Cina Ancam Lakukan 'Perang Besar-Besaran' Jika AS Tutup Akses ke Pulau di Laut Sengketa

FYI.

This story is over 5 years old.

Berita Dunia

Cina Ancam Lakukan 'Perang Besar-Besaran' Jika AS Tutup Akses ke Pulau di Laut Sengketa

Komentar Calon Menteri Pilihan Donald Trump Tentang Laut China Selatan Memicu Kemarahan Beijing.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE News.

Pemerintah Cina melalui corong propaganda media resminya mengeluarkan pernyataan keras adanya "risiko perang besar-besaran" yang mengancam Amerika Serikat. Kemarahan Beijing dipicu oleh pertanyaan calon Menteri Luar Negeri Rex Tillerson bahwa militer AS perlu memblokade akses ke pulau hasil reklamasi di Laut Cina Selatan.

Dua surat kabar harian Global Times dan China Daily membuat tajuk rencana bernada keras pada komentar calon anggota kabinet Presiden Terpilih Donald Trump itu. Tillerson mengeluarkan pernyataan kontroversial saat menghadiri rapat dengar pendapat bersama Kongres sebelum dia resmi terpilih untuk posisi Menlu. China Daily menyebut pemikiran Tillerson sebagai "gabungan sikap naif, rabun, penuh prasangka, dan fantasi politik yang tidak realistis."

Iklan

Tillerson adalah mantan CEO perusahaan migas Exxon Mobil. Dia berulang kali melontarkan kata-kata agresif dan sikap agak bermusuhan pada kebijakan Cina yang membangun pulau reklamasi dan klaim kepemilikan penuh mereka di laut sengketa. Laut Cina Selatan adalah obyek sengketa selama satu dekade terakhir. Cina merasa 90 persen laut itu wilayah sah mereka. Klaim itu melanggar kedaulatan Taiwan, Filipina, Vietnam, Brunei, dan Malaysia. Tillerson lalu menyebut tindakan Cina di perairan itu khas agresor, "seperti cara Rusia mengambil alih Crimea."

Komenter Tillerson yang paling membuat panas kuping pejabat Cina di Beijing adalah keharusan reklamasi di Spratly diakhiri. "Kita perlu mengirim sinyal pada Cina, bahwa pembangunan pulau buatan di perairan itu harus diakhiri. Selain itu akses menuju pulau-pulau tersebut tidak bisa ditoleransi," kata Tillerson.

Cina membangun pulau reklamasi berukuran raksasa di Kepulauan Spratly. Kawasan perairan ini memicu sengketa paling panas, mengingat di dalamnya ada kandungan minyak dan keanekaragaman hayati paling besar. Selama era pemerintahan Presiden Barack Obama, AS dan Cina kerap berselisih soal Spratly. Obama berulang kali mengirim kapal perangnya berpatroli di sana atas dasar "kebebasan navigasi" menantang klaim kedaulatan sepihak Cina atas perairan internasional.

Terakhir kali kapal perusak AS berpatroli ke Spratly, memicu komentar keras dari Kementerian Pertahanan Cina. Beijing menyebut tindakan Negeri Paman Sam "ilegal" dan "provokatif". Sementara Josh Earnest, juru bicara Gedung Putih, menyatakan patroli kapal itu sah-sah saja karena kawasan Spratly adalah perairan bebas, berjarak 12 nautikal mil dari titik terluar laut milik Cina. "AS maupun negara-negara lain diizinkan melewati perairan itu sebagaimana diatur dalam hukum internasional," ujarnya kala itu.

Iklan

James Mattis, calon Menteri Pertahanan AS pilihan Trump, berjanji melakukan pendekatan sama seperti era Obama tentang Laut Cina Selatan. Janji itu dia lontarkan saat menghadapi uji kelaikan di hadapan kongres.

"Perairan Internasional statusnya tidak boleh berubah. Kita harus taat pada hasil perjanjian internasional yang sudah kita hormati selama bertahun-tahun," kata Mattis.

Lebih dari enam negara bersengketa di Laut China Selatan. Selain kekayaan sumber daya alam, perairan ini merupakan rute perdagangan laut tersibuk dunia.

Tajuk rencana harian Global Times lebih keras dibanding China Daily merespon kata-kata Tillerson. "Tillerson harus memiliki nyali dan persiapan yang jelas terhadap kemungkinan perang nuklir, jika dia serius ingin negara bersenjatakan nuklir mundur dari wilayah berdaulat miliknya sendiri."

Juru bicara Kementerian Luar Negeri Cina, Lu Kang, tidak bersikap keras seperti sikap dua media milik pemerintah itu. "Kami akan melakukan aktivitas normal seperti biasanya di sana," ujarnya. Dia menolak berkomentar mengenai kata-kata Tillerson tentang blokade perairan Spratly. Kendati lebih lunak, sikap resmi Beijing tetaplah mempertahankan klaim mereka, tentang pembangunan pulau reklamasi di atas laut sengketa.

Bukan Tillerson saja calon anggota kabinet Trump yang bersikap keras pada Cina. Calon Menteri Perdagangan Robert Lighthizer berulang kali mengkritik kebijakan Tiongkok. Lighthizer kerap menuduh Cina melanggar pakta perdagangan bebas.

Trump pun juga rajin mengolok-olok serta mengkritik Cina, terutama lewat cuitan di akun Twitter-nya. Dia bakal menjadi presiden AS di era modern yang membuat hubungan Cina-AS ke medan berbahaya.