FYI.

This story is over 5 years old.

pengungsi

Sesama Pengungsi Memproduksi Organ Buatan Bagi Korban Perang Suriah

Proyek printer 3D ini diinsiasi insinyur asal Palestina, yang berharap bisa menyediakan organ buatan murah untuk pelarian Suriah di Kamp Libanon.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE US.

Sejak masih remaja, Ibrahim Mohammad terbiasa turun tangan membantu distribusi makanan dan pakaian di awal munculnya Perang Saudara Suriah. Mohammad menjadi sukarelawan di wilayah Libanon yang kini menampung 360.000 pengungsi. Kebanyak pengungsi kehilangan kaki mereka karena bom, roket, dan tembakan artileri. Banyak juga yang sudah tak memiliki tangan. Bagi korban perang itu, mengakses kebutuhan dasar saja sudah susah, apalagi mendapatkan kaki dan tangan palsu atau teknologi canggih guna meringankan penderitaan.

Iklan

Saat membagikan beras pada para pengungsi, Mohammad bisa melihat langsung kondisi kehidupan para pangungsi yang berat. Dia bisa memahami keputusasaan mereka. Mohammad juga pengungsi. Dia anak keluarga pengungsi dari desa Beit' Anna, Palestina, yang tumbuh besar di sebuah tenda di luar Ibu kota Beirut, Libanon. Listrik tidak selalu tersedia di tempat tinggalnya. Kalau pengungsi ingin membaca setelah hari beranjak gelap, dia akan duduk di bawah lampu jalan. Hal lain yang sulit diperoleh adalah air bersih. Kini Mohammad bisa membawa perubahan besar bagi kamp yang dulu dia tinggali.

Mohammad sedang kuliah teknik mesin di University of Rochester, Amerika Serikat, bekerja di lab meneliti solusi grid pembangkit listrik skala besar. Mohammad tak akan bisa kuliah dan bekerja seperti seandainya dia tak menerima bantuan dari AMIDEAST, sebuah lembaga nirlaba asal Amerika Serikat yang membantu pengungsi dan pemuda dari kawasan Timur Tengah untuk mendapatkan beasiswa Amerika Serikat serta ikut dalam program pertukaran pelajar.

AMIDEAST adalag salah satu dari banyak organisasi yang kini menghadapi kendala setelah Donald Trump menandatangani dekrit melarang warga negara dari tujuh negara mayoritas muslim masuk AS. Meski Pengadilan Banding Federal Amerika Serikat telah menganulir bagian sebagian besar beleid tersebut, Trump mengaku sedang memikirkan cara lain untuk tetap melarang imigran muslim masuk ke negaranya. Termasuk di dalamnya merancang sebuah bentuk "aturan imigrasi baru."

Iklan

"Di luar ongkos awal membeli printer 3D, yang mencapai US$ 1.300 (setara Rp17,3 juta), biaya produksi per organ buatan hanya setara Rp667 ribu dengan bahan ramah lingkungan."

Kesempatan belajar di universitas riset nomor satu AS memberi Mohammad kemampuan memahami fungsi dan peran teknologi dalam kegiatan kemanusiaan. Sebagai mantan pengungsi, Mohammad paham sekali kebutuhan yang mendesak dan penderitaan yang sering dijumpai di kamp pengungsian. Dia juga mengerti hasrat besar yang kerap muncul untuk memenuhi kebutuhan ini.

