FYI.

This story is over 5 years old.

Culture

Mendatangi 'Ruang Kemarahan': Anda Bebas Menghancurkan Apapun di Dalamnya untuk Meredakan Stres

Ruangan berisi menyediakan bermacam senjata, serta barang-barang yang siap dihancurkan sedang menjamur menjadi bisnis hiburan global. Kemenangan Donald Trump memicu banyak orang mendatangi 'rage room'.

Foto digunakan seizin penulis.

Artikel ini pertama kali tayang di Broadly.

Selagi kita menanti datangnya kiamat, "ruang kemarahan" (rage room) menyediakan senjata plus barang-barang yang boleh dihancurkan selama durasi tertentu bagi pengunjungnya. Bisnis semacam ini mulai menjamur menjadi fenomena global.

Di sebuah ruangan berdinding semen polos tanpa cat, laki-laki dan perempuan berpakaian ala montir, masing-masing memegang pentungan logam atau kayu. Sepanjang 30 menit, mereka bersenang-senang secara cermerlang: memecahkan belasan botol sampanye, atau meremukkan keyboard serta layar komputer sepuasnya.

Kami mendatangi Break Club, Ibu Kota Buenos Aires, Argentina. Pelanggaran ruang kemarahan wajib membayar karcis masuk sebelum menghancurkan obyek-obyek yang telah dipilih sebelumnya. Ongkos menghancurkan satu monitor komputer dan 15 botol kosong, termasuk paket termurah, senilai US$ 565 (setara Rp 7,6 juta). Bisnis macam ini menawarkan sebentuk metode pelepasan stres menghibur.

Iklan

Hiburan berkonsep ruang kemarahan pertama kali buka di Jepang, pada 2008. Sejak saat itu, rage room menjadi fenomena global. Saat ini konsep menyerupai rage room mudah ditemukan di Australia, Italia, serta di berbagai pelosok Amerika Serikat.

Evelyn Botto, pengunjung tetap Break Club di Buenos Aires berusia 25 tahun, datang bersama kawan lelakinya. Dia mengaku selalu memperoleh pengalaman "menyenangkan" setelah merampungan satu sesi penghancuran barang di Break Club. Evelyn sengaja memilih Metallica sebagai musik pengiring di ruangan selama dia menghancurkan benda-benda. "Setelah masuk ruangan anda tak akan peduli dengan masalah di sekitarmu, apalagi yang dihancurkan cuma sebuah botol. Musiknya memacu semangatku merusak barang naik drastis," ujarnya. Kegembiraan terpancar jelas cara Evelyn bercerita.

Apa yang dialami Evelyn dialami banyak orang di dunia. Pemicu orang menyukai fasilitas rage room sebetulnya beragam. Mulai dari konflik dengan teman, stres akibat pekerjaan, hingga masalah keluarga. Sedangkan merujuk keterangan pemilik rage room di AS, ada pemicu baru yang membuat pengunjung rage room bertambah drastis, yakni isu politik. Bagi banyak orang, pemilihan presiden Amerika Serikat 2016 lalu adalah masa-masa paling menggelisahkan. Sampai muncul julukan baru untuk jenis stres gara-gara pemilu: Election Stress Disorder.

"Ini adalah tahun politik yang bikin gila. Tingkat stresnya lebih tinggi," kata Russell Chastain, pemilik The Smash Shack di Jacksonville, North Carolina. Klien The Smash Shack datang dari berbagai negara bagian AS. Sebagian pengunjung merupakan personel pangkalan militer setempat. Menjelang pilpres AS, Chastain menyediakan khusus stiker gambar wajah Hillary dan Trump untuk para pelanggan. Stiker-stiker ini bisa ditempel piring dan botol yang akan dihancurkan para pelanggan Chastain untuk mengusir penat.

Iklan

Stress akibat pilpres AS menjalar sampai Buenos Aires, kota yang terletak 8.000 kilometer dari Washington D.C. Para pelanggan Break Club di Argentina menyebut Trump sebagai biang beban pemikiran mereka. Evelyn, sambil berkelakar, mengatakan seandainya botol yang dia hancurkan bergambar Trump, strenya bakal cepat hilang. Bagi Evelyn, Trump adalah musuh semua umat manusia.

