The Darkness Bersiap Kembali Jadi Rockstar

FYI.

This story is over 5 years old.

Gaya Hidup Rockstar

The Darkness Bersiap Kembali Jadi Rockstar

Walaupun sering dicap sebagai sebuah band “lucu-lucuan”, mereka dulunya merupakan band rock terbesar di Inggris. Sekarang mereka memulai perjalanan aneh agar kembali tenar.

Artikel ini pertama kali tayang di Noisey.

Jarum jam menunjuk angka 9 pagi di awal Oktober yang dingin. Sebuah kapal melintasi Sungai Thames membawa beberapa lusin penumpang melewati St John's Wharf menuju Waterloo, Greenwich, tenggara London. Di geladak depan, terpantul kilauan dari gedung pencakar langit Canary Wharf. Di geladak depan pula, berdiri para personel The Darkness. Kumpulan lelaki usia 30-an yang di awal Abad 21 dinobatkan sebagai band rock terbesar di Inggris. Di kapal, mereka memainkan "One Way Ticket." Saat lagu itu dimainkan, vokalis band Justin Hawkins, mengenakan catsuit kulit berwarna coklat. Dia sedang menirukan suara bass sambil sedikit menggeram. Jarinya menyusur beriringan dengan irama lagu, dua inci dari sebelah kanan kemaluannya.

Iklan

Ketika lagunya berakhir, Hawkins memandang ke sejumlah penumpang yang masih tersisa. Beberapa orang mengambil video dengan ponsel masing-masing. Mereka yang berniat merekam sama banyaknya dengan penumpang kapal lain yang duduk di geladak belakang kapal sambil melihat keluar jendela, berpura-pura seakan-akan The Darkness tidak sedang tampil di depan mereka. Tatapan Hawkins mengarah ke belakang, tertuju kepada seorang barista dibalik bar. "Apakah ada alkohol disini?," tanyanya. "Saya sudah sober selama 11 tahun, tapi…" Munculah tawa gugup dari sang vokalis dan beberapa penumpang. Sekarang, tanpa ekspresi, dia mengatakan tidak ada salahnya minum miras lagi. "Setidaknya sampai kenangan dari pengalaman yang menyiksa ini mulai menghilang."

Ada dua cara untuk menjelaskan mengapa The Darkness bisa berakhir di sebuah kapal komuter awal Jumat pagi yang biasa-biasa saja. Cara paling mudah untuk menjelaskannya adalah karena album kelima mereka, Pinewood Smile, baru saja rilis. Bagi manajemen The Darkness, tak ada cara lebih baik merayakannya selain menggelar konser dadakan di atas kapal. Barangkali, walaupun agak maksa, ide konser di transportasi publik terinspirasi dari single terbaru dari album tersebut, "Southern Trains", yang liriknya menceritakan rasa frustasi orang-orang yang berpergian rutin naik perusahaan kereta api Inggris.

Foto oleh Paul Bayfield

Cara lain untuk menjelaskan alasan The Darkness di atas kapal—yang kini diperkuat Dan Hawkins pada gitar, Frankie Poullain pada bass, dan Rufus Taylor di balik drum—adalah mereka sedang mencoba kembali ke radar publik memakai cara tak lazim. Sebuah pertunjukan dadakan di kapal sungai dapat dengan mudah menangkap perhatian, konyol, canggung, sekaligus seru. Citra yang cocok bagi sebuah band yang karirnya melonjak berkat semangat ndableg membentuk ulang sekaligus memunculkan semua klise rock klasik. Mereka menjadi rockstar tulen sejak keluarnya single ketiga, "I Believe in a Thing Called Love" pada 2003. Album perdana mereka, Permission to Land mencapai nomor 1 di tangga lagu UK serta meraih 4 kali platinum. Sayang keadaan kemudian berbalik dengan cepat. Album kedua mereka, One Way Ticket To Hell… and back yang rilis 2005, terhitung berantakan dan penjualannya pun sangat jauh dari album pertama.

Iklan

Selain terjatuh ke perangkap dimana mereka gemar meminjam bagian-bagian dari pahlawan musik mereka—seperti riff ala AC/DC, pose ala Freddie Mercury, dan gaya omong besar ala Def Leppard—The Darkness juga terjatuh ke perangkap yang sudah tidak asing dari seorang rockstar, yaitu ketenaran mereka sendiri. Hawkins sempat keluar band pada 2006, lalu secara sukarela mengikuti rehabilitasi narkoba. Dia kemudian menyatakan bahwa pengeluarannya sempat mencapai 150,000 poundsterling per tahunnya cuma buat beli kokain pada puncak kesuksesan The Darkness. Sisa anggota band lain kemudian melanjutkan karir bermusik denga membentuk Stone Gods yang lebih bernuansa metal. Hawkins, setelah keluar dari pusat rehabilitasi, membuat musik aneh bermodal synthesizer memakai moniker British Whale. Mereka kahirnya kembali bersatu pada 2011. Sampai sekarang, The Darkness belum pernah kembali ke masa kejayaannya.

