Hadirnya Klub Sepakbola Rohingya FC Sebagai Sikap Politik Pada Dunia
RFC berlatih di Kuala Lumpur. Semua foto oleh RJ Voigt.

FYI.

This story is over 5 years old.

Sepakbola

Hadirnya Klub Sepakbola Rohingya FC Sebagai Sikap Politik Pada Dunia

Etnis Rohingya di Myanmar ditindas di negaranya sendiri, serta diabaikan komunitas internasional. Pengungsi Rohingya di Malaysia membentuk 'timnas' untuk bangkit dari keterpurukan.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports. 

Kalian bisa menyaksikan Menara Petronas, Ikon Kuala Lumpur menjulang tinggi di kejauhan, dari pinggir lapangan sepakbola alakadarnya yang menjadi markas Rohingya Football Club (RFC).

Duduk di bawah bendera RFC hasil jahitan tangan itu, para laki-laki Rohingya—kebanyakan dari mereka pengungsi dari Negara Bagian Rakhine di Myanmar yang terpaksa lari ke Malaysia akibat kerusuhan rasial pada 2012—menonton anak-anak atau saudara mereka bermain sepakbola dari balik pagar kawat pinggir lapangan.

Iklan

Mohammed Faruk, striker RFC dan juru bicara tidak resmi klub, mengatakan timnya dibentuk dengan semangat awal sebagai tim "nasional". Klub ini berupaya merepresentasikan ratusan ribu warga Rohingya yang masih tinggal di dalam kondisi mengenaskan di Myanmar, sekaligus ratusan ribu diaspora Rohingya lainnya yang eksis di berbagai negara karena menghindari penindasan serta pembunuhan. Orang Rohingya tersebar di Amerika Serikat,  Arab Saudi, hingga Malaysia. Faruk turut mendirikan RFC awal 2015 sebagai cara untuk memperkuat identitas dan harkat etnis teraniaya itu lewat dunia olahraga.

Tak lama setelah latihan dimulai, dia mengenakan seragam Rohingya FC berwarna pink, namanya terpacak di punggung. Faruk bergegas masuk ke lapangan. Dia asyik bermain selama sekitar satu jam, sebelum kemudian memilih rehat.

Setelah latihan usai, Faruk menceritakan keinginannya bermain membawa panji RFC melawan tim nasional Myanmar. Dia tersenyum saat menceritakan cita-citanya itu. Bahkan baginya, impian melawan timnas Myanmar adalah ide gila, tapi bukannya mustahil.

"Kalau mereka mau bertanding melawan kami, kami bersedia," katanya mengacu kepada Myanmar, negara tanah airnya yang secara resmi menolak mengakui etnis Rohingya dan diduga berniat menghapuskan etnis minoritas itu dari Negara Bagian Rakhine. "Kami tidak agresif, kami bukan teroris. Kami ramah. Kami ingin kedamaian."

Faruk dan kawan-kawan secara sadar menamai tim sepakbola mereka "Rohingya FC" sebagai pernyataan politik. Tujuannya agar dunia tidak melupakan nestapa etnis minoritas muslim minoritas yang tinggal di tengah penduduk mayoritas Myanmar beragama Buddha Myanmar. Lalu, mungkinkah klub amatir ini bisa bertanding melawan tim nasional Myanmar seperti diharapkan Faruk? Apakah mungkin ada pertempuran simbolis di lapangan hijau setelah sekian tahun orang-orang muslim dari Negara Bagian Rakhine ditindas aparat Myanmar?  "Sepertinya tidak mungkin," kata U Ye Naing Win, jurnalis Myanmar yang khusus meliput berita sepakbola sejak 2010. "Pemakaian nama Rohingya itu sangat sensitif."

Iklan

Media lokal Myanmar sampai sekarang menolak mencetak kata tersebut di koran, radio, serta menyensornya dari pemberitaan online maupun televisi. Pemerintah Myanmar menuding kaum Rohingya sebagai imigran ilegal asal Bangladesh. Mereka tidak diakui sebagai warga negara. Faktanya bukti antropologis menunjukkan orang Rohingya sudah tinggal di Rakhine, sejak abad tujuh masehi. Ketika junta militer menguasai Myanmar di 1962, bekas negara jajahan Inggris tersebut segera mencabut hak pilih bagi warga etnis Rohingya. Pada 1982, Hukum Nasional Burma yang dirancang Jenderal Ne Win menyatakan secara resmi orang Rohingya "bukan warga negara." Beberapa dekade kemudian, keputusan ini memicu rangkaian kerusuhan dan pembantaian yang oleh Human Rights Watch disebut sebagai "kejahatan kemanusian dan mengarah pada upaya pembersihan etnis". Pakar independen lainnya menyebut tragedi di Rakhine itu genosida sistematis.

