naje tampar tarik tambang madura tapal kuda olahraga ekstrem
Sepuluh detik sebelum laga dimulai, semua personel regu Grenda Zeba sudah dalam posisi siap bertanding. Ketika laga dimulai, bandol terlihat seperti tiduran, tapi nyatanya ia sedang menahan sakit di sekujur badan. Hasilnya setara, Grenda Zeba menjadi juara 1 turnamen ini, dan mendapatkan hadiah seekor sapi. Semua foto oleh M. Ishomuddin untuk VICE.
Madura Keras

Di Tangan Orang Madura, Tarik Tambang Jadi Kompetisi Ekstrem Paling Ditunggu

Orang Madura piawai mengolah permainan rakyat jadi kontes kekuatan. Inilah laga tarik tambang yang diwarnai mantra, kesurupan, dan hadiah fantastis.

Desir angin dingin dari Gunung Semeru begitu terasa sewaktu saya sampai di seberang Terminal Minak Koncar, Lumajang. Di jalanan depan terminal, tampak batang-batang tebu rontok dari punggung truk, tergilas di ruas-ruas aspal. Pemandangan itu konstan sampai saya tiba di tujuan, sebuah tempat wisata bernama Sendang Arya Wiraraja.

Saya datang ke Lumajang malam itu, 22 Juli, untuk menyaksikan kompetisi tarik tambang ekstrem yang sepertinya cuma bisa ditemukan di kalangan warga Madura. Tarik tambang dalam bahasa Madura disebut naje’ tampar. Benar-benar jauh dari tarik tambang 17an, naje’ tampar adalah kompetisi semi-profesional yang bisa bikin pemainnya terkilir, pingsan, patah tulang betis, sampai muntah darah.

Iklan

Warga Madura emang piawi mengolah permainan rakyat jadi kompetisi menegangkan yang melibatkan tim solid, permainan dukun, ritual doa, dan sudah pasti berhadiah fantastis. VICE pernah meliput bagaimana lomba kasti, yang kalian pasti identikkan dengan olahraga bocah SD, di Madura jadi adu keterampilan dan harga diri.

Segila dan seriuh apa pertandingan naje’ tampar, saya akan menyaksikannya malam ini.

naje tampar tarik tambang madura tapal kuda olahraga ekstrem

Poster promosi laga yang saya tonton malam ini. Estetikanya emang khas.

Menyaksikan naje’ tampar di Lumajang

Para peserta yang mewakili berbagai desa sudah komplit. Gerombolan pemuda ini kompak pakai jersey tim bergaya racing dengan nama-nama nyeleneh. Penawar Racun. Nampes (tumpah). Calon Arang. Jaguar. Bilis Getel (semut gatal). Sabu Sabu Nakal.

Kretek di tangan kiri Pak Sari yang baru saja disedotnya mendadak menunjuk ke arah jam dinding. Jarum sudah bertengger di angka 9. Ia langsung buka suara di depan mik. “Selamet lem malem penonton otabeh pendukung tim-tim see békal berlaga emalem mangkeng néng acara lomba tarik tambang!

naje tampar tarik tambang madura tapal kuda olahraga ekstrem

Pak Sari dari tengah arena sedang memandu jalannya laga.

Pagar bambu mengelilingi petak tanah kosong ukuran 20 x 5 meter. Di tengahnya, berjejer enam ceruk di tanah serta tali tambang yang membentang. Arena ini milik tim Panglima 212, tim asal desa setempat, Desa Wonorejo. Sedangkan pertandingan pembuka mempertemukan tim Calon Arang asal Desa Biting dan tim Jaguar dari Alasmalang. Siapa yang menang di antara mereka akan maju ke babak final.

