Budaya

Kami Coba Memahami Alasan Orang Indonesia Doyan Nyetel Musik Kencang di Tempat Umum

Memutar musik dengan lantang, atau menelepon pakai loudspeaker, kata peneliti cara manusia menandai teritori. Menurut pelaku yang ngobrol sama VICE, dia sih gak puas kalau cuma pakai earphone.
budaya memutar musik kencang pakai loudspeaker di Indonesia menurut pelaku dan pakar
Ilustrasi musik kencang diputar di ruang publik via Getty Images

“Sialan! Kemarin pas naik kereta, penumpang di belakangku dengerin video ceramah pakai speaker hape, terus dia malah tidur!” 

Aku tertawa mendengar cerita Vicki, pria 32 tahun, waktu kutanya apakah ia punya pengalaman terganggu oleh orang yang mendengarkan sesuatu dengan suara lantang di ruang publik. Aku mengerti keresahannya.

Baru-baru ini aku mampir ke salah satu kafe di Magelang untuk bekerja. Di sebelahku, ada pengunjung lain yang cuek bebek mendengarkan talkshow Taufik Hidayat dari YouTube Vincent-Desta lewat speaker ponsel. Sebagai insan yang mudah terdistraksi, aku malah jadi menyimak obrolan talkshow itu sampai selesai. Aku sampai lupa tujuanku bekerja akibat sibuk ketawa bersama seorang stranger gara-gara menyimak lelucon di video itu.

Iklan

Sudah banyak kujumpai jenis orang dengan hobi “berbagi” apa saja yang mereka dengarkan kepada orang lain meski tak diminta. Entah itu lagu-lagu, video TikTok, diskusi di podcast, atau sekadar suara game ponsel macam Mobile Legends. Kalau kamu pernah ngekos, setidaknya ada satu penghuni kos yang setiap pagi gemar berbagi playlist via speaker ke penghuni kos lain.

Beberapa cerita serupa Vicki lantas kukumpulkan. Nabila Ria, karyawati 28 tahun di Jakarta, mengaku sudah pasrah dengan kebebalan tetangga kosnya yang meski sudah berkali-kali ditegur, tetap saja diulang-ulang.

“Pasang lagu di loudspeaker-nya suka enggak tahu waktu pula. Yang cowok suka loudspeaker kalau lagi main game, kalau yang cewek pasang lagu Indonesia TikTok masa kini yang galau-galau gitu,” ujarnya kepada VICE.

“Pernah [kutegur]. Dua-duanya respon baik, plus di awal masing-masing langsung enggak pasang mode loudspeaker. Tapi, itu cuma bertahan maksimal seminggu. Habis itu, ya kumat lagi dan tetap di jam-jam yang kurang tepat, di jam mau istirahat,” keluh Nabila.

Perkara macam ini ternyata bukan monopoli orang Indonesia doang. Aulia, mahasiswi Indonesia berusia 27 tahun yang sedang pascasarjana di Britania Raya, mengaku kepada VICE bahwa pacarnya yang bule punya masalah sama.

“[Pacarku bisa melihat] video TikTok dan nonton bola di kereta, restoran pas lagi nunggu makan, bandara, pokoknya kalau nganggur dikit lah. Aku doang sih yang negur. [Volume-nya] menurutku ganggu orang, kayak simbah-simbah dengar radio untuk background gitu, bisa bayangin enggak? Kalau kami lagi di luar, aku rela enggak denger lagu biar dia pakai headset-ku,” kata Aulia. Pengorbanan memang perlu dilakukan demi tercipta masyarakat madani.

Iklan

Kebiasaan mendengarkan sesuatu dengan suara terlalu besar di ruang publik pernah dibahas BBC pada 2011 silam. Gara-garanya, remaja dan dewasa muda di Britania Raya di masa itu punya fenomena memutar musik pakai speaker hape di ruang publik. Peneliti dan ilmuwan neuroscience Harry Witchel berpendapat, tindakan itu bukan menunjukkan kecenderungan anti-sosial, melainkan “cara” manusia menandai teritori sosialnya.