Mohammed Faruk, Juru bicara tak resmi RFC sekaligus penyerang utama mereka. Semua foto oleh penulis.

Biarpun sejak tahun lalu Myanmar berusaha melakukan transisi demokratisasi dari rezim junta militer, nasib warga Rohingya tidak kunjung membaik. Faruk dan banyak teman-temannya kabur dari Myanmar menggunakan kapal setelah kekerasan anti-Muslim terjadi di sana awal 2012. Komisi Tinggi PBB untuk Pengungsi memperkirakan lebih dari 86.000 orang Rohingya melarikan diri dari Myanmar dalam jangka waktu dua tahun setelah kerusuhan pecah pada 2012. Selanjutnya, eksodus kembali terjadi. Dilaporkan lebih dari 74.000 kaum Rohingya melintasi perbatasan menuju Bangladesh sejak Oktober 2016 untuk mencari perlindungan. Mereka terpaksa lari ketika militer Myanmar menjalankan operasi "anti-pemberontak" sebagai bentuk balas dendam terhadap serangan militan di Rakhine, yang disebut-sebut didalangi penganut Islam radikal. Desa-desa warga Rohingya dibumihanguskan. Telah terkumpul ratusan kesaksian dari pengungsi mengatakan adanya tindak kekerasan dan pemerkosaan terhadap perempuan Rohingya. Setengah dari pengungsi yang diwawancarai menyatakan anggota keluarga mereka terbunuh dalam operasi militer yang dibantu warga setempat itu.

Iklan

Maret 2017, Dewan Hak Asasi Manusia PBB mengeluarkan resolusi untuk mendesak investigasi independen terhadap kasus-kasus penyiksaan operasi militer tersebut. Desakan PBB ditolak oleh pemerintah Myanmar. Aung San Suu Kyi, pemimpin baru pemerintah demokratis Myanmar, pemenang Nobel Perdamaian sekaligus ikon HAM, tidak berani mengkritik perlakuan militer Myanmar pada etnis Rohingya.

"Saat ini, tidak ada kabar yang positif dari kekerasan yang menimpa kaum Rohingya di Myanmar. Belum ada tanda-tanda komunitas internasional berusaha mengupayakan perlindungan bagi etnis minoritas itu di Myanmar," tulis David Simon, Direktur Genocide Studies Program di MacMillan Center Universitas Yale awal tahun ini.

Kembali ke lapangan sepakbola RFC di Malaysia. Seorang pemain bernama Abdullah mengenakan kacamata Ray-Ban palsu sambil mengunyah kacang di pinggir lapangan. Dia mengaku berhasil melarikan diri dari Myanmar menggunakan kapal yang disediakan penyelundup akhir 2012. Dia sempat berpindah-pindah lokasi. Awalnya dia mengungsi di Teluk Bengal selama empat bulan, kemudian berlanjut ke Thailand, mampir sejenak di India, kembali ke Thailand, dan akhirnya terdampar di Malaysia. Hingga saat ini dia masih belum memperoleh status pengungsi resmi dari PBB. Dia mengakui pengalamannya sangat berat. Tapi dia lebih mengkhawatirkan warga Rohingya yang masih tinggal di daerah-daerah dikuasai militer Myanmar.

"Saya sempat yakin bakal dibunuh," kata Abdullah sambil mengingat hari ketika dia kabur dari serangan militer Myanmar ke desanya. "Ibu menyuruh saya untuk kabur dari Myanmar, dan saya nekat berenang menghampiri kapal yang berisikan banyak pengungsi lain."

Iklan

Pengalaman ini sudah lama coba dilupakan Abdullah. Kini dia bekerja sebagai tukang listrik serabutan. Bermain sepakbola untuk RFC dan menonton highlight pertandingan Barcelona merupakan satu-satunya hobi Abdullah. Pesepakbola favoritnya adalah Luis Suarez.

Abdullah ingin bertanding melawan klub sepakbola manapun dari Myanmar. Baginya pertandingan itu akan sangat menarik. Dia ingin menumpahkan semua emosinya di lapangan hijau.