Pengungsi Palestina sampai saat ini mencapai 10 persen dari keseluruhan populasi Libanon. Meski begitu, para pengungsi ini tak punya kewarganegaraan. "Orang palestina memandangku sebagai orang Libanon, begitu juga sebaliknya," kata Mohammad kala pertama kali kami bertemu. "Artinya aku tak punya kewarganegaraan." Pengungsi Palestina di Libanon juga tak punya hak politik dan sosial. Peluang ekonomi yang mereka miliki sangat terbatas—angka pengangguran di kamp pengungsian mencapai 90 persen. Ada 20 jenis profesi di Libanon yang tak boleh dilakoni pengungsi asal Palestina. Beberapa di antaranya adalah praktisi hukum, tenaga medis dan jurnalis. Mohammad sesama kecil harus bertahan hidup menjajakan narkoba, masuk milisi, dan berakhir di penjara. Kadang, bila Mohammad ikut membantu ayahnya berjualan jus jeruk, dia kerap dilecehkan oleh polisi. Mereka sering merampas pendapatan Mohammad setelah berdagang seharian di pinggir jalan. Alasan polisi, berjualan jus di pinggir jalan adalah pelanggaran hukum. Mohammad biasanya kena denda US$100 (sekitar Rp1.300.000). Saat disidang, Mohammad pernah nekat bertanya pada hakim, "apa sebaiknya saya mencuri sekalian? Saya cuma mau cari nafkah yang halal kok malah kena hukuman." Mohammad dinyatakan tak bersalah oleh hakim. Selama setahun itu, Mohammad dan ayahnya kena denda sebesar US$1000 (setara Rp13 juta) gara-gara alasan yang sama.

Iklan

Mohammad terus berharap ada pihak-pihak yang peduli pada pengungsi di Libanon. Sampai sekarang, harapan itu tak kunjung terpenuhi. Lambat laun, daripada marah pada dunia, Mohammad memutuskan melakukan kerja nyata membantu sesama. Dia menolak terserap dalam arus kebencian sektarian yang sempat muncul dari penduduk setempat kepada pengungsi. Dia juga menolak merasa minder hanya karena terusir dari kampung halaman. Mohammad akhirnya membuka jasa bengkel dan perbaikan elektronik dengan modal dan pengetahuan seadanya. Setiap hari, dia akan mengucapkan selamat pagi kepada orang yang datang ke bengkelnya. Rata-rata pelanggan Mohamad adalah warga asli Libanon. Ada satu orang meludahinya karena diberi salam. Pelanggan yang kasar ini rutin datang nyaris setiap hari. Mohammad tidak marah. Setiap hari, dia selalu diludahi karena berkukuh mengucapkan selamat pagi. Setelah satu bulan, si pelanggan tak lagi meludahinya. Enam minggu sesudahnya, sang pelanggan akhirnya membalas salamnya.

Hingga suatu hari, pengawas program AMIDEAST mengunjungi SMA-nya yang dikelola oleh UNRWA. Mohammad mendaftar program Hope Fund yang dijalankan AMIDEAST, yang memberinya kesempatan mengikuti pertukaran pelajar ke Amerika Serikat. Masa depannya pelan-pelan menjadi cerah setelah ada panggilan bahwa dia lolos tahap selanjutnya mengikuti program Hope Fund.

Awalnya, Mohammad tidak gembira saat ditelepon untuk wawancara. Dia berpikir sang ayah tidak akan mengizinkannya berangkat belajar ke luar negeri. Apalagi dia adalah tulang punggung keluarga. Siapa sangka, justru ayahnya yang sengaja libur hari itu untuk mengantarnya ke lokasi wawancara.

Iklan

Nancy Qubain, salah satu penggagas program Hope Fund, melihat potensi dalam diri Mohammad. Dia menyarankan Mohammad berangkat ke University of Rochester. Setibanya di AS pada hari pertama, dia terbengong-bengong melihat foto para mahasiswa saling lempar balon isi air di situs kampus. "Saya terkejut melihat ada orang saling lempar dan berbahagia. Hal itu tidak pernah terjadi di kamp pengungsi," ujarnya. Dari situs kampus, dia pun memperoleh informasi mengenai laser omega di laboratorium. Ternyata teknologi di kampusnya hanya kalah dari Berkeley. Mohammad juga tersentuh saat mengetahui motto kampus meliora artinya adalah "menjadi lebih baik." Sebagai manusia yang selalu ingin membantu orang lain, motto dari bahasa latin itu menginspirasinya.

