Mengunjungi Kota Leicester yang Terpaksa Menyadari Mimpi Indah Telah Berakhir

FYI.

This story is over 5 years old.

Sepakbola

Mengunjungi Kota Leicester yang Terpaksa Menyadari Mimpi Indah Telah Berakhir

Leicester City F.C hancur lebur setahun setelah juara Premier League. Pelatih Claudio Ranieri dipecat. Ini liputan warga kota itu yang sejak lama sinis pada kegembiraan para fans sepakbola.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE UK.

*Semua foto oleh Jake Lewis. Hati banyak orang tergerak melihat cerita yang berasal dari Kota Leicester di East Midlands, Inggris. Klub kecil Leicester City F.C yang berasal dari kota itu berhasil menjuarai Premier League musim 2015/2016, liga sepakbola terbaik di Inggris—kalau bukan dunia—mengalahkan prediksi bandar judi yang hanya memberi mereka kesempatan juara 5.000 : 1.

Iklan

Oke, saya harus jujur. Tahun lalu saya memandang semua rangkaian peristiwa olahraga itu secara sinis. Saya memang awam dan tidak terlalu tertarik pada sepakbola. Tapi saya tahu banyak soal Kota Leicester. Kenapa? Karena saya lahir dan besar di kota ini. Saya baru pergi setelah 21 tahun. Setelah lama tidak mudik, saya menyempatkan pulang untuk menyaksikan festival musik. Betapa terkejutnya saya melihat semua orang—sekali lagi semua orang—tergila-gila pada klub sepakbola Leicester City F.C. Saat itu seminggu sebelum laga penentuan gelar juara. Tapi orang-orang tak peduli. Mereka sudah menggelar pesta. "Ini beneran ya orang-orang bahagia banget Leicester City juara?!" kata saya dalam hati.  Sebagai orang Leicester sejati, saya terbiasa pesimis. Mentalitas kami yang cenderung inferior membuat saya bertanya, ini tetangga-tetangga semua beneran tidak sadar apa ya, jika klub itu betulan juara, perhatian seluruh dunia akan tertuju pada kota ini? Tak hanya itu, perjalanan klub selanjutnya juga akan disoroti terus menerus. Saya malah merasa malu saat melihat bendera dan syal biru putih berkibar-kibar di seluruh penjuru kota.

Sepekan kemudian, Leicester City benar-benar juara. Kenalan saya banyak yang menato badan dengan lambang klub. Beranda Facebook saya menggila, dipenuhi sorak sorai. Bahkan banyak kawan-kawan saya dari Amerika Serikat, yang boro-boro ngerti sepakbola, mengirimkan ucapan selamat. Bocah ingusan berbondong-bondong datang ke Stadion King Power hanya agar tak sengaja dilirik Jamie Vardy. Band Kasabian, ya mereka asli dari Leicester juga, menggelar konser sebagai bentuk syukuran. Pada momen pawai perayaan trofi Premier League, entah dari mana datangnya, 240 ribu manusia memadati jalanan kota. Sebagai orang yang tak peduli sepakbola, saya merasa ditinggalkan. Beberapa kawan yang tahu jika saya sinis pada Leicester City berusaha memberi penjelasan: "Semua orang suka cerita underdog tahu!"

Iklan

Mungkin saja. Tapi saya malah punya pikiran berbeda. Leicester selama ini dikenal sebagai kota di Inggris yang paling multikultural. Kemenangan Leicester City musim lalu justru membuat sentimen kedaerahan meningkat. Mulai ada ucapan "kita" dan "mereka". Ada juga aroma rasisme tipis dari fans di sana-sini yang menguar ke udara. Sebagai warga Leicester, saya tidak sadar sentimen semacam itu ada. Mungkin kemenangan Leicester membuka semua katup emosi yang selama ini ditekan, yang dipendam dalam-dalam.

