Membayangkan Skenario Hasil Pertarungan Mike Tyson Vs Muhammad Ali

FYI.

This story is over 5 years old.

Tinju

Membayangkan Skenario Hasil Pertarungan Mike Tyson Vs Muhammad Ali

Masa-masa keemasan dua legenda tinju kelas berat ini terpaut satu dekade. Kedua petinju ini juga memiliki gaya bertarung yang sangat berlawanan. Kami membuat hipotesis seandainya dua nama besar ini sempat adu jotos di atas ring.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports

Kalau kalian meminta seorang awam tentang tinju menyebut dua petinju yang dia tahu, kemungkinan besar jawabannya adalah Muhammad Ali dan Mike Tyson. Masa-masa keemasan kedua legenda tinju kelas berat ini terpaut satu dekade. Lebih dari itu, kedua petinju kerap digambarkan memiliki gaya bertarung yang sangat berlawanan. Di puncak popularitasnya, Ali adalah salah satu orang yang paling termashyur di Bumi. kamu bisa membawa fotonya dan pergi ke kolong jagat paling terkecil sekalipun dan orang yang kau temui di sana masih akan mengenali Ali. Namanya bahkan lebih dikenal dari presiden Amerika Serikat yang berkuasa pada masanya. Mundurnya Ali dari ring tinju tepat ketika fisiknya sedang prima-primanya untuk menghindari wajib militer dan dukungan pada Nation of Islam menjadikannya salah satu figur paling penting di generasinya. Pengaruh Ali terasa sampai ke luar kancah tinju, hal yang jarang ditemui pada atlit manapun bahkan sampai sekarang. Banyak yang mengenang kembalinya Ali ke ring dan kejeniusannya mengalahkan George Foreman yang waktu itu hampir mustahil dijungkalkan. Namun, ada juga yang mengingat Ali sebagai jagoan tua yang tahu kapan harus pensiun dan kekalahan telaknya dari Larry Holmes.

Iklan

Bila Ali dikenang sebagai pahlawan, Tyson dikenang sebagai berandalan, atau bakat yang terbuang percuma di atas ring. Tyson adalah salah satu petinju terbaik sepanjang masa yang karirnya ambruk selepas ditinggal sosok ayah dalam hidupnya. Di bawah bimbingan Cus D'amato dan Kevin Rooney, Tyson tercatat dalam keabadian setelah menjadi Juara Dunia Kelas Berat pada usia 20 tahun, termuda dalam sejarah, setelah menaklukan semua petinju yang menghadangnya. Setelah itu, karirnya berbelok 180 derajat. Lantaran dituduh memperkosa, Tyson harus mendekam dalam penjara mulai Juni 1991 hingga Agustus 1995. Saat si Leher Beton kembali ke ring, Tyson bukan dirinya yang dulu. Dia cuma pecundang lamban. Tak ayal ketika akhirnya berhadapan dengan Lenox Lewis dan Evander Holyfield, Tyson cuma jadi sansak berjalan. Tentu saja, secuil kisah hidup di atas tak cukup menggambarkan dua ikon ini dengan sempurna. Kita, misalnya, belum menyinggung betapa culasnya Tyson menggunakan posisinya dalam komunitas kulit hitam untuk mengejek-ejek Joe Frazier. Di sisi lain, kita bisa saja mengulik sisi positif dari sosok sebajingan Mike Tyson sekalipun. Tapi, buat apa, menyederhanakan seorang dalam sebuah tulisan hanya akan membuatnya sosok satu dimensi yang klise. Yang jauh lebih menarik, dan mungkin mendesak, dilakukan adalah mengamati pendekatan keduanya dalam bertinju untuk kemudian membayangkan apa jadinya jika dua legenda ini baku hantam di ring tinju.

