FYI.

This story is over 5 years old.

Thailand

Video Raja Thailand Sedang Pakai Crop Top Diblokir Facebook

Di Thailand, menghina keluarga kerajaan bisa dihukum penjara dalam kurun waktu lama. Medsos seperti Facebook jadi berhati-hati.
Pangeran Maha Vajiralongkorn. Foto dari: REUTERS/Chaiwat Subprasom.

Facebook telah memblok akses pengguna di Thailand untuk melihat video raja mereka berjalan-jalan di luar negeri mengenakan crop-top dan menunjukkan tatonya. Saat pelesir di mal Kota Munich, Jerman, Raja Negeri Gajah Putih ditemani salah satu selirnya. Media sosial raksasa itu memblok video sang raja bukan karena menyalahi syarat dan ketentuan, namun karena menurut pemerintah Thailand hal tersebut penghinaan bagi monarki serta menyalahi hukum negara yang melarang kritik terhadap keluarga raja. "Ketika pemerintahan percaya bahwa sesuatu di internet menyalahi hukum mereka, mereka dapat menghubungi perusahaan seperti Facebook dan meminta menutup akses atas konten tersebut," ujar juru bicara Facebook kepada VICE News dalam pernyataan tertulis via surel.
Geo-blocking video banal menyoroti posisi Facebook yang semakin terjepit dalam upayanya mengembangkan bisnis ke mancanegara—seringkali di negara-negara dengan hukum lokal ketat yang berlawanan—dengan cita-cita perusahaan menciptakan dunia yang lebih "terbuka dan terhubung." Setelah insiden Charlie Hebdo di Paris, Mark Zuckerberg berjanji akan terus menjunjung tinggi kebebasan berpendapat meski mendapatkan ancaman kematian di berbagai postingan Facebook. "Suara-suara yang beragam, meski terkadang menghina, dapat menjadikan dunia tempat yang lebih baik dan menari," ujarnya. Sebelum pemilu Inggris Raya bulan depan, Facebook mengumumkan bahwa mereka telah mengambil tindakan melawan berita palsu, termasuk menangguhkan puluhan akun yang berpotensi palsu, menurut laporan New York Times. Kini Facebook menerima kritik keras atas kebijakan sensor mereka, yang memenuhi permintaan mensensor konten oleh rezim otoriter di seluruh dunia. Facebook telah memblok konten di Turki setelah pemerintah berkata hal tersebut menghina Nabi Muhammad SAW. Kuasa Facebook untuk menegakkan kepatutan di seluruh dunia dipertanyakan banyak pihak tahun lalu setelah mereka mensensor foto ikonik era Perang Vietnam berupa "gadis napalm" berusia 9 tahun—karena dianggap menyalahi aturan mereka.

Iklan

Isi Video Sang Raja Thailand

Facebook mengkonfirmasi kepada VICE News minggu lalu bahwa betul adanya mereka memblok akses pengguna di Thailand terhadap video yang menampilkan Raja Maha Vajiralongkorn Bodindradebayavarangkun bulan Juni lalu, beberapa bulan sebelum kematian ayahnya dan pewarisan tahta. VICE News menerima video tersebut dari Andrew Marshall, wartawan dan pengkritik vokal rezim Thailand, yang mempostingnya di laman Facebook pribadinya.

Video tersebut direkam oleh warga Thailand yang mengenali sang raja di mal Riem Arcaden, Munich, 10 Juni 2016, sebelum akhirnya dikirim pada Marshall. Video tersebut menampilkan Raja Vajiralongkorn berjalan-jalan di mal, bersama perempuan yang dipercaya adalah salah satu selirnya, Sineenat Wongvajirapakdi alias Koi. Pengawal pribadi sang raja juga terlihat dalam video. Tato Vajiralongkorn yang nyentrik membuatnya mudah dikenali, dan dia telah dipotret mengenakan pakaian sejenis dalam beberapa kesempatan. Meski begitu, ini adalah satu-satunya video yang menampilkan sang raja berpakaian necis. Raja Vajiralongkorn—yang nama lengkapnya memiliki makna "dihiasi perhiasan atau petir"—menerima tahta pada Desember setelah kematian ayahnya, Raja Bhumibol Adulyadej yang amat dicintai. Meski rincian gaya hidupnya yang kontroversial dan bermewah-mewahan dilaporkan secara luas di luar Thailand saat masih bertahta pangeran, sosoknya tetap tak terjangkau, berkat hukum lèse-majesté Thailand, yang secara efektif mencegah warga supaya tidak mendiskusikan rincian apapun soal kehidupan keluarga kerajaan. "Jadi video seperti ini seakan lemparan bom pada segala hal itu," ujar Marshall kepada VICE News. "Meski orang-orang tidak akan terkejut-terkejut amat, saya rasa video itu bisa memiliki dampak signifikan jika ditonton secara luas, dan menjadi semacam tusukan pada gelembung monarki yang ada."

