Jalan Bareng Komunitas Gang Gangan yang Sempat Dicap Eksploitasi Kemiskinan
Kami istirahat sebentar saat lewat permukiman tepi Kali Code, Jogja. Semua foto oleh Antariksa Bumiswara. 
Hobi Ramah Lingkungan

Jalan Bareng Komunitas Gang Gangan yang Sempat Dicap Eksploitasi Kemiskinan

'Berkedok' jalan-jalan, komunitas Gang Gangan mengajak peserta mengarsip sejarah gang perkotaan. Sempat dituding jadikan kemiskinan sebagai tontonan.

Bonang Setoaji menjadi lebih sibuk sore itu. Dia harus sering beranjak dari duduknya, menyambut satu per satu orang yang datang berkunjung ke rumah. Ia turut menata motor-motor tamu agar bisa parkir dengan rapi di gang depan rumahnya. Perlu siasat agar ruang yang tidak terlalu besar itu muat bagi setidaknya empat motor tambahan, yang sore itu datang secara berkala.

Tamu Bonang yaitu Shinta Dewi (30), Anisa Sari Asih (30), Risna Anggaresa (30), Muhammad Primastri (26), dan Muhammad Alhaq (26). Mereka lima anak muda yang membentuk komunitas Gang Gangan.

Iklan

VICE mendapat undangan jalan-jalan internal bersama Gang Gangan di Kampung Gampingan, Jogja, awal April lalu. Ini hubungan pertama mereka dengan media sejak dituduh mengadakan wisata eksploitasi warga miskin.

Bahasan yang ramai di Twitter awal tahun ini berawal dari salah satu admin Gang Gangan di Jakarta yang membuat trip dengan beberapa peserta. Awalnya semua lancar dan peserta senang. Salah satu peserta yang merupakan selebtwit lantas mengunggah delapan foto acara jalan-jalan di gang tersebut.

“Diskursus terjadi di situ, wah itu wisata kemiskinan. Nih upper class lagi main ke kalangan miskin. Intinya adalah kami [dianggap] eksploitasi warga di sana,” kata Risna.

Padahal stigma warga yang tinggal di gang pasti miskin adalah keliru. Trip di Jakarta itu justru melintasi deretan kos eksklusif sampai rumah mewah. Tudingan melebar ke soal status ekonomi peserta acara Gang Gangan. Orang miskin diasumsikan tidak punya waktu jalan-jalan, karena itu peserta susur gang pastinya orang-orang kaya.

“Lah kami masih punya waktu,” kata Risna.

Perdebatan itu membuatku ingin menilai sendiri apakah betul wisata ini mengeksploitasi kemiskinan, atau sebatas acara anak muda yang ingin melihat sesuatu yang sering terlewat dari banyaknya gang di Indonesia.

Kebetulan acaranya di Jogja. Sebagai provinsi dengan ketimpangan ekonomi nomor satu di Indonesia (September 2022), kurasa inilah tempat terbaik untuk dijelajahi gang-gangnya. 

Iklan

Titik berangkat ialah dari rumah Bonang yang merupakan warlok di Gampingan. Setelah beberapa kali agenda jalan-jalan, Gang Gangan merasa perlu ada warga lokal yang bisa memandu penjelajahan. Warga lokal dianggap lebih tahu alternatif rute dan cerita-cerita tiap pengkolan.

Bonang juga memiliki produksi rumahan kombucha BONS Fabriek. Dengan mampir di rumahnya, Gang Gangan ingin usaha lokal mendapat dampak baik dari acara mereka. Peserta memang dianjurkan membawa uang tunai, untuk sekadar membeli dagangan warga atau lainnya.

Anggota Gang Gangan sore itu keluar dari rumah Bonang dan menyusuri gang-gang yang ada di Gampingan. Kampung Gampingan ada di Kelurahan Pakuncen, Kecamatan Wirobrajan, Kota Yogyakarta. 

Peserta acara Gang Gangan hari itu: Bonang (kaus putih), Shinta (jilbab abu), Anisa (jilbab hijau), Risna (kaos hitam), Primastri (gondrong), dan Alhaq (topi hijau).