Iklan

Hidup Mati Keduanya Ditentukan Oleh Jab

Tinju klasik banyak bertumpu pada Jab. Dengan modal perawakan setinggi 178cm, Tyson dijamin kerepotan jika dipaksa bertukar jab-jab lurus. Menyadari kekurangan ini, Cus D'amato, yang dikenal melatih anak didiknya menjadi petarung yang "agresif dan licin", menempa Tyson menjadi seorang petinju yang piawai melancarkan dan meladeni Jab. teorinya, Jab yang sudah ditunggu-tunggu bakal lebih mudah dicounter. Tyson, dengan gerakan agresif yang dipadu gerakan kepala yang konstan disiplin, bisa memancing jab-jab panik dari lawan mereka dan enteng saja meladeninya. Karena royal menggelontorkan kombinasi hook dan uppercut alih-alih pukulan lurus tradisional, Tyson lebih dikenal sebagai seorang petinju infighter. Sejatinya, pukulan-pukulan mematikan Tyson digeber sembari masuk dalam jangkauan lawan. Tyson bukan jenis petinju yang merangsek ke dada lawan dan menghujaninya pukulan-pukulan pendek. Yang kerap terjadi seperti ini: lawan melancarkan Jab, yang meleset melalui pundaknya dan Tyson segara membalas, entah itu dengan hook kiri atau atau hook kanan yang lebih tinggi dari arah datangnya Jab. kuncinya: timing dan gerakan Tyson menambah kekuatan pukulan balasan yang dilemparkan Tyson.

Semakin lawan Tyson khawatir musuhnya akan terus mendekat, semakin banyak jab yang dilayangkan. Masalahnya, semakin banyak jab yang dilepaskan demi menjaga agar Tyson tak mendekat, makin banyak celah yang terbuka bagi Tyson untuk melancarkan serangan mautnya. Namun, Tyson tak bisa dibilang mengakali salah satu prinsip dasar tinju klasik. Tyson tetap saja legenda tinju kelas berat bertubuh pendek, dan jab adalah momok tersendiri baginya. Cuma, Tyson sangat terlatih dan disiplin menghindari Jab dan mencari celan dari jab-jab lawannya. Dalam pertandingan-pertandingan terburuknya, ketika Tyson terlanjur kepayahan dan tak bisa menggerakkan kepalanya dengan konstan, Tyson cuma bisa menonton jab-jab dilayangkan ke badannya dan tak bisa masuk jangkauan musuh.

Iklan

Pendek kata, Tyson hidup dan mati dari jab lawannnya serta kemampuannya memanipulasi jab lawan dengan terus mendesak dan melakukan intimidasi.

Transformasi Cassius Clay jadi Muhammad Ali

Jika Tyson ditakdirkan berperawakan pendek, Cassius Clay muda dikaruniai fisik yang menjual. Tingginya 191cm dan jangkauanya 198cm (17cm lebih panjang dari jangkauan Tyson). Tak bisa dipungkiri, jab adalah senjata utama Casssius Clay. Clay yang kemudian mengganti namanya menjadi Muhammad Ali bukanlah Sony Liston atau George Foreman. Clay tak menghujani kepala lawannya dengan senarai pukulan pendek. Ali, sebaliknya, lebih kejam dari itu. Ali mengembangkan lengannya, jari-jarinya lemas dalam sarung tinju. Tapi, sekali ada celah yang terbuka, Ali akan mengincar mata musuhnya dan punya kegemaran menghancurkan karir petinju muda. Salah satu korbannya adalah Henry Cooper. Wajah petinju muda ini babak belur setelah Ali membantainya di atas ring.

Pukulan paling bertenaga Ali adalah pukulan balasan tangan kanan yang diluncurkan saat lawan menarik jabnya. Dia menyebutnya Anchor Punch ketika terjadi kontroversi dalam pertarungan keduanya melawan Sony Liston (karena Liston terus menerus menggunakannya). Namun, lucunya, justru pukulan macam itulah yang bikin karir Ali moncer. Ali mengandaskan Zara Foley dengan pukulan serupa. Bahkan dengan berbekal Anchor Punch yang disiplin, pada 1966 Jeremy Ellis, mantan rekan latihan Ali, berhasil merebut titel juara dunia WBA yang kosong karena Ali menolak masuk wajib militer.

