FYI.

This story is over 5 years old.

ISIS

Rasanya Terjebak Hidup-Hidup di Raqqa, Ibu Kota ISIS

Mike Thompson, seorang jurnalis, menceritakan proses menulis berisi catatan harian seorang pemuda yang terjebak di kota Suriah yang dikuasai militan Khilafah.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.

Kota Raqqa di Suriah telah berubah menjadi salah satu tempat paling terisolasi di muka bumi. Warga menghuni kota itu hidup di bawah kekuasaan Daulah Islamiah (ISIS). Secara teori, Raqqa adalah ibukota de facto ISIS sejak awal tahun 2014. Sejak saat itu, kesewenang-wenangan ISIS membuat hari-hari di Raqqa terasa seperti di neraka. Penduduk kota itu dilarang menonton TV dan harus mengikuti aturan pakaian yang sangat ketat. Pelanggaran atas semua peraturan ini bakal diganjar cambukan atau malah hukuman mati.

Iklan

Di tengah opresi yang dialami penduduk Raqqa, muncul kelompok Raqqa Is Being Slaughtered Silently. Organisasi ini mendokumentasikan kekejaman ISIS. Belakangan, para aktivis utama kelompok ini sudah pergi meninggalkan Raqqa demi keselamatan hidup mereka. ISIS dengan ketat mengawasi informasi yang keluar masuk Raqqa. Di mata ISIS, menjalin komunikasi dengan jurnalis asing adalah tiket hukuman mati bagi siapapun. Tak ayal, apa yang dilakukan oleh Mike Thomson terhitung luar biasa. Koresponden BBC ini berhasil mengontak salah satu warga yang hidup di Raqqa. Samer (bukan nama sesungguhnya) adalah seorang mahasiswa berumur 24 tahun yang Raqqa. Samer berani mengambil resiko—dalam hal ini nyawanya—guna membeberkan kisahnya sebagai seorang yang terperangkap di Raqqa. Beberapa tahun lalu, Thomson menerima buku harian Samer lewat sebuah pesan yang terenkripsi yang sampai ke Thomson via negara ketiga. Catatan tersebut—diterjemahkan ke bahasa Inggris oleh Nader Ibrahim—menggambarkan dengan gamblang kondisi di Raqqa yang brutal dan membuat frustasi siapapun yang hidup di sana.

Ilustrasi yang menggambarkan puing-puing bangunan di Raqqa

Samer adalah bagian dari Al-Sharqiya 24, sebuah kolektif aktivis media. Samer ikut serta di awal-awal pemberontakan terhadap Bashar Al Assad. Raqqa, kota kelahirannya, akhirnya direbut oleh Tentara Pembebasan Suriah dan sebuah kelompok Islam ekstrem pada bulan Maret 2013. Tak lama kemudian, orang-orang asing—begitu Samer menyebutnya—yang membawa panji-panji ISIS mulai bermunculan di Raqqa dan mulai mengambil alih Raqqa. Samer bertahan di Raqqa lebih lama dari kawan-kawan moderatnya. Saat ini, Samer telah keluar dari kota itu dengan selamat. Buku yang memuat catatan harian Samer diedit oleh Thomson dan bakal diterbitkan oleh penerbur Penguin. Buku yang ditajuki The Raqqa Diaries: Escape from 'Islamic State',  membuat Samar jadi salah satu orang dicari ISIS.

Iklan

Saya menemui Thomson membahas lebih jauh nasib Samer serta bagaimana kehidupan warga sipil di Kota Raqqa, di bawah kekuasan militan ISIS.

VICE: Bagaimana awalnya kamu bisa mengontak Samer?
Mike Thomson: sebelum akhirnya berhasil mengontak Samer, aku menghabis banyak waktuku di media sosial, berusaha menemukan penduduk Raqqa yang mau bicara. Lalu, aku berhasil menghubungi sebuah grup aktivis terkenal di Raqqa, Raqqa Is Being Slaughtered Silently. Aku jelaskan bahwa aku mencari orang yang masih hidup di Raqqa. Sayangnya, semua orang yang mereka kenal sudah kabur dari Raqqa. Sampai akhirnya, aku diberi sebuah nomor whatsapp. Beberapa hari kemudian, aku menerima pesan singkat dari nomor itu "apa yang anda ingin lakukan?" begitulah aku akhirnya berkenalan dengan Samer.

Awalnya, kami merekam wawancara audio untuk sebuah siaran radio. Tapi Samer dan beberapa temannya menanggap itu terlalu beresiko. Tiap kali kami melakukan wawancara, mereka harus menyusun perangkat audio yang sangat merepotkan. Belum lagi, Samer dan kawan-kawannya harus super hati-hati agar tak terdeteksi oleh ISIS di Internet. Mereka juga was-was karena tersiar kabar bahwa ISIS punya teknologi untuk mengenali suara. Mereka tak tahu apakah desas-desus ini benar adanya. Tapi benar atau tidak, wajar-wajar saja kalau mereka khawatir. Tak lama kemudian Samer mulai mengirim catatan hariannya.