Trump memang bukan idola banyak orang di Argentina. Persepsi publik Negeri Tango terhadap Trump sangat rendah. Survei menunjukkan bahwa hanya 6 persen penduduk Argentina akan memilihnya jika mereka punya hak suara.

Di Jepang, Venting Place—rage room paling populer—muncul sebagai sebuah respon terhadap resesi yang dialami negara itu. Resesi membuat nasib kelas pekerja di Negeri Matahari Terbit berada di ujung tanduk. Sementara itu, di Buenos Aires, pengunjung punya alasan berbeda untuk datang menghancurkan barang. Ada yang ingin mengobati kesedihan karena ditinggal kekasih; ada yang datang menjelang ujian kuliah. Bahkan, ada juga yang datang untuk berkencan atau bersama romboangan outing dari kantor.

Penelitian menunjukkan bahwa laki-laki dan wanita punya cara berbeda menghadapi stres. Menurut kajian American Psychological Association, pria lebih sering melakukan kegiatan fisik sebagai pelampiasan stres. Perempuan, sebaliknya, melepas stres dengan curhat kepada teman terdekatnya.

Uniknya, menurut keterangan operator rage room, pelanggan mereka kebantakan wanita. Chastain, pemilik The Smash Shack, punya teori sendiri untuk menjelaskan mengapa lebih banyak wanita menjajal layanan rage room yang dia kelola. Dia menduga laki-laki di Jacksonville—apalagi mereka yang tinggal di pangkalan militer—sudah punya alternatif kegiatan menghilangkan stres lewat kegiatan fisik seperti ikut kelas-kelas bela diri. Sementara, di sisi lain, "ibu rumah tangga dan perempuan muda tak punya kanal yang sama untuk mengusir penat."

Iklan

Pastinya ada alasan yang lebih kuat yang memicu wanita di Jacksonville gemar mendatangi rage room. Sebuah penelitian mutakhir menunjukkan rentannya wanita disorot negatif jikamenunjukan amarah di ruang publik. Karenanya, rage room sangat menarik bagi kalangan perempuan: layanan ini menyediakan kesempatan bagi kaum hawa mengeluarkan amarah, sesuatu yang dianggap tabu oleh masyarakat.

Tentu saja, manfaat rage room masih dalam perdebatan. Psikolog Sandra Thomas, yang meneliti amarah pada wanita, menyatakan metode melepaskan penat dengan berteriak atau menghancurkan barang justru bisa memicu munculnya lebih banyak amarah di masa mendatang. Saat saya hubungi melalui email, Sandra lebih menganjurkan kegiatan fisik dan prosedur relaksasi lainnya sebagai untuk menghilangkan stres.

Sementara itu, Ramani Durvasala, pakar meredakan kemarahan, saat diwawancarai How Stuff Works menjelaskan konsep rage room bisa punya manfaat positif bagi mereka yang terbiasa menata emosinya dengan baik. Pemilik Break Club, Guido Dodero, menambahkan bahwa beberapa pelanggannya justru dianjurkan datang ke Break Club oleh psikolog sebagai bentuk terapi.

Satu sesi di Break Club berlangsung selama 20-30 menit. Ketika durasi habis, tak ada bel yang meminta pelanggan bergegas. Durasi yang diberikan bisa dimanfaatkan pelanggan mengamuk, sampai semua amarahnya keluar.

Bagi Evelyn, awalnya pengalaman berkunjung di Break Club terasa canggung. Dia butuh berapa saat sampai benar-benar merasa nyaman. Sekarang Evelyn sangat menikmati aktivitas menghancur barang-barang. "Dulu saya sering menjatuhkan dan memecahkan botol. Di sini, untuk pertama kalinya, saya melakukannya secara sengaja. Rasanya sangat berbeda," ujarnya.

"Saya tak pernah merasa sebebas ini," imbuh Evelyn.