Tapi, apa sih sebenarnya yang tersisa setelah semua kesuksesan mengejutkan itu? Apa yang akan dilakukan ketika mata dunia mengarah pada kalian, ketika sebuah film Hollywood hendak dibuat untuk mengabadikan cerita bak dongeng itu? Manusia mudah lupa. Ketika sesuatu capaian terjadi, dengan peluang yang sangat kecil sejak awal, seharusnya orang-orang tak terlena lalu meyakini hal indah yang sama dapat terulang lagi.  Leicester City F.C kembali ke habitat aslinya musim ini. Lalu semua orang terkejut mendengar manajemen klub memecat Claudio Ranieri. Sosok kebapakan asal Italia yang disukai semua orang itu, yang biasa berucap "Dilly Ding, Dilly Dong". Dia kehilangan pekerjaan hanya sembilan bulan setelah memenangkan trofi Premier League. Dia dipecat justru setelah memimpin anak buahnya menampilkan permainan terbaik sepanjang musim di babak 16 besar Liga Champions. Apa yang terjadi di Leicester hanya menandakan satu hal: mimpi indah sudah berakhir. Kalian terbangun. Semua orang sepertinya sudah bangun, kecuali pemilik Leicester City. Mereka tidak bersedia menerima kenyataan, dengan kedalaman skuad saat ini, tim itu memang sudah sepatutnya bertahan posisi naturalnya, hanya sedikit di atas zona degradasi.

Iklan

Di tengah semua kekacauan itu, saya kembali pulang ke kota kelahiran. Saya ingin memahami respon para pendukung dan warga kota ini terhadap prestasi klub yang anjlok drastis.

Setibanya di Leicester, situasi kota sebetulnya masih sama seperti tahun lalu. Banner menampilkan foto pemain tersebar di mana-manan, dekorasi biru-putih bisa kita lihat sejauh mata memandang, dan tentu saja, mural-mural para legenda: Vardy, Mahrez, hingga Ranieri.  Tempat pertama yang langsung saya tuju adalah Millie's Cookies, toko roti langganan. Di sana personel Kasabian biasanya boleh makan gratis sesukanya. Setelah membuka pintu, mata saya langsung tertuju pada cake yang diberi hiasan L.C.F.C. Champions. Suasana masih bulan madu. Ini baru sembilan bulan.

Saya tahu mentalitas teman-teman dan tetangga. Orang Leicester sebetulnya suka mabuk. Apalagi alasan mabuk paling sip selain merayakan kemenangan Leicester City. Saya mendatangi bar The Attic yang berada di pusat kota. Saya ngobrol dengan Xander, sang pemilik. Dia bilang, kemenangan dramatis itu rasanya baru beberapa hari lalu saja. Xander tak terlalu suka sepakbola. Namun dia ikut terhanyut dalam kegembiraan, karena bar-nya memang memperoleh pengunjung yang gila-gilaan. "Semua orang menggila, selalu saja ada yang datang ke sini minum-minum selama tiga minggu penuh. Malam sewaktu kita juara, orang-orang naik ke atap bus kota, lalu mereka lompat ke jalanan," ujarnya.

Iklan
Xander

Xander

Tahun lalu, semua bartender di seantero kota berusaha meracik cocktail yang bisa menggambarkan citarasa Leicester. Xander dan anak buahnya kemudian meracik 'Chat Shit Get Banged', minuman yang namanya didasarkan pada kata-kata legendaris sang penyerang Jamie Vardy. Cocktail buatan mereka itu menggabungkan sirup WKD dan macam-macam miras, diberi garnish coke, gula, dan lembaran Poundsterling di atasnya. Cocktail itu sampai sekarang masih laris manis.

Leicester City Merch

Toko merchandise resmi Leicester City F.C

Kendati demikian, saya masih bisa menemukan atmosfer yang menunjukkan adanya kelesuan setelah prestasi Leicester City anjlok parah musim ini. Di toko merchandise resmi, dipasang pengumuman "diskon 30 persen untuk jersey resmi klub". Saya mendatangi David, penjaga toko. Sebagai fans berat Leicester City, dia menolak beralih dari memori manis tahun lalu. "Bagaimana kamu bisa melupakan mimpi jadi kenyataan seperti itu?" ujarnya.  Tapi bagaimana dengan tahun ini? Setelah Ranieri dipecat dan masa depan klub justru terombang-ambing? "Ya sebetulnya kami sebagai fans Leicester sudah biasa. Kami memang biasa bertarung supaya tidak terdegradasi. Bukan masalah. Saya yakin tim ini akan bertahan di Liga Premier, lalu di akhir musim para fans sejati tetap bergembira." Bagaimana jika Leicester City tak bisa lagi mengulang prestasi besar seperti musim lalu? "Tidak masalah. Tapi saya sebetulnya akan senang-senang saja jika mereka bisa melakukannya lagi. Dampak juaranya Leicester bagus untuk bisnis dan juga moral warga kota," kata David.

Iklan
Mural

Satu dari ribuan mural bertema Leicester City F.C yang tersebar di seluruh kota.