Iklan

Tiap tim punya tiga ceruk. Ceruk terdepan yang paling dekat dengan titik perbatasan dengan area tim lawan, diisi dua pemain. Ceruk tengah diisi dua pemain. Ceruk paling belakang diisi satu pemain yang disebut bandol

Bandol tiap regu sudah mulai mengikatkan ujung tali tambang yang ukurannya sebesar pergelangan orang dewasa itu ke pinggangnya. Bandol lalu pasang kuda-kuda: kaki dibenamkan ke ceruk berpasir itu, kemudian mereka berdiri tapi sambil telentang. Empat pemain lain di dua ceruk depan, disebut penarik, sibuk mengetatkan cengkeraman tangan ke tali sembari mengatur tempo napas.

Pak Sari mulai memandu laga:

“Atur posisi! Atur posisinya! Enakno posisine!
“30 detik, siap-siap!”
“… 20 detik!”
“… 10 detik!”
“3… 2… 1… YAK MULAI!”

Ada sebuah patok yang dipasang di titik tengah tali tambang. Patok itu jadi panduan hakim garis buat memutuskan siapa pemenangnya, terpantau dari patoknya akan lebih condong ke arah mana. Saling tarik berlangsung tiga menit. Hasil akhir pertandingan ditentukan dari grup mana yang berhasil mengarahkan posisi patok ke wilayahnya di detik terakhir.

Sebelum hitungan mundur dimulai, tali tambang sudah diseret pol-polan oleh dua tim.

naje tampar tarik tambang madura tapal kuda olahraga ekstrem

Bandol dari regu Calon Arang dengan posisi telentang berusaha sekuat tenaga menahan tarikan lawan.

naje tampar tarik tambang madura tapal kuda olahraga ekstrem

Para penarik dari tim Calon Arang berusaha sekuat tenaga mengalahkan tim Jaguar. Lihat orang berjaket biru pakai peci di pinggir arena? Dia orang kepercayaan tim Calon Arang yang sedang memberi instruksi ke penarik.

naje tampar tarik tambang madura tapal kuda olahraga ekstrem

Penarik dari tim Sabu Sabu Nakal berteriak untuk memacu semangat personel lainnya. Mereka mulai kewalahan menahan tarikan tim Biantara.

Raungan para penarik pecah. Mereka berjibaku menarik tali karena jika sampai terseret, yang remuk bandolnya. Opsi krusial antara bertahan atau menyerah, yang menentukan adalah Bandol. Kalau penarik sudah kalah tenaga, pilihan bandol adalah menyerah, yang artinya kalah, atau bertahan, tapi badan bisa remuk seketika.

Iklan

3 menit berlalu.

“Hiyaaa! CALON ARANG seng menang!

Wajah bandol tim Calon Arang sudah ungu. Meringis, tersengal-sengal, menahan linu di sekujur urat. Para penarik langsung lompat keluar ceruk untuk membantu melonggarkan tali tambang yang mengikat pinggang bandol.

Bandol itu tertatih berdiri. Akhirnya ia dibopong teman-temannya menuju tengah arena untuk jabat tangan dengan semua personel tim Jaguar. 

“Tumpuan beban paling berat itu ada di bandol, risikonya paling besar,” bisik Bahrul, ketua panitia lomba malam itu. Ada kasus bandol yang terkilir, pingsan, patah tulang betis, sampai muntah darah. Tak pelak yang jadi bandol lumrahnya bertubuh gempal.

Risiko itu bisa dihindari asal bandol mawas diri, tidak memaksakan kemampuan badan dan mengoordinasi tiap personel kompak di tiap tarikan.

“Kondisi fisik semua personel grup harus dalam keadaan fit. Kalau ada salah satu personel yang kurang fit, secepatnya lapor biar diganti sama personel cadangan. Kalau enggak ada cadangan ya terpaksa yang main cuma empat personel saja atau mengaku kalah sebelum bertanding,” nasihat Ridwan, salah satu penarik grup Nampes.

Tenaga yang dihasilkan dari lima orang dalam satu grup amatlah maut, secara akal sehat tidak mungkin bisa diimbangi bandol sendirian. Untuk menyiasati “akal sehat” di perlombaan ini, ada yang istilahnya “orang kepercayaan” atau dukun selalu dilibatkan dalam laga.

Semua dilakukan demi menjaga keselamatan dan martabat desa.