The Darkness muncul bersamaan dengan masa kebangkitannya garage rock, ketika The Strokes, The White Stripes, dan Kings of Leon menjajah radio. Di AS, emo mulai mendominasi. The Darkness, dengan segala kenaifannya, sempat dianggap band "lelucon". Aksi mereka mengibarkan bendera glam metal dikira memang parodi. Sebenarnya tudingan macam itu tak keliru-keliru amat. Mereka hanyalah empat pria dari kota Lowestoft di Suffolk, lebih memilih spandex ketimbang jaket kulit, dan masih doyan meneriakkan lengkingan falsetto ketimbang jeritan emosional dari hati seperti anak-anak emo di awal dekade 2000'an. Kalau bukan tiba di waktu yang keliru, tentu saja pilihannya mereka memang melucu. Tak ada pilihan lain.

Iklan

Foto oleh Paul Bayfield

Momen pertamaku bertemu Justin Hawkins berlokasi di bar bawah tanah di London Timur September lalu. Dia semangat bercerita tentang puncak kejayaan The Darkness serta bagaimana mereka sendiri malah menyabotase karir musik yang sedang panas-panasnya. Dia mengaku jadi salah satu aktor paling bertanggung jawab membuat band glam metal ini tenggelam di masa jaya. Kelakuan Justin membawa mereka ke titik terendah. Dia memiliki paras yang ganteng dengan jenggot goatee dan tulang pipinya yang tinggi, berpakiaan sepenuhnya hitam. Jika kamu sedang mencari pemeran utama untuk memerankan Lucifer dalam sebuah sitcom BBC, pilihan terbaik jelas Justin Hawkins.

Dia baru saja menyelesaikan sebuah wawancara dengan The Sun, tabloid Inggris yang terkenal karena reputasi yang kurang baik. Koran ini dulunya punya induk perusahaan, The News of the World, yang dibredel pada 2011 karena terbukti meretas telpon genggam seleb-seleb Inggris demi mencari berita sensasional.

Ternyata, Hawkins termasuk dalam investigasi tersebut, dan dia tidak teralu peduli soal itu. "Polisi menghubungi aku dan menanyakan apakah aku ingin mendapatkan uang karena telah di perlakukan sepert itu," katanya. "Aku tidak meminta uang, karena nantinya saya tidak akan bisa membicarakan hal ini. Itu justru intinya, untuk gak membicarakan ini, dan akku lebih memilih untuk bisa membicarakannya karena ini lucu."

Justin ternyata senang membaca The News of the World. Dia tidak merasa praktik surat kabar itu sebagai invasi menjijikan terhadap privasinya. "Itu adalah sebuah indikasi dari seberapa besar kita waktu itu pada puncaknya. Kita ingin sebesar itu lagi. Kita ingin orang-orang peduli terhadap apa yang kita lakukan. Aku ingin orang-orang untuk meretas telpon genggamku dan mendengarkan pesan-pesan sampah ku, dari orang-orang yang juga sampah."

Iklan

Di kancah musik dunia, sudah banyak band-band songong. Makanya cukup mengherankan saat Hawkins mengatakan masih berambisi ingin menjadi seorang bintang rock lagi. Barangkali baginya tidak ada guna pula berpura-pura. Sebab, jauh sebelum The Darkness terbentuk, Hawkins sudah tahu apa yang dia inginkan. Menjadi rockstar. Dia ingat dulunya pernah berkerja kantoran untuk sebuah acara amal pada 1999. Pekerjaan itu terpaksa dia ambil karena sudah berada dibawah tunjangan pengangguran untuk teralu lama. Hawkins membicarakan tentang aspirasi musiknya kepada seseorang bernama Kevin, yang juga berkerja disitu dan sedang berlatih untuk menjadi akuntan. "Dia berkata kepada ku, 'Apakah kamu sungguh melihat dirimu sebagai sebuah bintang? Kamu pikir kamu punya karismanya?' dan aku berkata, 'Engga ya…Entahlah. Iya deng, engga."