Iklan

Tiga tahun berselang, Ali kembali masuk ring sebagai seorang petarung yang benar-bener berbeda. Ali terkesan lamban. Dia tak lagi mengandalkan kecepatan untuk mengimbangi tipe petinju yang lincah dan rajin menghujani pukulan. Di hadapan petinju-petinju terbaik saat itu yang juga dilatih oleh pelatih-pelatih terbaik, kelamahan Ali dan perubahan cara bertinjunya begitu terang benderang. Ali kini lebih sering merangkul dan menyimpan tenaga. Kadang Ali nampak melakukan pergerakan pergerakan berarti sebelum akhirnya kembali berusaha meredam pergerakan lawannya dengan rangkulan (clinch). Penggemar tinju mungkin bisa menemukan momen untuk mengatakan "Tyson adalah petinju dengan kemampuan yang lengkap." Hal yang sama tak bisa dikatakan pada Ali. Ketika masih memiliki kecepatan dan footwork tingkat dewa, Ali belum punya kemampuan untuk mengurung musuhnya dan berjibaku habis-habisan dengan mereka. Beberapa kelemahan yang terlihat ketika Ali kembali bertinju memaksanya menjadi petinju "ilmiah" yang lebih komplit. Ali sebenarnya bisa saja kembali memamerkan kecepatan dan footwork seperti bikin namanya naik daun di awal karir dan gaya ini mungkin membuatnya memenangi beberapa pertandingan. Namun, rasa-rasanya dia tak mungkin mengalahkan George Foreman dan meraih kemenangan-kemenangan besar lainnya kalau cuma mengandalkan footwork dan kecepatan belaka.

Merunduk dan Mengangkat Kepala Jadi Kunci

Iklan

Salah satu kebiasaan buruk Ali adalah kerap melayangkan jotosan menukik, dari atas ke bawah. Kegemilangan Ali di awal karirnya membuat kebiasan juruk ini susah dihilangkan. Coba lihat kembali rekaman pertarungan antara Ali dan Archie Moore (yang pernah melatih Ali sampai cekcok gara-gara giliran bersih-bersih di tempat latihan). Moore yang sudah lewat masa jayanya mengandalkan pertahan silang dan memanfaatkan kebiasaan petinju kelas berat dan kelas berat ringan yang kelalahan setelah melayangkan beberapa pukulan mematikan. Lawan-lawan yang dihadapi Moore biasanya akan kelelahan dan cuma berdiri saja setelah menghajar Moore. Inilah saat yang ditunggu Moore untuk membalas dan menundukkan lawannya. Jangan lupa, Moore juga punya pukulan mematikan. Buktinya, ia masih memegang rekor KO paling tinggi sepanjang sejarah tinju. Malah, Moore sendiri pernah mengajarkan Cassius Clay muda akan pentingnya pukulan berbobot ketika kaki-kaki kelak lincah lagi, ajaran yang rupanya dilupakan Ali begitu saja.

Ali menjotos Moore dan Joe Frazier dalam tiga pertandingan mereka dari atas, mengandalkan jangkauan dan kecepatannya. Memukul seperti ini jelas punya resiko karena Ali harus berdiri dalam jangkauan lawan dengan kedua lengan berada di bawah pinggang. Dalam pertemuannya dengan Frazier, kebiasaan buruk ini menghasilkan momen-momen seperti ini. Cus D'amato yang kala itu sudah berumur menunjukan prinsip yang sama saat membahas kemungkinan pertemuan Joe Frazier dengan Ali muda. Ali yang menurunkan kedua lengannya untuk melancarkan uppercut harus membayar mahal seperti yang diprediksi D'amato:

Iklan

Alasan kenapa Ali bisa selamat dengan strategi berisiko seperti adalah karena Ali punya jangkauan yang panjang. Di sisi lain, pada kasus Frazier dan Moore, Ali bisa menang karena kedua petinju ini merunduk untuk menghindari serangan Ali. merunduk adalah cara efektif. Kendalanya, untuk bisa mengcounter pukulan Ali, keduanya harus mengangkat kepala dan mereka tak bisa maju sembari merunduk. Jika kamu melihat pertarungan Ali vs Frazier, kalian akan melihat Frazier terus merangsek, kecuali ketika dia menunduk menghindari jotosan Ali.

