia-sia, faktanya media sosial memang digunakan sebagai alat komunikasi dan manipulasi media. Ketika aktivitas Instagram pemain berubah menjadi headline dan artikel di banyak media, tidak sulit untuk membayangkan bagaimana seorang pemain dan agennya menggunakan tekanan psikologis terhadap sang calon pembeli. Entah dengan cara membangun antisipasi atau rasa frustrasi penggemar klub calon pembeli atau mengorbankan keuntungan psikologis klub penjual, sekarang lebih mudah untuk atlet sepakbola untuk meninggalkan petunjuk dan pernyataan di media sosial daripada harus susah-susah 'nampang' berada di sekitar klub yang ingin dituju.

Tapi apa iya media sosial benar-benar mempengaruhi cara klub sepakbola menegosiasikan transfer pemain? Tentunya ketika klub-klub membicarakan transaksi bernilai puluhan juta poundsterling, kelakuan pemain di Twitter dan Instagram gak ada pengaruhnya dong? Argumen ini sekilas terdengar gila. Cuma, saya mau bilang, memang ada lho bukti yang mendukung manajemen klub semakin menganggap serius media sosial dan nilainya dalam kegiatan humas. Saat klub sepakbola mulai mengukur nilai brand mereka berdasarkan jumlah follower, like dan komentar, smartphone merupakan alat yang kuat di tangan pemain sepak bola yang tidak puas pada nasibnya saat ini. Di dunia sepakbola modern yang semakin rumit ini, sangat mungkin negosiasi bernilai jutaan Euro terpengaruh oleh video Instagram iseng Diego Costa.

Follow penulis artikel ini di akun Twitter @W_F_Magee