“Pada anak muda, biasanya musik yang disetel kencang bersinggungan dengan kecenderungan ‘memiliki’ wilayah tersebut. Mereka menciptakan lingkungan sosial yang cocok dengan mereka dan lingkaran pertemanan mereka,” ujar Witchel kepada BBC.

Contoh serupa lain: kita pasti pernah menemui orang suka ngobrol di telepon pakai mode loudspeaker saat berada di antara banyak orang asing. Perbuatan ini sering bikin orang enggak nyaman dan merasa ketenangan terganggu. Pakar etika dari Amerika Serikat, Akilah Easter, punya saran. Doi yang sudah menghabiskan 25 tahun meneliti budaya dan etika menyarankan, sebaiknya jangan terlalu konfrontatif kepada orang macam itu, dengan misalnya minta telepon dimatikan. 

“Gunakan kontak mata, siapa tahu dia paham bahwa kita terganggu. Apabila merasa mampu, kamu bisa mengatakan kalimat seperti ‘Kayaknya lebih baik untuk ngobrolin hal itu di tempat yang lebih privat,’ atau bisa setengah bercanda kayak ‘Gue enggak yakin deh semua orang mau dengar percakapan barusan’,” kata Akilah dilansir Chicago Tribune. Cara-cara penuh adab seperti ini tentu membantu, namun kalau kamu ketemu orang bebal seperti tetangganya Nabila, sepertinya tetap perlu cara lain deh.

Iklan

Aku lantas ngobrol dengan beberapa orang yang jadi pelaku kebiasaan ini. El Hakim, pria 26 tahun domisili Jakarta Selatan, mengatakan kecenderungannya menggunakan speaker untuk mendengarkan musik dan menonton diakibatkan rasa sakit di telinga apabila menggunakan earphone atau headphone.

“Itu yang pertama. Yang kedua, terkadang kalau ada di satu tempat atau ruang sendirian, itu kadang ngerasa asing gitu. Kalau pakai speaker tuh lebih berasa ramai dan hidup aja sih ruangannya,” kata Hakim.

Ia mengaku pernah ditegur tetangga kantor gara-gara menyalakan musik di kantor pada jam 9 malam. “Setelah ditegur, kalau malam-malam jadinya tetap pakai speaker tapi volume-nya sesuai sama jamnya.” 

Galang, mahasiswa 23 tahun di Yogyakarta, mengaku kamar kosnya sering menjadi tempat berkumpul tongkrongan. Alunan musik dari speaker untuk mengiringi kegiatan nyanyi bersama sudah menjadi rutinitas.

“Memang sengaja [volume-nya] besar. Aku buka jendela [kamar] biar asap rokok keluar, jadi kedengeran banget [dari luar kos]. Tiga tahun [di sini] cuma ditegur sekali. Tetangga kosan kayaknya yang laporin ke pemilik kos. Ini kos cowok semua, ada 15 kamar kurang lebih penghuninya 13-14 orang. Suara musik besar dan teriak-teriak [nyanyi]. [Pas ditegur itu] sampai subuh jadi ganggu,” cerita Galang.

Saat kutanyai alasannya melakukan itu, ia menyebut sebenarnya tidak memiliki tujuan memutar lagu sampai terdengar ke luar. “Tapi, memang ketika sedang kumpul lebih enak sambil nyanyi bareng. Lama enggak pernah ada yang protes, jadi seakan-akan ini biasa aja. Awalnya ini dilakuin supaya enggak sepi karena kadang anak kos pada keluar. Pemilik kos jarang di tempat, kalau ada penjaga pun cuek aja,” ujarnya.

“Tetap tahu itu bakal ganggu, kadang disiasati aja. Yang dulunya enggak peduli sekitar, makin ke sini sadar sendiri. Pas ngekos masuk tahun kedua [aku] ngidupin speaker gede-gede paling pagi jam 9 atau 10 pas udah pada bangun.”

Setelah ngobrol sana-sini, aku punya kesimpulan sebagai "korban" fenomena. Penyelesaian ini akan sama nasibnya dengan perkara suara potong keramik di hari Minggu pagi atau alunan musik dari acara kondangan tetangga rumah. Dalam hati terdalam aku tahu bahwa aku terganggu, tapi aku berusaha sekeras mungkin untuk memahami dan memaklumi.