Sesi latihan sepakbola RFC diadakan seminggu sekali, biasanya di hari Minggu. RFC memiliki 25 pemain. Puluhan pengungsi Rohingya ingin bergabung tapi terpaksa ditolak. Hal ini menunjukkan antusiasme yang tinggi dari warga Rohingya untuk membela klub sepakbola tersebut. Kebanyakan pemain adalah buruh berumur 20-an, mati-matian mencari uang di Malaysia. Saat terlibat liga amatir DD Social League Malaysia, RFC lima kali menang, enam kali imbang, dan empat kali kalah. Prestasi yang lumayan mengingat kebanyakan pemain mereka sangat jauh dari olahraga. Rata-rata pemain RFC adalah pekerja bangunan dan penyapu jalan.

Muhammed Noor menemui saya di kantornya. Dia adalah salah satu pendiri tim itu sekaligus penyandang dana terbesar klub. Noor adalah CEO dan pendiri Rvision, satu-satunya jaringan siaran berita khusus Rohingya di dunia. Dia mengklaim  RFC memilikir rekor 28 menang dan tiga kali kalah dalam pertandingan-pertandingan tidak resmi melawan tim-tim Rohingya kecil di Malaysia lainnya. Biarpun ada banyak tim-tim yang merekrut warga Rohingya, Noor mengatakan RFC adalah satu-satunya tim "nasional" sejati etnis tersebut. Seluruh pemainnya terdiri dari warga Rohingya dari berbagai desa di provinsi Rakhine dan komunitas Rohingya internasional yang merantau ke Malaysia sejak lama.

Iklan

Muhammed Noor, salah satu pendiri dan penyandang dana utama Rohingya FC.

"Selama ini etnis Rohingya ditampilkan dengan imej yang buruk, sebagai pengungsi," katanya. "Maka dari itu kami memutuskan tidak mau terus-terusan bersedih. Ayo kita bergabung, kumpulkan orang muda. Mari ciptakan harapan."

Bersama Faruk dan Pelatih Kepala Dildar, Noor mendirikan RFC awal 2015. Dia membawa pengaruh internasional dan pengalaman bisnis ke dalam tim. Lahir di Arab Saudi setelah orang tuanya kabur dari provinsi Rakhine dekade 1970-an, Noor mengambil gelar S2 di bidang sains komputer dari Universitas SEGi Kuala Lumpur. Dia kemudian menjadi insinyur di perusahaan minyak Petronas Malaysia. Hartanya menjadi modal membuat saluran TV Rvision pada 2012.

Jaringan media miliknya menyediakan program menyoroti bermacam aspek budaya dalam bahasa Rohingya. Mata acaranya meliputi talk show, berita, sejarah, mengoperasikan provider satelit di Timur Tengah yang menyiarkan acara ke lebih dari 100 negara dan mendistribusikan konten lewat Facebook dan YouTube. Mereka juga menyiarkan pertandingan-pertandingan RFC, berusaha menciptakan harapan bagi kaum Rohingya yang identitasnya selama ini dikaitkan dengan keputusasaan dan nestapa. Data analitik YouTube menunjukkan RVision memiliki banyak penonton di Timur Tengah, Bangladesh, dan Myanmar. Noor memperkirakan ada sekitar tiga juta warga Rohingya di seluruh dunia yang menonton siaran tv-nya.

"Kami bukan orang miskin yang meminta-minta uang di jalanan," kata Noor, sembari duduk di kursi dalam kantornya yang luas di markas Rvision di Kuala Lumpur. "Kami juga punya bakat. Kenapa kami tak diberi kesempatan menunjukkan bakat?"

Iklan

Biarpun dia sadar kemungkinan untuk bisa bertanding dengan tim nasional Myanmar sangat kecil, Noor percaya bahwa ini bisa menjadi langkah maju bagi penerimaan kaum Rohingya di Myanmar. Dia telah menghabiskan ribuan dolar—dari tabungannya sendiri—mendirikan RFC dan menyewa bus setiap kali mereka bertanding.

"Tujuan utama klub ini adalah agar orang Rohingya mendapatkan pengakuan. Bukan untuk RFC, karena RFC hanyalah kendaraannya," katanya. "Bagi kami, pengakuan paling utama bagi kaum Rohingya adalah melawan tim sepakbola Myanmar—bukan menantang untuk berkonflik, tapi sebagai pertandingan persahabatan. Pertandingan itu seandainya terwujud bisa menjadi titik awal pengakuan bagi kami. Kami harus berani memulai."

Kepala Federasi Sepakbola Myanmar (MFF), U Zaw Zaw adalah seorang pengusaha besar yang memiliki saham di perkebunan karet, resort mewah, dan salah satu bank terbesar di Myanmar. Baru-baru ini dia masuk daftar hitam AS sebagai bagian dari sanksi yang diberikan terhadap junta militer Myanmar. Menurut laporan MFF September 2016, dia telah menghabiskan lebih dari Rp190,4 miliar untuk pengembangan sepakbola, sejak menjabat sebagai Presiden MFF 12 tahun lalu.

