Strategi Menabung Tapi Masih Bisa Makan Enak di Singapura

FYI.

This story is over 5 years old.

Kuliner Singapura

Strategi Menabung Tapi Masih Bisa Makan Enak di Singapura

Hidup di negara-kota mahal seperti Singapura berat. Pengusaha bisa makan caviar kapan saja. Tapi banyak juga kok orang biasa yang sanggup rutin makan kari ikan.

Artikel ini pertama kali tayang di MUNCHIES.

Saat kepepet, apapun bisa jadi—atau dijadikan—makanan. Itulah pesan moral dalam fabel-fabel Aesop, dan begitulah bagaimana dunia membuka diri pada hati angsa, kuping babi, dan paket nasi + gorengan = Rp7000 yang rutin dimakan mahasiswa akhir bulan. Paham tersebut juga menjadi landasan bagi kuliner khas Singapura. Meski kini tampak seperti lokasi syuting film Her, Singapura 50 tahun yang lalu setelah merdeka adalah singa yang tidak makmur-makmur amat. Jadi saya ingin mencari jawaban dari pertanyaan pelik ini: di Singapura era Gardens by the Bay ini, yang semuanya serba mahal, apa iya warganya masih bisa menjadi "omnivora sejati"? Dengan luas setengahnya Kota New York, Singapura tidak memiliki sumber daya alam penting. Bahkan, sebenarnya sih, Singapura tidak memiliki sumber daya alam apapun: airnya lebih sedikit daripada satu kabupaten sentra pertanian di Pulau Jawa dan hasil pangan aslinya tak mungkin bisa mengisi satu kulkas besar. Tapi Singapura punya keberagaman. Keturunan Melayu, Cina, dan India tinggal bersama di pulau kecil selama berabad-abad, lalu orang Inggris muncul, sehingga sudah pasti saya bukan orang Amerika pertama yang ke sini. Jadi meski mereka mungkin mesti berbagi makanan dengan tetangga mereka, dijamin menunya engga itu lagi, itu lagi.

Iklan

Ini salah satu hasil pencarian saya

Gulai kepala ikan adalah perkawinan antara sikap pragmatis anti-mubazir warga Singapura dan masyarakat multi-etnis. Mulanya gulai kepala ikan adalah kuliner wilayah selatan India, tapi menjadi populer di kalangan pelanggan Cina. Ketika sopir taksi dari bandara menyarankan agar saya pergi junction, tempat makan ngehits di Negeri Singa itu, saya pikir tidak ada tempat yang lebih cocok untuk mencicipi gulai kepala ikan daripada perempatan jalan. Tapi ya Gusti, ternyata yang benar adalah JUNCTION. Dan itu bukan perempatan jalan, melainkan mal besar. Gini, perumpamaannya: sebagai orang yang berasal Kota Philadelphia, saya engga akan menyarankanmu mencicipi roti tumpuk cheesestake di mal. Intinya sih, kalau berkunjung ke kota baru, ngapain main ke mal? Jadi saya bertolak ke Little India untuk mencari masakan-masakan yang sifatnya bukan cepat saji. Ternyata, beberapa restoran yang mencantumkan gulai kepala ikan pada menunya sedang kehabisan stok. Beberapa restoran lain malah menghangatkan gulai kepala ikan yang disimpan di kulkas entah sejak kapan. Akhirnya, saya cukup hoki untuk menemukan satu restoran yang mengaku memiliki kepala ikan segar. Restoran tersebut memiliki suasana yang pas untuk halal bihalal dengan saudara jauh. Mereka tidak mengizinkan saya masuk ke dapur, tapi saya dilayani langsung oleh juru masak restoran itu. Saya tidak foto dia, tapi dia membantu saya mengangkat kepala ikan dengan sendok agar saya bisa memotretnya dengan jelas. Wah, ternyata gulai kepala ikan rasanya lumayan oke! Gulainya gurih, dan daging bagian pipi ikannya sangat amis. Matanya—mungkin kita mengira teksturnya lembut dan lembek—keras banget. Menurut tradisi, gulai kepala ikan adalah menu yang disantap dengan kawan-kawan dan keluarga saat makan malam. Digerogoti terus hingga tersisa tulang belulangnya. Betul-betul tidak ada kata mubazir. Makan-makan di kota "Singapoor" sejauh ini telah menghabiskan 25 SGD (sekitar Rp235.000) dan mengakibatkan saya diusir salah satu warung makan pinggir jalan, ketika saya bilang belum tentu akan menuliskan soal gulai kepala ikan (meski pada akhirnya saya tulis juga). Saya pengin ngaso sebentar di kedai kopi ngehits, tapi saya malah menghabiskan 10 SGD (sekitar Rp95.000) sekadar untuk teh dan playlist Spotify. Selanjutnya, saya menemui seorang kawan yang bolak-balik tinggal di Singapura. Kami makan malam di mal bernama FUTUREOPOLIS, kalau tidak salah. Kami makan di food court. Semua konter makanannya memiliki reklame berwarna hijau yang berbunyi MASAKAN JEPANG, MASAKAN INDIA, MASAKAN BARAT, dll. Saya pergi ke satu kios menyajikan MAKANAN THAILAND dan MINUMAN PANAS. Ya, untung murah. Selesai makan, kawan saya itu bercerita bahwa Singapura adalah tempat paling menjunjung tinggi sistem pasar-bebas di dunia. "Di sini engga ada upah minimum regional," ujarnya. Di sela-sela obrolan, seorang perempuan Melayu membersihkan nampan-nampan kami. Saya jadi membayangkan, berapa lama perempuan itu mesti bekerja untuk bisa mencicipi kuliner "otentik" seperti yang saya lakukan di kotanya? Dari mana asal perempuan ini?