Ibrahim saat berada di lab. Foto dari arsip pribadi Ibrahim Mohammad

Mohammad baru pertama kali ke luar negeri pada saat menginjakkan kaki di AS. Hidup di negeri orang sempat membuatnya minder. Kawan-kawannya berasal dari latar belakang sosial berbeda-beda. "Sulit untuk menjalin hubungan dengan orang lain yang tidak pernah pusing soal hendak makan apa hari ini," ujarnya. Lambat laun, Mohammad mulai membuka diri soal statusnya sebagai pengungsi. Dia pun mulai memiliki sobat di kampus. Dia menyadari, ternyata agar bisa berteman yang tulus, kita tidak perlu pusing oleh latar belakang seseorang.

Saat kami mewawancarainya, Mohammad baru saja tiba di laboratorium kampus. Kuliahnya kini sudah sampai tingkat akhir. Dia memperoleh dosen pembimbing Douglas Kelley, guru besar bidang dinamika cairan. Kelley mengajari Mohammad banyak hal, terutama tentang teknologi baterai cair. "Teknologi ini, jika berhasil dikembangkan, bisa memasok listrik satu kota secara mudah dan murah," ujarnya. "Di masa mendatang, baterai cair akan menjadi ujung tombak energi terbarukan."

Iklan

Selama di kampus, Mohammad pernah terlibat program relawan Insinyur Tanpa Batas (Engineers Without Borders). Dia dikirim ke Republik Dominika untuk membangun teknologi air untuk warga miskin. Di sanalah dia bertemu Omar Soufan, sesama mahasiswa imigran yang keluarganya masih terjebak di Suriah. Status sebagai sesama anak pengungsi membuat keduanya segera akrab. Mohammad dan Soufan lalu memutuskan bekerja sama memanfaatkan pendidikan mereka di bidang teknik untuk membantu keluarga dan sanak famili di kamp pengungsi.

Mohammad tidak ingin berlama-lama di AS. Dia ingin segera mengamalkan ilmunya membantu para pengungsi. Dia selalu teringat pada kawan-kawan masa kecilnya yang tewas ataupun dipenjara. "Jika kalian mengirim seorang pengungsi belajar di universitas di AS, apalagi yang kalian harapkan? Mereka pasti ingin segera pulang membantu sesamanya," kata Mohammad.

Soufan lalu menghubungi pamannya yang bekerja di lembaga Syrian-American Medical Society. Dari sana mereka terhubung dengan relawan di Desa Majdal Anjar, kawasan Lembah Bekaa. Letaknya di antara Beirut dan Damaskus. Mohammad dan Soufan lantas berkomunikasi dengan Kantor Bantuan Kemanusiaan Suriah (SMRO), meminta izin untuk membuat proyek kemanusiaan berbasis teknologi. Mereka berdua bertanya pada petugas, bantuan apa yang paling mendesak dan diperlukan tenaga medis di Suriah.

Dari situlah, kedua mahasiswa ini kemudian memperoleh informasi jika SMRO kekurangan organ buatan, entah itu tangan ataupun kaki palsu. Mohammad awalnya sama sekali tidak memahami cara membuat kaki palsu. Lama-lama, prinsip dasar pembuatannya segera dipahami mereka berdua. Datang tantangan lain. Ongkos membuat organ buatan ternyata sangat mahal. Satu tangan palsu bisa mencapai di atas Rp10 juta. Mengingat korban perang di Suriah yang butuh organ buatan akibat amputasi bisa mencapai ratusan orang, mempertahankan harga normal jelas bukan keputusan masuk akal.

