FYI.

This story is over 5 years old.

Terorisme Global

Teroris Seperti ISIS Gunakan Kekerasan Seksual Untuk Pikat Anggota Baru

Sebuah penelitian menyebutkan bahwa kelompok-kelompok teroris seperti ISIS dan Boko Haram mendorong anggota melakukan kekerasan seksual. Mereka percaya hal itu ampuh memikat calon anggota baru.

Sebuah laporan baru dari wadah pemikir Inggris mengilustrasikan bagaimana kelompok-kelompok ekstremis seperti ISIS membenarkan dan mempromosikan perkosaan dan perbudakan demi memikat calon anggota baru, terutama mereka yang sebelumnya pernah melakukan tindakan tersebut. Peneliti dari Henry Jackson Society berargumen dalam sebuah laporan bahwa kekerasan seksual dan kekerasan terhadap perempuan adalah ajaran utama dalam organisasi-organisasi teroris seperti Boko Haram dan ISIS, dan merupakan kunci strategi perekrutan dan pendanaan mereka.

Iklan

Para peneliti menganalisis kepustakaan akademik, undang-undang, propaganda teroris, testimoni korban, dan laporan-laporan dari berbagai organisasi hak asasi manusia untuk mendapatkan pemahaman lebih baik mengenai kontribusi kekerasan seksual pada terorisme.
Menurut laporan tersebut, kekerasan seksual ditanamkan dalam ideologi kelompok-kelompok teroris seperti Boko Haram dan ISIS. Ini adalah industri yang amat menguntungkan, di mana perempuan diperjualbelikan di antara pasukan laki-laki atau ditawarkan kembali ke keluarga asalnya dengan sejumlah uang tebusan. Salah satu contohnya, ISIS menghasilkan uang sebesar $127,000 hingga $244,000 hanya dari uang tebusan 16 sandera. Laporan ini mengingatkan publik bahwa kelompok teroris dapat dengan mudah menjadikan perdagangan manusia dan penculikan sebagai sumber penghasilan, mengingat keuntungan dari ladang minyak dan pajak terus merosot. Namun para teroris menggunakan kekerasan seksual untuk alasan-alasan yang lebih mendasar, yaitu sebagai kunci kebijakan mereka soal ekspansi agresif. Dengan menjadikan para perempuan sebagai budak seks, dan memaksa mereka untuk menganut Islam dan melahirkan anak, ISIS secara harafiah menghasilkan anggota generasi selanjutnya. Dan para teroris mengetahui bahwa akibat stigma sosial yang melekat pada penyintas kekerasan seksual di negara-negara Timur Tengah, para korban bisa dipastikan tidak akan membuka mulut soal kekerasan yang mereka alami. "ISIS menggunakan stigma ini untuk melanjutkan kegiatan mereka," jelas penulis laporan Nikita Malik. Pembungkaman ini diperparah dengan alpanya perlindungan formal bagi para korban di negara-negara seperti Irak, Suriah, Libya, dan Nigeria. "Di negara-negara ini, undang-undang amat lemah dalam hal kekerasan seksual. Misalnya saja, perkosaan dalam pernikahan tidak diakui." Para peneliti berargumen bahwa banyak calon anggota ISIS tertarik bergabung terutama karena mereka ditawarkan kesempatan untuk melakukan kekerasan seksual. Laporan ini menyorot pasukan ISIS dengan sejarah perkosaan, seperti anggota dari Inggris Ondogo Ahmed, yang terbang ke Suriah setelah diputuskan bersalah dalam kasus perkosaan anak perempuan berusia 16 tahun. Iming-iming soal budak seks, menurut laporan tersebut, sangat efektif untuk memikat calon anggota laki-laki.

"Dalam ideologi teroris ini, kekerasan terhadap perempuan tak hanya untuk keperluan finansial, begitu juga dengan perdagangan manusia," ujar Malik. "Ada dimensi lain di mana melakukan ini dipandang sebagai hal baik." "Banyak propaganda yang kita temui melegitimasi kekerasan terhadap perempuan dengan cara menghukum kuffar [bahasa Arab untuk 'kafir']' menghukum perempuan karena mereka pantas dihukum; karena mereka bukan perempuan Muslim. Satu-satunya cara menghentikan perbudakan adalah dengan masuk Islam. Dengan memaksa mereka menganut Islam, mereka membantu si perempuan menghapuskan dosa-dosanya seumur hidup." Kekerasan ini diturunkan dari satu generasi ke generasi berikutnya, ketika tahanan perempuan dipaksa untuk mengandung dan melahirkan anak-anak pasukan ISIS. "Saya berani bilang bahwa kekerasan terhadap perempuan sebagai ideologi dianggap perlu demi regenerasi," imbuh Malik. Meski banyak teroris kelas kakap dilaporkan memiliki sejarah kekerasan dalam rumah tangga, seperti Rachid Redouane misalnya, yang menyerang Jembatan London, dan teroris Jembatan Westminster Khalid Masood—Malik percaya bahwa dibutuhkan penelitian lebih lanjut untuk menentukan apakah kekerasan dalam rumah tangga bisa dipakai untuk memprediksi perilaku teroris di masa mendatang. Dia juga bilang bahwa organisasi-organisasi perlu bekerja sama untuk menyelidiki ideologi teroris untuk mencegah ancaman-ancaman di masa datang. "Saat ini, isu keamanan dan isu keadilan tindakan kriminal masih lumayan tersegmentasi," ujar Malik. "Saya rasa amat penting untuk organisasi-organisasi kecil yang menyelidiki sektor KDRT dan sektor terorisme untuk bekerja sama." Yang lebih penting, dia bilang kekerasan seksual perlu diperhatikan secara lebih serius oleh pemerintah dan undang-undang. Malik menyimpulkan, "Kita perlu memberikan hukuman yang lebih tegas atas tindakan kekerasan seksual dalam undang-undang, karena ini adalah bagian yang luar biasa penting yang digunakan para teroris untuk membenarkan tindakan mereka."