Namun itu menjadi sebuah titik cerah untuk Hawkins. "Perkataan orang itu lah yang kemudian membuat saya sadar bahwa jika dia tidak percaya sama aku, bagaimana dengan orang lain? Dan satu-satunya cara untuk menjual ide tersebut adalah untuk berubah dan menjadi itu." Ketenaran, menurut seorang Justin Hawkins, melibatkan " method acting"; Itu semua tentang memainkan suatu peran hingga semuanya melihat itu sebagai sebuah fakta. Jika kamu ingin berpakaian untuk sebuah kerjaan yang kamu inginkan, tidak ada baju yang lebih baik dari sebuah catsuit.

Ketika The Darkness pada akhirnya memunculkan diri dengan Permission to Land, dimana penjualannya sudah bisa dianggap bahwa mereka telah sukses, critical response terhadap mereka banyaknya salah paham. "Yang dulu paling membuat ku kesal adalah ketika aku sedang membicarakan tentang sesuatu yang serius, aku akan dituduh melawak, dan sebaliknya," katanya. "Ketika aku bercanda yang itu sudah jelas-jelas merupakan sebuah gurauan, mereka akan berfikir, 'Liat dia dan kelakuannya.' Tapi ketika aku memainkan sebuah solo gitar yang aku banggakan, mereka akan berfikir, 'Alah, dia cuma bercanda."

Iklan

Foto oleh Simon Emmett

Kalaupun The Darkness dianggap sekadar band lucu-lucuan, menurut Hawkins, penyebabnya adalah persepi kalau semua musik sudah seharusnya tidak mengandung humor. "Seseorang memtusukan tentang apa yang bisa dan yang tidak bisa kamu tertawakan. 'Kamu tidak seharusnya menikmati itu. Itu seharusnya katartis, itu seharusnya melepaskan jiwa kamu. Tidak seharusnya kamu senyum dengan hal seperti itu.'" Humor dan emosi, katanya, tidak seharusnya dipisahkan. "Mereka memang seharusnya menjadi lagu-lagu emosional."

Hawkins memiliki sebuah sistem saat dia menulis sebuah lagu untuk The Darkness. Apapun yang teralu berat dan serius dia atasi dengan komedi. "Jika sebuah musik sudah mulai memanjati dirinya atau menjadi teralu serius, sudah menjadi kewajibanku untuk menariknya dari situ dan merubahnya menjadi sesuatu yang The Darkness, melakukannya dengan cara yang salah," katanya.

Pinewood Smile didefinisikan oleh hal tersebut. Lagu pembuka "Solid Gold" menyatukan riff rock stadium dengan pernyataan berani seorang genius: "We're gonna blow people's fucking heads off / Ooh they're gonna shit themselves." Lalu ada "Why Don't The Beautifiul Cry," sebuah balad indah yang bernada datar hingga Hawkins menanyakan "Why don't the beautiful cry[…] Even if you poke them / Poke them in the eye."

Yang paling aneh dari semuanya adalah "Japanese Prisoner of Love," sebuah lagu yang berawal dengan riff yang kekar, dipercepat pada saat verse, dan lanjut menuju sebuah chorus akustik yang absurd. Itu bisa menjadi sebuah lagu yang sungguh-sungguh, namun Hawkins tidak akan membiarkannya terjadi. Dia tidak ingin lagu itu terdengar seperti "Metallica atau Pantera atau semacammnya," sehingga dia membumbuinya dengan kesadaran atas kondisi di perkemahan tahanan perang. "Aku biasanya duduk di sebuah toilet, dengan sebuah kursi," ujarnya mencontohkan.

Iklan

"Japanese Prisoner of Love" sepertinya tidak akan mengubah The Darkness kembali menjadi bintang rock. Lirik seperti "Solitary confined / Taken by force from behind / By a surly white supremacist named Klaus" biasanya tidak akan naik ke puncak tangga lagu Billboard. Walaupun kenyataannya The Darkness tetap tidak cocok untuk kembali setenar itu di 2017, Hawkins mengakui bahwa dia telah mensabotase kesempatan mereka untuk kesuksesan jangka panjang dari jauh hari. "Sepertinya saya sudah membuat marah orang-orang yang sangat berpangruh," katanya.

Salah satu kasusnya adalah perseteruan mereka dengan Glastonbury Festival. Setelah menjadi band pembuka di Pyramid Stage pada 2003, Hawkins mengatakan bahwa penemu festival, Michael Eavis, meyebut mereka sebagai sebuah flash in the pan, dan menolak untuk mengundang mereka tahun berikutnya. The Darkness pun mendaftarkan diri untuk Reading Festival pada musim panas berikutnya. Ketika sudah menjadi jelas bahwa lagu-lagu mereka masih menjual, Glastonbury kembali dan mencoba untuk mendaftarkan mereka. The Darkness menolak, dan Eavis tidak menyukainya.

