FYI.

This story is over 5 years old.

Bolos Kerja

Sistem Sosial Melestarikan Harpitnas di Indonesia

Mencari 1001 jalan agar bisa libur saat 'Hari Kejepit Nasional' menjadi obsesi banyak orang di negara ini. Kami mencari akar penyebabnya.
Sumber gambar: jakarta.go.id

Ritual klise itu selalu terulang pada Hari Kejepit Nasional. Pelaksana Tugas Gubernur DKI Jakarta Soni Sumarsono menggelar inspeksi mendadak) di Blok G Balai Kota DKI Jakarta pada Senin (27/3) lalu, dan menemukan tiga kursi kosong. Pada PNS yang ketahuan membolos, Sumarsono mengancam memberikan peringatan tertulis dan memotong jatah Tunjangan Kinerja Daerah. Setiap kali terjadi harpitnas, pakemnya bagaikan Tom & Jerry. Para pegawai mencari 1001 cara agar bisa meliburkan diri, termasuk mengajukan cuti resmi sejak jauh-jauh hari. Sementara pemerintah atau perusahaan bersiasat agar para pegawai tidak membolos.

Iklan

Harpitnas tentu konsep yang asing di negara lain. Tradisi ini adalah kearifan lokal Indonesia. Bagi banyak orang di negara ini tidak ada yang lebih menyedihkan ketika hari Senin menjadi  "Hari Kejepit Nasional", tapi kantor kalian tidak memberi kesempatan libur lebih panjang.

Istilah "Hari Kejepit" selalu mencuat di sosmed maupun percakapan antar pegawai, ketika ada satu atau dua hari kerja yang terletak di antara dua libur nasional. Situasi ini memicu banyak alasan para pegawai untuk bolos bekerja, kalau perlu memakai alasan paling tak masuk akal sekalipun.

Indonesia sebetulnya 'cuma' punya 15 hari libur nasional, tidak sebanyak India atau Cina). Hanya saja, kalau sudah masuk urusan menghitung hari kejepit dan mencari jatah libur dalam setahun), rasanya orang Indonesia termasuk dalam garda terdepan dan paling canggih.Salah satu Hari kejepit favorit di Indonesia adalah hari sesudah Libur Kenaikan Isa Almasih yang selalu jatuh di hari Kamis. Hari Jumatnya akan jadi "Hari Membolos Nasional" bagi sebagian kalangan. Demikian pula yang terjadi kemarin, sehari sebelum Hari Raya Nyepi.

Fakhri Zakaria, Pegawai Negeri Sipil (PNS) di sebuah lembaga riset pemerintah, mengaku pernah memanfaatkan harpitnas dengan cara bolos. Dia melakukannya saat itu lebih karena kesempatan, bukan merancang jauh-jauh hari.

"Waktu itu memang enggak sengaja karena disuruh anterin orangtua pulang kampung ke Muntilan karena nenek saya waktu itu masuk Rumah Sakit, tapi kok sayang kalau alasan ini enggak dimanfaatkan semaksimal mungkin untuk kemaslahatan saya," kata Fakhri. "Jadi extend aja ngepasin hari kejepit".

Iklan

Tapi untuk urusan merancang liburan dan memanfaatkan jatah cuti dalam satu tahun, Fakhri mengaku sudah bersiap sejak jauh-jauh hari. Dia misalnya sudah tahu kapan saja celah-celah bolos potensial terutama di awal tahun ketika musim liburan. Kadang, tentu saja, keputusannya bolos mengundang masalah. "Kebetulan saya pernah dipanggil atasan karena beberapa kali absen kayak sakit, izin, sama pas mood males kerja. Waktu ditanya saya jawab aja jujur memang sengaja bolos, kalo mau dipotong gaji ya enggak apa-apa diterima sebagai konsekuensi," ungkap Fakhri.

Pengguna Twitter dengan akun @jimin_andri punya alasan lain meliburkan diri saat harpitnas penting bagi para pekerja. Dia mengapresiasi mereka yang telah menyiapkan diri jauh-jauh hari mencari alasan libur. "Fakta: Orang yang ambil cuti saat harpitnas adalah orang-orang yang cerdik, karena ternyata masuk-libur-masuk-libur merusak mood kerja & mood liburan!"

Sosiolog Nia Elvina berpendapat fenomena karyawan mencari alasan bolos saat harpitnas erat kaitannya dengan sistem masyarakat Indonesia yang masih dipengaruhi feodalisme dan senioritas. Tidak ada dorongan berprestasi di tempat kerja, serta kesadaran bersikap lebih disiplin, karena kenaikan pangkat kadang dipengaruhi kedekatan kita dengan atasan. "Kemauan untuk berprestasi orang Indonesia masih rendah. Hal ini disebabkan oleh institusi yang berkembang di Indonesia ini sebagian besar masih bersifat feodalistik sehingga memicu orang untuk enggan berprestasi," kata Nia Elvina. "Untuk mengatasinya pemerintah harus merubah sistem tadi; yang sebelumnya nilainya bersifat feodalistik ke sistem yang benar-benar berdasarkan nilai prestasi."

Saat harpitnas atau akhir cuti bersama, pemda-pemda seakan wajib menggelar pemeriksaan disiplin pegawai. Pada harpitnas tempo hari, Banten, Jambi, atau Tasikmalaya termasuk dalam deretan pemda yang menggelar sidak.

Menurut Nia, ritual tahunan pejabat pemerintah menggelar sidak sebetulnya mubazir. Sidak dianggap bukan tindakan yang tepat mengatasi kebiasaan rutin ini yang menyebabkan stagnansi di berbagai institusi di Indonesia. "Kalau sidak untuk mengurangi kebiasaan 'bolos bersama' hari libur terjepit, saya kira kurang tepat, karena bukan pada sumber masalahnya," kata Nia.

Keberadaan orang-orang yang terobsesi pada harpitnas diyakini akan hilang jika semua sistem kerja menjunjung tinggi prestasi individu atau merit system. Misalnya pegawai yang rajin memperoleh tunjangan atau insentif libur lebih besar dibanding karyawan berperforma biasa-biasa saja. Adapun Nia merasa baik sektor pemerintah maupun swasta sama-sama belum mengedepankan merit system di Indonesia.

"Pelayanan kepada masyarakat bukan menjadi prioritas mereka yang kerja di institusi pemerintah, sedangkan yang di institusi swasta nilai yang berkembang hanya sekedar memenuhi kebutuhan ekonomi saja, bukan pencapaian visi perusahaan," ujarnya.