Peserta acara Gang Gangan hari itu: Bonang (kaus putih), Shinta (jilbab abu), Anisa (jilbab hijau), Risna (kaos hitam), Primastri (gondrong), dan Alhaq (topi hijau).

Rombongan banyak berhenti. Entah untuk saling bercerita asal-usul dan kegunaan bangunan, tanda-tanda, tulisan, stiker, atau sekadar mendengarkan kisah tentang pohon yang dahulu ada dan kini sudah lenyap.

Kami dituturkan kisah pohon cemara besar yang sudah hilang; beberapa sumber mata air yang hilang, berubah fungsi, dan masih bertahan; rumah-rumah yang ditinggalkan pemiliknya; hewan peliharaan dari burung dara sampai musang; tipikal warga yang tinggal di bantaran Kali Code tak jauh dari kampung itu; penemuan mayat yang mengambang di kali; perseteruan simpatisan partai; sampai kenangan masa kecil.

Bonang ingat betul, beberapa tahun lalu, ada penjual daging anjing yang tinggal di dekat sungai. “Cara mbunuh anjing dengan dimasukin ke sungai, biasanya jam dua dini hari, kedengeran suara anjingnya merintih” katanya.

Iklan

Cerita-cerita minor seperti ini bisa berbeda setiap daerah. Mainan masa kecil misalnya, Risna memberi tahu bahwa besi penahan tiang listrik bisa dipakai mengeluarkan bunyi ‘laser’. Caranya, kuping didekatkan ke besi, kemudian tangan menyentil besi. Suara besi bisa terdengar beda-beda dan seakan menyerupai laser yang ada di film “Star Wars”.

Setiap kali menjumpai hal menarik, anggota Gang Gangan banyak memotret sana-sini. Foto-foto ini yang juga menjadi awal mula munculnya istilah Gang Gangan. Shinta dan Anisa yang mengawali. Shinta yang sebelumnya tinggal dan bekerja di salah satu hotel di Wonosobo, cukup sering mengantar tamu berjalan-jalan. Setelah menikah dan pindah ke Jogja, dia beralih pekerjaan yang baginya terasa monoton karena jamnya rutin dan cuma mengulang rutinitas.

Hasrat jalan-jalan Shinta memberontak. Saat di Wonosobo, khususnya di Dieng tempat Shinta bekerja sebelumnya, wisata mainstream sudah berkali-kali dia kunjungi. “Terus temen-temen ini nemenin belanja di pasar, jajan makanan masa sekolah dan lainnya, ternyata menikmati itu. Risna banyak motret, aku banyak bikin story di media sosial. Terus jalan-jalan [dengan pola yang sama seperti ini] di Jogja,” kata Shinta.

Di sela-sela pekerjaan masing-masing, mereka berjalan di tempat yang sekiranya menarik, dan kebanyakan di gang-gang perkampungan. Foto yang terkumpul semakin banyak. Story di media sosial semakin rutin terunggah. Namun semua foto dan video tercecer. Story juga hilang dalam 24 jam. Munculah akun Instagram @gang.gang.an sebagai wadah dokumentasi.

Iklan

Akun Instagram berkembang. Dari follower awal berupa teman-teman dekat, semakin melebar menjadi lebih umum. Setiap ada agenda jalan-jalan yang terunggah, banyak yang kemudian tertarik untuk bergabung. Sejak saat itu setiap jalan-jalan mengajak peserta lain di luar lingkar pertamanan Shinta dan kawan-kawan. Trip pertama dengan mengundang orang luar berhasil menggaet 14 peserta.

Jumlah itu banyak dengan peserta yang bermacam-macam. Bisa jadi ini positif bagi sebuah komunitas atau agenda jalan-jalan untuk berkembang. Artinya banyak yang tertarik. Namun kemudian disadari, terlalu banyak orang tidak ideal untuk jalan-jalan di gang. 