Iklan

Tantangan Untuk Facebook Di Thailand

Pihak Facebook mengatakan ketika mereka menerima permintaan untuk memblok video tersebut, "video tersebut diperiksa dengan sangat teliti untuk mengetahui apakah benar ada konten video yang melanggar hukum Thailand. Kalau ini terbukti, maka kami akan membuat video tidak bisa diakses oleh negara atau region yang bersangkutan dan memberi informasi kepada mereka-mereka yang mencoba mengakses kenapa video tersebut diblok."

Gennie Gebhart, seorang peneliti di Electronic Frontier Foundation (EFF) mengatakan Facebook berada di situasi yang sulit. "Kasus ini dan banyak upaya lainnya dari pemerintah Thailand untuk menyensor media sosial menunjukkan sifat pemerintah yang semakin berani menutup-nutupi konten yang bersifat kritis terhadap kerajaan dan tantangan yang mereka hadapi di dalam dunia internet, "jelasnya.

Setelah Marshall mengunggah video ke halaman Facebooknya bulan lalu, pemerintah Thailand melarang semua warga Thailand menyebar video itu, segera menghubungi Marshall, dan menghubungi langsung dua individu yang kritis terhadap rezim Thailand via media sosial. Salah satunya adalah Somsak Jeamteerasakul. Sang aktivis dihubungi oleh pihak Facebook yang menjelaskan bahwa konten tersebut akan diblok dan alasan dibaliknya.

Surat peringatan bagi Somsak Jeamteerasakul agar menurunkan video raja.

Ini, menurut Marshall, merupakan cara Facebook melawan hukum ketat pemerintah Thailand yang tidak sesuai dengan nilai perusahaan mereka. Setelah didesak oleh pihak aktivis, jurnalis dan kelompok seperti EFF, Facebook kini meminta bukti keputusan pengadilan sebelum memblok konten apapun dan hanya akan memblok post secara spesifik, bukan seluruh halaman. Pengguna juga akan mendapatkan keterangan ketika konten unggahan mereka diblok di daerah tertentu.

Iklan

"Kemudian kami bisa merilis fakta bahwa Facebook telah memblok konten tertentu dan menghasilkan 'efek Streisand,'" kata Marshall, merujuk ke paham yang mengatakan bahwa tindakan menyembunyikan sesuatu justru akan membuatnya semakin nampak jelas.

Kurangnya transparasi dalam kebijaksanaan Facebook ketika menyensor konten membuat 70 kelompok dan aktivis HAM menulis surat ke Mark Zuckerberg di bulan Oktober menuntut perusahaan mengklarifikasi prosedur ketika menyensor konten tertentu dan mengklaim Facebook pernah menghapus konten pelanggaran HAM di situs mereka.

Marshall, mantan jurnalis Reuters yang menulis buku berjudul A Kingdom in Crisis: Thailand's Struggle for Democracy in the Twenty-First Century mengatakan dia bersimpati dengan situasi Facebok yang sulit. "Mereka terjebak di tengah-tengah masalah, karena Thailand memiliki hukum yang sangat ketat dan komentar apapun yang dianggap mengkritik kerajaan bisa membuat anda dihukum penjara selama beratus-ratus tahun," ungkapnya.

Meningkatnya Sensor di Thailand

Penyensoran tengah meningkat di Thailand. Menurut statistik dari Facebook, dalam paruh pertama 2016, Facebook harus menyensor 10 konten di Thailand. Angka tersebut meningkat menjadi 40 di paruh kedua 2016. Minggu lalu, seorang pengacara pembela HAM di Thailand ditangkap dan dituduh menghina kerajaan. Apabila terbukti bersalah, dia bisa dihukum hingga 150 tahun di dalam penjara.

Pemerintah Thailand menghubungi Facebook langsung tahun lalu dan meminta mereka bekerja sama dan menghapus konten yang melanggar hukum negara Gajah tersebut. Biarpun pemerintah Thailand mengumumkan di depan rakyatnya bahwa Facebook bersedia bekerja sama, pihak Facebook mengaku mereka tidak pernah menyetujui perjanjian apapun.

Pemerintah Thailand telah menutup hampir 7.000 situs internet semenjak 2015 menggunakan Hukum Kriminal Komputer Thailand. Namun tetap saja mereka tidak bisa memblok halaman individual di Facebook. Tidak mungkin juga mereka bisa memblok Facebook secara keseluruhan mengingat betapa populernya situs tersebut di Thailand. Minggu lalu, pemerintah Thailand meminta pengadilan untuk menyuruh penyedia jaringan internet setempat menutup 600 halaman Facebook, bukti bahwa Facebook tidak bekerja sama dengan mereka secara langsung.

Kerjasama Facebook dengan Thailand dan banyak rezim authoritarian lainnya menimbulkan pertanyaan seputar akses Facebook di Cina yang telah diblok semenjak 2009. Zuckerberg telah berkali-kali berusaha melobi Cina—termasuk belajar bahasa Mandarin dan berpidato di Universitas Tsinghua—namun banyak pembela HAM mengutarakan kekhawatiran setelah dilaporkan Facebook tengah menciptakan alat sensor khusus agar mereka diizinkan masuk ke Tiongkok.