Saya mengatur janji bertemu Zaw Zaw untuk menanyakan kemungkinan timnas Myanmar bertanding melawan klub Rohingya. Asisten pribadinya menjawab telepon saya dan terdengar tertarik—sampai ketika saya mengucapkan kata "Rohingya." Setelah itu dia mengatakan akan menanyakan U Zaw Zaw terlebih dahulu soal topik wawancara itu, lalu segera menutup telepon. Dia tidak pernah bersedia merespon saya lagi.

Iklan

Pengungsi Rohingya di Kuala Lumpur menyaksikan tim kebanggaan mereka berlatih.

Juru bicara MFF, Zaw Minn Htike sempat menunjukkan ketertarikan sebelum saya menyebut "Rohingya." Setelah itu dia menolak mengangkat beberapa telepon saya dan menolak tawaran wawancara langsung di kantor MFF.

Kyaw Zin Hlaing, reporter olahraga The Myanmar Times, koran berbahasa Inggris di Myanmar, hanya tertawa terbahak-bahak ketika saya tanya tentang ide pertandingan antara tim nasional Myanmar melawan RFC.

Ye Naing Win dari Myanmar Special Media mengatakan klub sepakbola lokal pun tidak akan mau. "Pemain sepakbola Myanmar sudah terlalu lelah bermain untuk tim nasional dan klub mereka sendiri."

Ketika saya menyampaikan ke Faruk bahwa tidak ada satupun pihak berwajib sepakbola Myanmar bersedia membahas kemungkinan pertandingan melawan RFC, dia mengungkapkan pendapat yang menarik.

"Kami sedih, tapi mungkin alasannya karena mereka takut melawan kami," katanya. "Itulah sebabnya mereka tidak merespon."

Saat ini, RFC sadar kesempatan mereka diakui dalam pertandingan resmi antar negara nyaris nihil. Tapi mereka tetap akan terus mencoba mendapat pengakuan dari negara-negara lain.

Lewat proyek non-profit Australia The Kick Project, RFC menjadi penerima dana sebesar Rp162,4 juta dari para diplomat Australia di Kuala Lumpur. Pencetus dan direktur Kick Project, James Rose mengaku tergerak saat mendengar misi RFC adalah membangun identitas baru bagi orang Rohingya lewat olahraga.

"Pengalaman yang telah mereka lalui sangat ekstrem," kata Rose. "Idenya adalah untuk menggunakan olahraga, dalam skala kecil sebagai alat bagi orang-orang untuk berkumpul… Sepakbola menjadi titik utama komunitas pengungsi Rohingya yang dapat mendobrak batasan dan membangun jembatan tanpa harus menjadi terlalu politis."

Rose menyambangi Kuala Lumpur Februari lalu untuk membayar biaya lapangan, menyediakan jersey baru untuk tim RFC, serta ikut mencari lokasi yang pas untuk membangun fasilitas olahraga bagi komunitas etnis Rohingya di perantauan. Dia memiliki ide mambangun "sports hub," sebuah tempat pertemuan dan pusat distribusi bagi anak-anak Rohingya untuk mendapatkan akses ke peralatan olahraga. Dia juga menggunakan dana tersebut untuk membeli bis tua berwarna biru kuning untuk tim dan penggemar mereka ketika harus bertandang.

Kick Project juga tengah memulai proyek sampingan tim perempuan RFC. Rose mengatakan survei dari Jaringan Pengembangan Perempuan Rohingya di Kuala Lumpur mengungkapkan adanya ketertarikan pengunsi perempuan Rohingyna di bidang badminton, netball, dan judo.

"Kami akan membantu mereka merealisasikan berbagai ide tersebut tahun ini," kata Rose. "Kami ingin mereka punya klub olahraga, ruang locker, dan tempat untuk bersosialisasi."

Masih banyak tantangan bagi Faruk dan teman-temannya. Sebagai imigran tanpa dokumen di Malaysia, orang Rohingya tidak memiliki akses ke fasilitas pendidikan, jaminan kesehatan, atau izin kerja resmi.

Paling tidak, sekarang pengungsi Rohingya di Malaysia akan punya seragam bola dengan desain baru, tanpa nama invidual pemain di punggung. Jersey mereka hanya bertuliskan satu nama. Satu identitas: Rohingya.