FYI.

This story is over 5 years old.

Berita

Obama Jadi Presiden AS Terbanyak Menjual Senjata Sejak Perang Dunia II

Penjualan senjata dan alutsista berat ke negara-negara sekutu menjadi alat diplomasi selama kepemimpinan Obama. Donald Trump diyakini akan meneruskan tren ini.
Jet buatan Lockheed Martin. Foto oleh Jonathan Case

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard.

Presiden Barack Obama, sang pemenang Nobel Perdamaian 2009, sesudah lengser terancam menyandang status sebagai presiden AS paling banyak menjual senjata dan alutsista ke luar negeri sejak Perang Dunia ke-II. Obama hanya bisa berharap Donald Trump, penggantinya, menjual lebih banyak senjata lagi ketika menjabat. Pengamat isu pertahanan memperkirakan bisnis senjata buatan AS akan lebih massif di era Trump.

Iklan

Selama Obama menjabat pada kurun 2008-2015, transaksi penjualan senjata mencapai nilai US$ 200 miliar (setara Rp2.693 triliun). Angka ini sangat fantastis. Sebagai perbandingan, Rancangan APBN Indonesia 2017 nilainya 'hanya' Rp2.070 triliun.

Berdasarkan laporan kongres akhir tahun lalu, mayoritas alutsista Negeri Paman Sam itu dijual ke negara-negara Timur Tengah. Laporan oleh para senator lintas partai ini menjabarkan jenis-jenis senjata yang dijual, mencakup misil anti-pesawat, tank, dan jet tempur supersonik.

Kongres menemukan fakta bahwa negara paling banyak membeli persenjataan AS selama delapan tahun terakhir adalah Arab Saudi. Nilainya mencapai US$94 miliar (setara Rp1.265 triliun). Selama pemerintahan Obama, anggaran pelatihan serta ongkos pengiriman alutsista ke Arab Saudi pun melambung hingga US$115 miliar.

Arab Saudi menjadi mitra utama AS dalam geopolitik Timur Tengah. Negeri Petro Dollar itu menjadi pemimpin koalisi Arab menghadapi konflik di kawasan, misalnya saja pertempuran membantu presiden Yaman melawan pemberontak Houthi yang merebut Ibu Kota Sana'a pada 2014 lalu. AS memberi bantuan besar sekali untuk menyokong operasi militer Saudi. Perang di Yaman, yang masih belum berakhir, telah menyebabkan lebih dari 10 ribu warga sipil tewas, 2,2 juta orang terpaksa mengungsi, serta memicu kelaparan setengah juta anak-anak di pengungsian.

Belum lama ini, pemerintah AS menunda penjualan peluru kendali ke Saudi untuk mengurangi jumlah korban tewas konflik Yaman. Para pengamat kurang yakin kebijakan AS ini akan mengubah pendekatan Saudi yang terlanjur agresif menghadapi beberapa front pertempuran di Timur Tengah.

Iklan

"Jujur saja, kalaupun penundaan ini dimaksudkan sebagai 'hukuman' dari AS agar Saudi tidak menyerang warga sipil, dampaknya sangat minim dan lebih bersifat simbolik," kata Cole Bockenfeld, Wakil Direktur Kebijakan Lembaga Project on Middle East Democracy.

Bockenfeld menunjukkan contoh penundaan sebagian penjualan alutsista AS kepada Mesir tiga tahun lalu. Obama, menurutnya, setengah hati menghukum rezim pemerintah yang menjadi sekutu AS ketika melakukan pelanggaran HAM. Mesir adalah negara paling banyak membeli persenjataan dari AS khusus untuk 2015, nilainya mencapai US$5,3 miliar.

"Meningkatkan penjualan senjata telah menjadi bagian dari diplomasi resmi pemerintah AS."

Pangsa pasar penjualan senjata dan alutsista dunia tahun lalu, sebesar US$80 miliar, sebetulnya menurun dibanding 2014 yang mencapai US$89 miliar. Kendati demikian, AS masih menjadi negara nomor satu pengekspor senjata ke seluruh dunia.

"Kalaupun ada yang berubah selama era Obama dalam hal penjualan senjata dan alutsista adalah sifatnya yang kini menjadi alat diplomasi," kata Blockenfeld. "Meningkatkan penjualan senjata telah menjadi bagian dari diplomasi resmi pemerintah AS."

Blockenfeld menyatakan banyak diplomat Negeri Paman Sam yang beralih fungsi sebagai 'marketing' industri persenjataan di masing-masing negara.

Rusia menguntit di belakang AS sebagia negara yang banyak mengekspor senjata tahun lalu. Negeri Beruang Merah menguasai 20 persen pangsa pasar alutsista dunia. Negara paling banyak membeli persenjataan Rusia selama tujuh tahun terakhir adalah India serta Venezuela.

Di bawah kepemimpinan Presiden Vladimir Putin, Rusia terlibat aktif dalam konflik Timur Tengah. Rusia mengirim armada serta memberi bantuan persenjataan untuk sekutunya, rezim Bashar al-Assad di Suriah. Koalisi Suriah-Rusia berhasil merebut kembali kota Aleppo dari tangan pemberontak Sunni yang didukung oleh dana Saudi dan Qatar. Dilaporkan, Rusia memberi sokongan senjata jenis TOS1A dan BETAB-500 yang efeknya serupa bom napalm dalam operasi perebutan kembali kawasan timur Aleppo, memicu jatuhnya korban warga sipil.

Arab Saudi, sebagai sekutu AS, terlibat perang proxy tidak hanya di Yaman, namun juga Suriah. Tidak ada tanda-tanda negara besar Timur Tengah, seperti Saudi dan Iran, melakukan demiliterisasi. Qatar, yang kurang terlibat mendalam dalam konflik-konflik itu, sudah membeli alutsista senilai US$17 miliar pada AS tahun lalu. Qatar mengklaim siap terlibat aktif di Yaman dan Suriah, untuk mendukung pemberontak, dengan atau tanpa dukungan Presiden Terpilih AS Donald Trump.

Beberapa waktu lalu lewat akun Twitter-nya, Trump mengkritik Pentagon karena dianggap 'jor-joran' membeli  jet tempur F-35 senilai US$ 400 miliar dari perusahaan Lockheed Martin. Blockenfeld yakin kritikan Trump itu hanya gertak sambal.

"Saya justru yakin jumlah penjualan senjata akan meningkat sepanjang era kepemimpinan Trump," ujarnya. "Pemerintahan baru ini akan tetap memandang penjualan senjata sebagai alat diplomasi paling taktis."