Kini peserta tiap perjalanan tidak sampai 10 orang. Idealnya maksimal 8 orang. Di samping agar rombongan tidak terpisah menjadi grup-grup kecil, jumlah yang sedikit lebih mudah ditangani panitia. Belum lagi ‘tugas’ admin komunitas untuk menyambungkan satu peserta dengan peserta lain, agar saling berbincang dan membaur.

Namun lebih jauh dari masalah teknis itu, peserta dibatasi demi menghormati kehidupan di gang. Ini disadari Risna yang rumahnya di dalam gang.

“Kalau ada orang belasan datang ke gang rumahku, bukan enggak suka, tapi kaya aneh. Aku tidak mau melakukan hal yang sama di kampung orang.”

“Jumlah di bawah 10 orang kami nilai cukup aman untuk berjalan, bukan aman buat kami, tapi buat warga.”

Sedikitnya slot dengan banyaknya peminat membuat sistem seleksi kemudian muncul. Admin komunitas akan mengunggah destinasi jalan-jalan di Instagram, kemudian memberikan pertanyaan untuk peserta jawab di kolom komentar. Pertanyaan bisa serius, sering juga ngasal. Dari jawaban calon peserta, admin akan menyeleksi yang sekiranya memang benar-benar tertarik dan punya kemampuan bercerita.

Iklan

Latar belakang yang beragam juga menjadi pertimbangan peserta diajak atau tidak. Setiap perjalanan berusaha mengajak orang baru, tidak peserta lama yang kemudian ikut kembali. Di Gang Gangan, tidak ada orang yang menguasai ruang bercerita, semua memiliki hak yang sama. Tidak ada tour guide yang mendominasi ruang berkisah, semua bisa memberikan perspektifnya, dengan latar belakangnya masing-masing. Hal ini yang kadang membuat perjalanan bisa lama dan panjang. Satu objek bisa dikupas dari banyak perspektif.

Contohnya saat mereka jalan-jalan di wisata pemandian putri Taman Sari di Jogja. Mereka melihat satu reruntuhan bangunan yang diprediksi sebagai dapur pada masa lalu. Peserta yang kebetulan punya latar belakang arsitek membayangkan alur para koki dan pelayan bekerja di bangunan itu. Ada juga peserta yang merupakan pembuat roti, dia membayangkan letak segala perabotan.

“Di Taman Sari berhenti lama banget, semua diobrolin di situ, salah satu trip paling seru, karena seberagam itu latar belakang pesertanya,” kata Shinta.

“Dengan sedikit orang juga, jadi merasakan kehadiran penuh. Obrolan bisa berlanjut seterusnya, bahkan setelah selesai acara. Kalau banyak orang, sekedar pulang kalau udah selesai,” kata Alhaq.

Jalan Bareng Komunitas Gang Gangan yang Sempat Dicap Eksploitasi Kemiskinan

Foto-foto hasil keluyuran bareng Komunitas Gang Gangan.

Jalan Bareng Komunitas Gang Gangan yang Sempat Dicap Eksploitasi Kemiskinan
IMG_20230407_163751.jpg
IMG_20230407_163714.jpg
IMG_20230407_162743.jpg

Dengan adanya warga lokal yang memimpin perjalanan, peserta Gang Gangan bisa melihat perubahan dan cerita suatu tempat.

Perubahan tidak harus sesuatu yang besar seperti pembangunan pabrik yang menggusur ruang warga. Perubahan bisa sebatas penutupan jalan yang membuat tempat jualan lotek pindah dan mobilitas warga berubah.

Iklan

Selama Bonang memimpin perjalanan di Gampingan, dia sering berkata pada warga sekitar, “Saya dari kampung situ, Mas/Mbak.” 

Informasi itu sangat berguna. Warga lebih terbuka setelah tahu Bonang warga setempat. “Itu full preman, serius. Ketika ada warga lokal jadi lebih aman,” kata Bonang saat kami melintasi perkampungan di tepi Kali Code.

Di sisi lain, peserta jalan-jalan juga diminta menjaga sopan santun dan etika berkunjung ke tempat orang lain. “Kami enggak akan melakukan sesuatu yang enggak kami suka,” kata Risna.