Ketika Ali akhirnya bersandar di tali ring atau melamban, itulah saat Frazier menghajar Ali. Frazier melayangkan hook kiri sebagai balasan hujan tinju dari Ali saat dirinya merunduk. Frazier kalah banyak saat merunduk, salah satunya karena daya jangkaunya pendek. Kendati demikian, Frazier masih bisa memasukan satu dua pukulan berarti ketika kebiasan buruk Ali kumat: menjotos dari atas. Salah satu hal yang menarik jika Ali dan Tyson dipertemukan dalam satu ring adalah gerakan vertikal Tyson sangat berbeda dari Frazier.

Tyson, seperti Frazier, merunduk jika diperlukan. Tapi, alih-alih merunduk ke depan, Tyson merendahkan tubuh bagian atasnya ke kanan atau ke kiri. Dari posisi ini, Tyson bisa melancarkan pukulan lurus dan hook yang mematikan. Kebiasaan ini bukan respon natural seorang petinju. Konon, Tyson melatihnya di gym dengan bergerak naik turun sambil memegang lempengan barbel.

Iklan

Mayoritas gerakan Tyson dilakukan dengan merunduk dan ini semua dipamerkan dengan sedikit songong oleh Tyson di rekaman berikut:

Bila Joe Frazier bakal merunduk setiap kali dengan kedua tangan di depan mukanya dan membuatnya rentan dihajar petinju yang jago melancarkan uppercut, Tyson tetap menatap ke atas, mempertahankan punggungnya tetap lurus dan punya kontrol terhadap badannya meski sambil merunduk sangat rendah sekalipun.

Intinya sih, Tyson lebih jago menghindari pukulan daripada Frazier. Namun, yang lebih penting adalah dia justru lebih cepat merangsek ke arah musuhnya saat menghindari pukulan. Pergerakan Frazier, sebaliknya, justru berhenti total ketika menunduk ke arah pinggang untuk menghindari pukulan. Harus diakui, Ali pernah mengandaskan Floyd Patterson, yang gaya bertinjunya mirip dengan Tyson. Tapi jangan lupa, Petterson yang dilawan Ali sudah tak prima lagi. Malah, dalam pertemuan kedua mereka, Patterson harus bertandingan sambil sakit kejang urang punggung. Tak ayal, jika ada yang mempertanyakan keampuhan gaya bertinju D'amato.

Pertarungan Jarak Dekat Bakal Terjadi

Kendati Tyson bukanlah infighter murni seperti Frazier, Tyson tahu bahwa kadang arah pukulan lebih penting dari tenaga yang dikerahkan. Ketika Ali berhasil membuat George Foreman kelelahan setelah membiarkan dirinya dipukuli sambil bersandar di sisi ring, Ali berpikir bak telah menemukan strategi baru bertinju yang manjur. Ketika strategi yang sama dipakai saat bertarung dengan Frazier, Ali kecele. Dia mati-matian bertahan dari gempuran pukulan Frazier. Bila Foreman kesetanan bergerak ke kanan kiri lengan Ali dan akhirnya kehilangan kesabaran, Frazier memajukan kepalanya ke arah dada Ali, ke titik yang tak bisa dipukul Ali dan mulai melancarkan pukulan pendek-pendek ke bagian yang dilindungi sikut Ali. Jika sikut Ali terbuka, Frazier bakal mengelilinginya. Bila Frazier dapat kesempatan untuk mendapatkan angle dan melancarkan hook kiri ke tengah pertengahan pertahanan Ali seperti sedang meluncurkan jab. Lalu, jika Ali meninju, Frazier akan membalas dengan hook. Inilah perbedaan antara memukul lawan yang bersandar di sisi ring dan praktik infighting yang keren. Infighting yang baik memaksa lawan melakukan perubahan dan meladeni perubahan itu. Infighting yang efektif akan menguras tenaga musuh. Sementara, mengamuk asal-asalan terhadap lawan yang menunggu di sisi ring hanya akan menghabiskan tenaga saja tanpa hasil yang memuaskan. Pukulan jarak pendek terbaik Tyson adalah rangkaian pukulan cukilan tangan kanan (hook kanan ke arah rusuk yang disusul pukulan tangan yang sama tepat di tengah sebuah uppercut). Rangkaian pukulan berbahaya ini berhasil menjatuhkan banyak lawan Tyson. Pun, jika gagal, pukulan-pukulan itu bakal membuat musuhnya menegakkan tubuh. Alhasil, ruang tembak pukulan Tyson jadi lebih luas.