Iklan

Mohammad lantas menghubungi Kelley, dosen pembimbingnya, membicarakan persoalan ini. Kelley menghubungi John Schull, seorang pakar ortopedi melalui sistem pencetakan 3D, yang dikenalnya karena sama-sama hobi bersepeda. Dari Schull, Mohammad memperoleh informasi jika printer 3D bisa menjadi solusi yang sangat murah untuk memproduksi organ buatan. Schull pula yang menghubungkan Mohammad pada e-NABLE, jaringan organisasi global yang membantu pakar ortopedi di manapun untuk belajar membuat organ buatan berbahan plastik jenis acrylonitrile butadiene styrene (ABS). Ongkos pembuatan per organ bisa ditekan menjadi hanya Rp667 ribu saja, dengan bahan baku yang dapat didaur ulang.

Setelah merasa bekal mereka lengkap, Mohammad dan Soufan segera mengaplikasikan teknologi tersebut di klinik Desa Majdal Anjar. Perusahaan 3D LifePrints tertarik mendengar proyek kemanusiaan keduanya, segera menghibahkan satu mesin cetak tiga dimensi dengan teknologi terbaru. Mesin ini dapat menghasilkan produk tanpa mengandalkan plastik keras. Hasilnya adalah organ buatan yang bisa dimelarkan, bahan bakunya kerap disebut flexibel filament alias flexi-fil.

Uji coba tangan buatan hasil cetak 3D. Foto dari arsip pribadi Ibrahim Mohammad.

Setelah kerja sama dengan SMRO resmi berlangsung, Soufan dan Mohammad menggalang dana di AS. Mereka memperoleh modal awal US$ 7.000 untuk melengkapi pendirian laboratorium produksi organ buatan di klinik tersebut. Tujuan akhir penggalangan dana ini adalah membeli setidaknya tiga mesin cetak 3D dan memperoleh pasokan flexi-fil sebanyak-banyak, agar banyak pengungsi ataupun korban perang di Timur Tengah yang bisa memperoleh organ buatan berharga terjangkau.

Tak hanya itu, Mohammad dan Soufan juga menemukan ide baru untuk merawat pasien yang diamputasi dari jarak jauh. Banyak korban perang kehilangan harta benda, sehingga mustahil datang ke klinik SMRO untuk memeriksakan kondisinya. Karenanya, mereka berdua membuat scanner 3D dan printer ini agar muat di dalam mobil van. Mobil itu akan berkeliling ke daerah kantong-kantong pengungsi, mencari pasien yang butuh layanan ortopedi atau organ buatan.

Setelah program di Suriah ini mulai berjalan dan berkelanjutan, Mohammad tidak ingin berhenti. Dia mengincar lokasi-lokasi baru untuk melebarkan sayap. Mulai dari Haiti, Kenya, serta Libanon, tempatnya tumbuh besar sebagai pengungsi. Tak hanya menyediakan organ buatan, dia juga ingin menerapkan ilmunya mengenai kelistrikan membantuk kamp-kamp pengungsi di seluruh dunia. Mohammad yakin, jika diberi kesempatan dan bantuan kecil, misalnya lampu yang sanggup menyala 24 jam ataupun tangan buatan, anak-anak pengungsi itu akan menemukan harapan seperti dirinya dulu. Dari sana, mereka akan tergerak membantu sesamanya dan mengentaskan nasib sesama pengungsi.

Mohammad akan lulus kuliah Mei 2017. Dia berharap perjuangannya bisa menginspirasi anak pengungsi lainnya agar tidak patah arang dengan kesulitan hidup. Sementara di AS, kebijakan presiden baru tidak ramah dengan pengungsi. Mohammad belum tahu apakah dia akan tetap bertahan di Negeri Paman Sam untuk sementara waktu. Namun yang lebih dia pedulikan adalah menghasikan perubahan-perubahan kecil yang positif. Kemungkinan di tengah ketidakmungkinan. "Satu-satunya hal yang paling berharga yang bisa kalian berikan untuk orang lain adalah harapan."

Follow Zaina Arafat di Twitter.