Label sarang preman sempat membuat Gang Gangan ragu saat akan menyusuri Kampung Badran di Jogja. Ada istilah bahwa Badran merupakan pusatnya preman di Jogja. Dedengkot preman tinggal di kampung itu.

Saat ada warga lokal Badran yang mengajak jalan-jalan di perkampungannya, Gang Gangan perlu survei sampai empat kali. Mereka ingin memastikan betul semuanya aman.

Belakangan, perjalanan di kampung itu malah membuat stigma tersebut luntur. Mereka melihat Badran yang sangat berbeda. Ada kampung ramah anak, kolam renang, pemakaman Cina, ornamen artefak, sampai krematorium. Justru banyak hal menarik yang bisa dikulik, namun selama ini belum berani mereka kunjungi.

“Meski aku juga masih melihat sisa-sisa masa lalu, kaya mbah-mbah pake kemben tapi tatoan,” kata Risna. “[Perjalanan itu] melunturkan stigma Badran, ngaruh banget buatku. Setelah berani ke Badran, enggak ada kampung yang aku enggak berani kunjungi. Siapa tahu di kampung lain juga sudah berubah [stigmanya].”

Iklan

Selain dalam ruang ingatan, kenangan perjalanan mereka simpan dalam gambar hasil kamera. Instagram jadi tempat pengarsipan. Upaya pengarsipan ini kemudian menular pada teman-teman anggota Gang Gangan maupun follower Gang Gangan. Sadar tidak bisa membawa banyak orang dalam sekali perjalanan, Gang Gangan menyarankan setiap orang membuat perjalanannya sendiri, di daerahnya masing-masing. Banyak undangan untuk jalan-jalan ke luar kota yang belum bisa mereka sanggupi satu per satu.

Kini bermunculan komunitas jalan-jalan di dalam dan luar Jogja. Baik yang terinspirasi oleh Gang Gangan ataupun bukan. Sebuah kabar baik mengingat masih banyak cerita-cerita yang tercecer. Ini juga bukan persaingan antarkomunitas untuk menjadi yang paling besar atau paling untung. Tidak ada pemungutan biaya setiap kali jalan-jalan di Gang Gangan. Ini sebatas ajang berinteraksi dan bersenang-senang.

“Enggak ada niat jelek, cuma ingin seneng-seneng, aku yakinnya asal konsisten terus, semakin banyak orang bisa enjoy jalan kaki,” kata Shinta.

Jalan kaki yang kadang tanpa arah sebenarnya sudah banyak dilakukan sejak dahulu. Zaman revolusi di Eropa misalnya, banyak filsuf menemukan ide dan gagasan dengan berjalan kaki ke berbagai tempat. Mereka bisa melihat banyak hal lebih dekat.

“Ada banyak hal yang belum tentu kita lihat dan sadari jika enggak berjalan kaki. Jalan kaki lebih lambat, banyak sisi kritis kita yang terbangun. Berjalan juga bisa memantik ingatan, mengingat momen-momen di era yang sekarang serba cepat,” kata Anisa.

Dalam perjalanan yang lambat di Gampingan, pertemuan tak terduga terjadi. Bonang kembali bertemu gurunya semasa sekolah dasar.

IMG_20230407_162116.jpg
IMG_20230407_165622.jpg

Umumnya, sekali perjalanan Gang Gangan bisa menghasilkan 8.000 langkah. Sore itu, meski belum mencapai 8.000 langkah, rute naik turun yang lumayan terjal membuat tubuh cukup tertantang. Perjalanan diakhiri dengan menyantap Bakso Pak Trisno yang berada di pojok Jogja National Museum. Setelah itu kami kembali ke rumah Bonang untuk kemudian pulang ke tempat masing-masing.

Kembali ke pertanyaan awal, apakah ini wisata yang menjadikan kemiskinan sebagai tontonan? Atau ia sekelompok orang yang berusaha mengumpulkan kisah-kisah di gang yang sempat terlupakan? Aku sih condong ke yang terakhir.