Iklan

Saat bertahan di tali ring, Tyson cenderung miring ke kiri dan menampilkan kuda-kuda southpaw. Sepanjang era emas Tyson, posisi ini kerap merepotkan lawan karena sudut tangan Tyson berubah dan Tyson bisa sewaktu-waktu melancarkan hook atau uppercut ke tengan pertahanan mereka. Tyson, di mana pun dia berada, di tengah ring atau bersandar di tali, bakal menggunakan kuda-kuda ini jika memungkinkan.

Faktor X dalam pertandingan fantasi antara Ali dan Tyson adalah clinch. Ali gemar mengatupkan satu telapak tangan di belakang kepala lawan agar bisa menarik lawan condong ke depan dan menaruh satu tangan lainnya di bicep lawan untuk meredam pukulan mereka. Jika Ali bisa menempatkan sikutnya dekat dengan leher lawan, Ali bisa dengan efektif meredam atau menghentikan pukulan mereka. Namun, Ali menjaga agar rangkulan cukup longgar sehingga wasit bisa memperkenankan dia terus bergerak. Ini adalah trik terbaik Ali dan Ali sadar sekali akan ini.

Dalam buku The Fight, Norman Mailer menulis pengalamannya menyaksikan Ali berlatih menjelang pertarungannya melawan Foreman di Zaire pada 1974. Di depan mata Norman, Ali berlatih dengan petinju muda berbakat seperti Larry Holmes. Ali mendesak lawan tandingnya sampai ke tali ring dan menghajar mereka di sana. Mailer doyan sekali menggunakan metafora hingga Ali digambarkan memilih pukulan bak seorang penjagal memilih daging potong, apa yang ditulis Mailer juga menggambarkan strategi Ali guna mengandaskan Foreman. Ali menghancurkan Joe Frazier di pertemuan kedua mereka karena Frazier mati kudu dalam rangkulan Ali. Di pertemuan ketiga mereka, wasit diwanti-wanti untuk melarang clinch. Imbasnya, pertarung berlangsung seru, penuh darah. Kenapa ini penting? Karena Larry Holmes yang sudah toku bertemu Tyson, dia cuma bertahan empat ronde. Namun, tiap kali Holmes merangkul Tyson seperti Ali merangkul musuhnya, si Leher Besi seperti kehilangan keganasan. Strategi ini bikin Tyson keki hingga dia melayangkan protes pada Kevin Rooney, pelatihannya saat itu, lantaran Holmes terlampau sering merangkul.

Yang menarik dari pertandingan khayalan macam ini adalah kamu tak bisa disalahkan atas pilihanmu. Yang ada, kamu malah kerap bersikeras kalau pilihan orang lainhlah yang keliru. Standarnya, dalam pertandingan khayalan seperti ini, idelanya "Ali di Puncak Kejayaannya bertemu Tyson di Puncak Kejayaannya." Artinya, Tyson harus berjibaku dengan Ali muda yang punya pukulan kilat, kaki yang lincah dan suka menari sembari sesekali melemparkan jab. Kalau boleh jujur, saya lebih penasaran membayangkan apa jadinya jika Tyson bertemu Ali dalam pertandingan kedua dan ketiganya melawan Frazier. Maksudnya, Ali yang menghujani lawannya dengan jab di satu ronde dan bertahan di ronde berikutnya. Inilah Ali yang bisa memaksa Tyson bertarung sampai ronde-ronde akhir ketika si Leher Beton ini biasanya kesusahan mengatur nafas dan mulai tak teratur menggerakkan kepala. Tentu saja, latihan yang dilalui keduanya dan strategi yang mereka pilih bakal mempengaruhi hasil akhir pertandingan ini. Namun yang bikin pertandingan khayalan ini penting bagi penggemar tinju adalah karena apapun perkiraanmu, ada saja orang yang akan membantahnya.

Tentu saja, pertanyaan yang paling menarik sebenarnya adalah apa yang mereka lakukan jika berhadapan dengan Joe Louis…

Jack Slack adalah pengamat tinju. Baca bukunya Finding the Art, atau ikuti ulasan-ulasannya soal tinju di blog Fights Gone By.