Iklan

Harusnya saya engga pergi ke Potong Pasir

Menu selanjutnya yang saya cari, membuktikan bahwa saya bukan orang Amerika pertama yang menjajakkan kaki di Singapura. Saya nemu cake wortel goreng. Menu ini kedengarannya berasal dari kawasan Midwest AS, lokasi udik negara saya yang warganya bisa emosi jika kita menyinggung topik-topik tentang budaya gay. Saya naik MRT dari hostel ke sebuah gedung apartemen dengan angka berukuran besar pada sisi-sisinya. Saya menunjukkan alamatnya kepada staf pemeliharaan yang bilang saya mesti lanjut naik bis ke rusun-rusun padat yang terhampar di seluruh Singapura.

Kita tidak bisa selamat dari hukuman ini. Jangan cari masalah di Singapura.

Namun pada sebuah FOOD CENTRE di tengah-tengah perumahaan belum rampung, saya menemukan gerobak cake wortel goreng yang saya cari-cari sedari tadi.
Spoiler: cake wortel goreng sebetulnya bukan cake wortel yang digoreng. Sebetulnya lebih seperti wortel yang digoreng lalu dijadikan perkedel. Saya bete banget sih, tapi saya langsung sadar diri. Saya tidak boleh bikin keributan, karena nanti saya bisa dipenjara. Saya telan saja lah.

Ya, makan beginian doang juga. Sepele sih.

Sebenarnya saya jadi sedikit ketagihan. Saat saya mengabaikan perasaan bete tadi, saya benar-benar bisa menikmati makanan berminyak ini. Ya mirip banget deh dengan bakwan. Ya, saya jadi engga heran bahwa gerobak "bakwan" ini laris manis: resepnya telah turun temurun beberapa generasi, dan mereka tidak membuat banyak perubahan kecuali lokasi berjualan. Saat kota ini tumbuh, pedagang-pedagang ini tetap sama. Tapi saya masih kepengin yang manis-manis. Ternyata, ada menu pencuci mulut yang sedang ngetren di Singapura: es serut dan duren. Jadi saya pergi ke PUSAT MAKANAN di area lain yang juga memiliki apartemen pencakar langit. Salah satu hal pertama yang dilakukan Lee Kwan Yeu setelah Singapura merdeka adalah memasang AC di setiap kantor pemerintahan. Dia tahu Singapura itu terik dan panas banget. Yang sepertinya dia tidak kepikiran adalah, menempatkan bangku-bangku di sepanjang jalan. Cukup lama saya berjalan kaki di jalan tanpa tempat berteduh ataupun bangku, mencari-cari gerobak es serut duren ini. Dodolnya lagi, saya lupa mencatat alamat dan lorongnya, jadi saya tidak bisa meminta panduan orang sekitar.

Gantungan jemuran jadi pemandangan unik apartemen Singapura.

Saya melihat sebuah paviliun metal besar dan berteduh di dalamnya. Selain ngadem, saya juga memesan nasi ayam dan duduk dekat satu-satunya orang kaukasia di sana. Saya mencoba santai dan berpikir, Saya kebetulan saja kok duduk di sini. Sama sekali engga ada hubungannya dengan kita sama-sama kaukasia dan saya perlu menanyakan sesuatu. Eh, tapi dia ngeh. Tapi dia engga tahu tempat yang saya tuju dan belum pernah mendengar gerobak es serut yang saya maksud. Dia bertanya apakah saya tinggal di Singapura, saya bilang hanya berkunjung. "Well," ujarnya dalam aksen Eropa samar, "lumayan lah kamu sudah sampai sini. Sudah makan nasi ayam yang enak banget pula." Betul sih. Meski berasa banget jahenya dan ayamnya terlalu lembut. Tapi sepadan banget, mengingat harganya 5 dolar Singapura (sekitar Rp47.000).

Setelah beberapa perhentian MRT, melewati lokasi orang-orang tajir dan berpengaruh, saya tiba di tempat di mana para lelaki jompo duduk di meja bundar di bawah apartemen sambil menonton film-film epik Cina, menyesap kopi dengan susu kental manis atau bir Tiger. Mereka menyantap makanan yang selalu mereka santap. Tidak mempedulikan masa depan yang mereka ciptakan secara tidak sadar: jamur kalengan dan nasi ayam. Pada malam-malam tertentu, mereka menyantap pula gulai kepala ikan.

Jadi, catat menu-menu di atas jika kalian ingin makan enak, tapi tidak menguras tabungan, saat sedang bermukim di Singapura.