Salah satu peninggalan yang terkenal setelah Leicester juara adalah mural-mural yang tersebar di banyak dinding. Paling terkenal tentu saja mural buatan seniman Richard Wilson yang terpacak di pusat kota. Mural itu berada di dinding gedung milik Marks Electrical, perusahaan yang memang menjadi sponsor resmi Leicester City F.C. Potret yang paling mencolok di mural itu adalah wajah Claudio Ranieri. Karena memang awalnya hanya Ranieri yang digambar. Tapi saking populernya, perusahaan memanggil Wilson, memintanya menuntaskan mural itu dengan menambah sosok-sosok para pemain. "Orang-orang dewasa menangis melihat sosok idola mereka digambar di dinding," kata Wilson. "Saya memang bukan penduduk kota ini, tapi saya bisa merasakan aura positif yang berkembang di penjuru kota ketika momen klub mendekati juara. Semua orang merasa ambil bagian menciptakan sejarah."

Edmund

Edmund

Di dalam toko elektronik itu, hanya ada Edmund, salah satu karyawan. Dia termasuk yang sejak awal mewanti-wanti kenalannya agar tidak terlalu larut dalam kegembiraan merayakan trofi juara Leicester. Euforia, menurut Edmund, hanya akan melahirkan harapan-harapan palsu, yang sakit sekali jika tak tercapai. "Orang memasang ekspektasi terlalu tinggi. Padahal saya selalu bilang tahun ini beda dengan tahun lalu. Saya heran kenapa kawan-kawan sebaya ikut mengira tim itu akan masuk jajaran tim top di Inggris tiap tahun," kata Edmund.

"Saya sudah jadi fans Leicester sejak kecil. Karenanya saya terlatih untuk bersikap santai saja. Sudah banyak suka-duka selama membela klub ini. Banyak dukanya sih, jadi harusnya fans Leicester lainnya santai sajalah dengan kondisi sekarang. Memang begitu kan nikmatnya jadi penggemar sepakbola."

Iklan
Dave

Dave

Dalam posisi seperti sekarang, mimpi memang berakhir. Tapi warga punya pilihan untuk selalu kembali ke memori tersebut. Mereka merasa tak seorang pun berhak merampas kenangan manis musim 2015/2016. Tak juga ancaman degradasi yang sekarang mengintip setelah Ranieri dipecat. Saya menemui Dave, penduduk asli Leicester, tak pernah pindah sejak lahir 61 tahun lalu, dan mendukung klub itu sejak dia bisa berbicara. "Sebagai fans sejati Leicester City, saya itu malah merasa waswas kalau semua berjalan baik-baik saja. Saya sudah yakin kok kalau tim ini bakal ambyar musim sekarang. Paling mudah itu ya mendukung tim yang menang melulu. Justru tantangannya adalah mendukung tim dalam keadaan paling sulit sekalipun," kata Dave. "Pemain,pelatih, mereka datang dan pergi. Fans yang selalu bertahan. Kalau cuma sedih melihat prestasi mereka anjlok musim ini, untuk apa saya masih mendukung klub? Tim ini sudah terlanjur ada di darah saya. Dan masa bodoh orang mau bilang apa. Nama klub sudah terpacak di sejarah Premier League, kami akan selalu dikenang."

Setelah ngobrol bersama para penggemar, atau mungkin gara-gara saya terlalu banyak minum cocktail, rasa sinis saya pada Leicester City pelan-pelan sirna. Saya hampir terdorong ikut bangga pada klub itu. Ya, kota ini agak muram sekarang, sangat kontras dengan kebahagiaan yang menjalar ke mana-mana tahun lalu. Tapi warga Leicester, dari kunjungan saya, meyakini kebanggaan itu patut dipertahankan karena mereka layak mendapatkannya. Mereka tak lagi merasa inferior.  Pemecatan Ranieri memang merusak cerita indah soal tim underdog yang disukai semua orang. Tapi bagi warga Leicester, merekalah yang selalu bertahan, ketika pemain atau pelatih datang dan pergi. Sayalah yang tampaknya harus menerima kenyataan ini. Sejak sekarang, Leicester agaknya akan selalu punya marwah yang hendak dijaga para warganya. Ini kota yang baru. Apapun yang terjadi di masa mendatang, Leicester City F.C akan menjadi pusat kehidupan di sini.

Follow akun Twitter penulis di: @marianne_eloise