FYI.

This story is over 5 years old.

The VICE Guide to Right Now

OKI Mendesak PBB Menghentikan Genosida Muslim Rohingya Myanmar

Organisasi negara-negara muslim sedunia meminta segera dilakukan intervensi internasional, agar tak lagi terjadi kekerasan menyasar komunitas Rohingya bermukim di Negara Bagian Rakhine.
Foto oleh Soe Zeya Tun/Reuters

Minoritas muslim Rohingya di Myanmar terancam mengalami genosida. Perwakilan Organisasi Kerja Sama Islam (OKI) menyatakan perlu ada intervensi khusus dari Perserikatan Bangsa-Bangsa. Jika dibiarkan, maka Asia Tenggara terancam mengalami pembantaian massal di era modern, yang terakhir kali terjadi saat rezim Khmer Merah membunuh ratusan ribu warga era 70-an.

"Kita tidak ingin mengulang kenangan buruk genosida seperti di Kamboja atau Rwanda," kata Syed Hamid, Utusan Khusus OKI untuk Myanmar saat diwawancarai kantor berita Reuters. "Komunitas internasional sejauh ini hanya mengamati situasi. Selama itu, berapa banyak orang sudah mati di Myanmar? Seharusnya kita belajar dari sejarah, situasi Myanmar perlu langkah konkret untuk mengatasinya."

Iklan

OKI adalah organisasi global beranggotakan 57 negara mayoritas muslim, termasuk Indonesia. Kasus pelanggaran HAM yang menimpa minoritas Rohingya—termasuk puluhan ribu orang Rohingya terpaksa mengungsi ke negara-negara tetangga—menjadi perhatian utama OKI selama beberapa tahun belakangan. Di Indonesia, unjuk rasa di depan Kedutaan Besar Myanmar oleh ormas muslim rutin terjadi.

Konflik terbaru, mulai tersulut sejak 9 Oktober lalu di Negara Bagian Rakhine, tempat bermukimnya mayoritas etnis Rohingya. Insiden ini menyebabkan 86 orang tewas. Lebih dari 66 ribu warga Rohingya kabur ke perbatasan Bangladesh, terpaksa berdesak-desakan di kamp pengungsi yang padat dan tidak layak huni. Tidak semua beruntung diterima, sebagian diusir paksa oleh imigrasi Bangladesh kembali ke perairan Myanmar. Pengusiran ini juga dilaporkan oleh lembaga swadaya Amnesty International. Bertahan di Rakhine bukan langkah bijak bagi minoritas Rohingya. Mereka berulang kali dituduh oleh aparat keamanan dan militer memperkosa perempuan Buddha yang menjadi mayoritas di negara itu. Rumor ini segera membuat massa mayoritas Myanmar mengamuk dan menyerang setiap orang Rohingya di jalanan. Amuk massa sekaligus membumihanguskan desa-desa minoritas muslim Myanmar.

Kekerasan kembali terulang akhir 2016. Sembilan polisi Myanmar di dekat perbatasan Bangladesh terbunuh. Pelakunya dituduh orang Rohingya yang berbahasa Bengali. Pemerintah Myanmar segera mengirim beberapa batalion militer, menyerbu perkampungan Rohingya di Negara Bagian Rakhine.

Iklan

Pemerintah Myanmar, yang kini dikuasai Partai Liga Demokrasi Nasional (NLD) pimpinan Aung San Suu Kyi, membantah tuduhan bila tentara terlibat membantai orang Rohingya. Sikap Myanmar terhadap permintaan dunia internasional amat defensif. Mereka berkukuh konflik sosial antara etnis mayoritas dengan orang Rohingya sepenuhnya masalah dalam negeri.

Rumah warga Rohingya di Desa Shey Kya, Negara Bagian Rakhine, yang ditinggalkan oleh pemiliknya setelah penyerangan militer Oktober lalu. Foto oleh Soe Zeya Tun/ Reuters

Pelapor Khusus PBB untuk Urusan HAM di Myanmar, Yanghee Lee, sejak tiga tahun terakhir tidak pernah mendapat akses masuk untuk melihat sendiri kondisi di Negara Bagian Rakhine. Lee juga tidak memperoleh izin untuk mewawancarai siapapun, tanpa persetujuan pemerintah Myanmar. Dia pernah masuk ke Myanmar selam 12 hari, tapi penolakan terhadap PBB dan sentimen negatif yang diterima Lee sangat besar. Secara halus, pemerintah Myanmar mengancam bahwa semua upaya intervensi asing, "akan disambut penolakan oleh warga lokal."

Pemerintah Myanmar sudah merilis investigasi internal versi mereka sendiri tentang yang terjadi di Negara Bagian Rakhine, sejak Oktober hingga akhir tahun lalu. Komisi Pencari Fakta ini dipimpin Myint Swe, wakil presiden Myanmar. Swe adalah mantan jenderal dalam junta Myanmar. Dalam konferensi pers, dia menyatakan sama sekali tidak ada bukti terjadi pelanggaran HAM atau pembantaian massal menyasar etnis tertentu oleh tentara di Negara Bagian Rakhine.

Laporan tim pencari fakta pemerintah dipertanyakan pegiat HAM di Myanmar. Koalisi lebih dari 40 LSM membentuk pernyataan bersama, menyerukan adanya investigasi "independen" terhadap kekerasan yang menimpa muslim Rohingya.

Koalisi LSM Myanmar ini menuntut dibentuknya tim pencari fakta betulan, "yang memperoleh akses penuh untuk memantau situasi di Negara Bagian Rakhine serta mendapat dukungan memadai dari pemerintah Myanmar, agar masalah serupa tidak terulang di masa mendatang."

"Tiga bulan terakhir kita sudah melihat pemerintah Myanmar berusaha cuci tangan dengan membentuk komisi-komisi yang justru melanggengkan diskriminasi," kata Matthew Smith, petinggi kelompok hak asasi Fortify. "Komisi pemerintah Myanmar tidak pernah menjalankan penyelidikan serius mengenai nasib orang-orang Rohingya. Di sisi lain, komunitas internasional juga harus bangun dari tidur panjangnya, sebab situasi orang Rohingya yang masih tinggal di Myanmar memburuk dari hari ke hari."

OKI akan segera menggelar pertemuan tingkat menteri di Malaysia pada 18 Januari mendatang. Pertemuan ini secara khusus membahas penanganan kasus persekusi muslim Rohingya, serta juga pelanggaran HAM minoritas Kristen, di Myanmar.