"Jadi dia mengatakan bahwa kita adalah tentara bayaran. Dia menuduh saya sebagai tentara bayaran," kata Hawkins. "Dan saya menanggapinya secara berlebihan, sehingga saya menyebutnya sebagai seorang bajingan. Itu artinya kita tidak akan pernah bermain di Glastonbury. Tapi faktanya, yang saya katakan menjadi benar." (Anehnya, Hawkins pada saat itu dikutip memanggil Eavis "cock," dan bukan "cunt. Eavis menyangkal dia pernah menolak The Darkness gabung festivalnya).

Iklan

Ini bukan cara yang terbaik untuk menjalin kesenjangan bagi band kamu, dan Hawkins mengetahui itu. Beberap atahun kemudian, DJ radio BBC Jo Wiley mengkritisi album solo milik Hawkns, utamanya cara Hawkins menyanyi. "Dan aku berkata, 'Tidak, itu memang cara ku bernyanyi.' Dan aku mengatakan siapapun yang tidak percaya aku memiliki pantat yang bau." Itu lebih baik daripada memanggil Michael Eavis seorang bajingan, tapi itu tidak sepenuhnya hal yang paling masuk akal. "Aku kira aku hanya sedang melucu, tapi aku tidak pernah mendengar apa-apa lagi dari dia," katanya.

Ada juga suatu insiden dari tahun-tahun awal The Darkness yang sepertinya Hawkins sama sekali tidak seskali. Pada 2004, The Darkness mengelilingi Australia pada Big Day Out bersama Metallica, Muse, dan yang paling cocok, The Strokes. "Mereka juga band lain yang kita buat marah," kata Hawkins dengan senyuman.

Dalam tour tersebut, seseorang nyolong sebuah wawancara dengan The Darkness, yang menyebutkan bahwa mereka membuat "komentar yang meremehkan" The Storkes. Lima lelaki asal New York tersebut pun datang ke kamar ganti The Darkness untuk mengkonfrontasi mereka. Keadaan sempat mereda, dan kata Hawkins mereka justru sempat akur untuk beberapa waktu. "Kemudian ada interview lain yang keluar dan di terbitkan saat kita sedang tur." Wawancara tersebut memasukan kutipan dari drummer The Darkness pada saat itu, Ed Graham, dimana dia menyebut album terbaru The Strokes "mengerikan." (appalling) Ketika dikonfrontasi lagi oleh The Strokes, Hawkins dan sisa anggota band berusaha untuk menutupinya dengan mengklaim bahwa Ed dikutip dengan salah- mereka bersikeras bahwa dia sebenarnya mengucapkan "menarik" (appealing). Seperti yang sudah bisa diduga, tidak ada yang mempercayainya. "Hal yang lucu adalah itu sebenarnya aku yang mengatakannya," lata Hawkins. "Tapi malah Ed yang kena salah."

Itulah yang kukatakan kepada Hawkins, terasa seperti dunia kecil dari karir The Darkness. 4 pria paruh baya yang berpakaian dengan aneh dari Suffolk, berpegian ke separuh belahan dunia, membuat kesal anak-anak Amerika yang trendy, merupakan sesuatu yang orang-orang lihat otentik.

Hawkins tidak memberikan jeda sebelum merespons: "Menurutku, makna otentisitas adalah ketika kamu gabung band rock lalu baru coba-coba belajar gitar."

Foto oleh Paul Bayfield

Setelah sedikit lebih dari sejam di atas kapal sungai, The Darkness akhirnya mencapai penghujung penampilannya. Penumpangnya pun juga sudah tidak banyak-karena kita telah banyak berhenti di pemberentian utama. Namun, The Darkness masih bermain dengan penuh semangat. Mereka menutup penampilan mereka dengan 'I Believe In a Thing Called Love," sebuah lagu yang menunjukan segalanya mengapa The Darkness patut didengarkan. Lagu tersebut mencolok, virtuosik, mudah diingat, dan dimainkan dengan dengan ringaian yang konyol.

Sebelum menepi di Dermaga London Eye, kapal berputar 180 derajat di sungai. Cahaya matahari menembus kaca. Angin bertiup dari sungai Thames. Justin Hawkins berdiri dengan catsuit kulitnya yang terbuka hampir hingga kemaluannya. Tanpa ragu, dia memainkan sebuah solo gitar tanpa cela dengan muka yang menunjukan kepuasan. Rambutnya berkibar tertiup angin, penuh kemilau sinaran cahaya. Selama sesaat, Justin Hawkins mewujud sebagai citra klise sempurna rockstar yang biasa kamu bayangkan. Faktanya, dia bahagia jika kalian memang berpikir demikian.

Alex Robert Ross demen banget sama celana dan jaket kulit. Follow dia di Twitter.