Apa yang diungkap oleh catatan harian Samer tentang kehidupan di bawah kekuasaan ISIS?
Dari awal aku menduga bakal banyak kekerasan, tapi aku tak menduga sedetail itu. Isi buku ini sangat mengejutkan bagiku. Semuanya ada dari mulai mengalihkan pandangan saat terjadi eksekusi di ruang publik hingga panjang celana yang dijadikan alasan untuk menghukum seseorang. Kebanyakan orang diam di dalam rumahnya dan tak banyak toko yang buka karena penerapan hukum syariah yang ketat. Meski begitu, masih ada humor di sana-sini. Dalam catatan hariannya, Samer berkelakar bahwa ia pernah mempertaruhkan nyawanya dengan nekat telat masuk kelas Syariah yang diselenggarakan ISIS cuma gara-gara disuruh cuci piring oleh ibunya. Menakjubkan bagaimana orang-orang seperti Samer bisa tabah hidup di Raqqa.

Iklan

Samer mempertaruhkan hidup menulis catatan hariannya. Apakah Samer menjelasakan kenapa dia merasa harus mengirimkannya padamu?
Aku ingat Samer bercerita tentang sebuah pembantaian pada 1982. Pasukan Hafez al Assad menghabisi 2.000 sampai 40.000 orang di kota Hamer, 200 km ke arah utara Ibu Kota Damaskus. Tak ada jurnalis yang menulis tentang pembantaian ini. Jumlah korban yang pasti tak bisa diketahui sampai sekarang. Cerita-cerita dari para penyintas pun tak banyak didengar orang. Samer tak mau nasib yang sama terjadi di Raqqa. Bagi Samer menulis catatan harian—yang kadang berisi gambaran mendetail penyaliban dan penyiksaan yang dia saksikan—perlu dilakukan agar semua yang tak terjadi tak menguap begitu saja. Samer juga bilang, menulis adalah kegiatan katarsis. "Kalau kamu punya kekhawatiran yang sangat besar, bukannya lebih baik kalau kamu membaginya dengan orang lain di dunia ini?" begitu kata Samer.

Bagaimana kamu memandang tanggung jawabmu pada Samer?
Ketika Samer pertama kali setuju mengirim buku hariannya, dia bilang "hidup saya di tangan anda." jadi jelas, aku harus sangat hati-hati ketika menyuntingnya agar identitas Samer tak bisa ditelusuri oleh ISIS. Tahun lalu, ada kalanya Samer tak mengabariku dalam beberapa minggu. Satu ketika, aku mendengar dua aktivis yang kabur Raqqa terbunuh di Turki. Samer waktu itu tak mengirim pesan selama dua minggu. Pun, aku tak tahu nama aktivis yang tewas di Turki. aku khawatir sekali waktu itu.

Apakah penduduk Raqqa mengetahui isi buku The Raqqa Diaries ?
Beberapa minggu lalu, aku sempat ngobrol dengan Samer. Dia mengabarkan bahwa beberapa bagian buku hariannya tersebar di internet dan populer di kalangan aktivis Raqqa. Sebagian buku harian itu sudah diterjemahkan ke bahasa Arab dan mengundang banyak reaksi. Bahkan, ISIS sampai harus mengeluarkan buku harian tandingan berjudul A Young Man from Raqqa. Isinya tentang betapa asiknya hidup di Raqqa di bawah uangan Khilafah Islamiyah.

Samer sudah berhasil meninggalkan Raqqa—kira-kira ke mana Samer pergi?
Dalam buku hariannya, Samer menceritakan betapa dia mencintai Raqqa. Samer ingin kembai ke Raqqa dan membangunnya kembali. Samer percaya bahwa nasib Suriah ada di tangan orang-orag seperti dirinya yang pernah mengecap bangku kuliah. Aku juga pernah bertanya apakah ia berencana mengunjungi benua Eropa. Dia bilang tidak. Samer sudah kenyang mendengar cerita tentang pengungsi yang diperlakukan tidak adil di Eropa. Lagipula, Samer tak mau meninggalkan keluarganya. Samer sebenarnya tak mau banyak berpikir tentang masa depan. Dia membenci rezim Assad sama seperti dia membenci ISIS. Dia khawatir Raqqa bakal jatuh ke dalam kekuasaan pasukan Assad setelah ISIS ditumbangkan. Kadang, Samer bertanya-tanya apakah semua yang dia lakukan ada manfaatnya. Dalam buku hariannya, Samer sempat ingin mengunjungi teman lamanya untuk meminta nasehat bagaimana dia harus menghadapi kondisi di Raqqa. "Bayangkan kamu berjalan di atas tali di antara dua gunung. Masa kini adalah permukaan tanah di bawahmu. Yang perlu kamu lakukan adalah berjalan lurus dan fokus pada gunung di depanmu. Jangan sekali-kali melihat ke bawah."   *Semua ilustrasi dimuat dengan seizin Penerbit Penguin

Buku The Raqqa Diaries: Escape from 'Islamic State' bisa dibeli di sini