Iklan

Di video TikTok barusan tampak bandol, pemain paling belakang yang memegang kendali akhir tali tambang, jumpalitan mempertahankan timnya. Laga ini terjadi di Dusun Tarek, Desa Pragaan Daya, Kecamatan Pragaan, Sumenep pada tanggal 20 Desember 2022 saat acara peringatan ulang tahun Partai Gerindra setempat. Video ditayangkan atas izin Dayat Ruler.

Adu otot dan adu dukun

Kompetisi naje’ tampar saat ini populer di seluruh wilayah Pulau Madura dan di kawasan Tapal Kuda yang banyak didiami warga ‘Madura swasta’, seperti Pasuruan, Probolinggo, Lumajang, dan Jember. Acara ini selain diadakan jelang tanam tembakau atau usai panen jagung, juga bisa ditemukan saat rokat desa (selamatan desa), peringatan Maulid Nabi, dan peringatan HUT Kemerdekaan.

Konon laga ini bermula dari Sumenep kemudian lambat laun menyebar ke daerah pesisir Jawa Timur yang berbatasan dengan selat Madura. Entah kebetulan atau tidak, skena kasti Madura juga tumbuh besar di Sumenep. 

Empat kabupaten Tapal Kuda tadi sering menyelenggarakan turnamen tarik tambang skala besar yang pendaftarnya sampai ratusan tim. Hadiahnya apa lagi, berderet dari sepeda motor, kulkas, sampai sapi dan kambing.

Iklan

“Kalau di Lumajang yang paling bergengsi itu ada Bupati Cup, total hadiahnya sekitar 20 juta,” ujar Bahrul sembari menunjukkan poster lomba.

Animo warga Lumajang terhadap tradisi ini selalu tinggi, namun karena pagebluk jadi sempat mandek tiga setengah tahun. Kompetisi bergulir kembali pada 2022 akhir, diawali panitia Desa Klampok Arum, Lumajang. Pada saat itu yang dipertandingkan hanya kelas bebas dan remaja.

“Saya ngerti tradisi ini itu sekitar tahun 2000-an, kalau pertama kali ikut lomba tahun 2008. Waktu itu ikut yang kelas anak-anak, 17 tahun ke bawah, dan hadiahnya satu ekor ayam,” tutur Bahrul.

Tiap daerah punya aturan main khas masing-masing. Lumajang identik dengan ceruknya yang hanya tiga dan durasi lombanya 3-5 menit saja. Di tempat lain, pemainnya lima orang dan tiap orang dapat satu ceruk. Lalu durasi tarik tambang juga tidak ada batas waktu, bisa sampai satu jam, bahkan lebih. Satu grup terdiri dari 7 orang, yakni 1 bandol, 4 penarik, dan 2 pemain cadangan.

Kompetisi ini punya ‘blacklist’ bandol yang dilarang ikut karena terlalu jago. Nama-namanya diterakan di dinding arena. “Biar lombanya tetap seru, yang sudah sering menang ya setop dulu, gantian sama yang baru ikutan. Yang sudah jadi pemenang biar ikut kelas berat atau umum saja, sudah bukan waktunya ikut kelas remaja,” ujar Ridwan yang timnya baru saja dikalahkan tim Bilis Getel.

Naje’ tampar punya lima kelas yang dipertandingkan. Anak-anak, remaja putra, perempuan, transpuan, dan umum (kelas berat). Yang saya saksikan malam ini adalah kelas remaja.

Iklan

“Untuk kelas remaja, peraturannya itu usia pemain maksimal 27 tahun, sebelum lomba dimulai juga wajib setor e-KTP asli sebagai syarat mutlak.” imbuh Bahrul.

“Kalau zaman dulu, hampir enggak ada peraturan. Kalau enggak dirombak… ya kasihan mereka yang umurnya belum mencukupi.

Biaya pendaftaran lomba ini terjangkau, Rp35 ribu/grup. Semua peserta naje’ tampar join mewakili desanya. Terkadang ada juga tim yang merupakan gabungan beberapa desa.

Duel sengit acap terjadi saat ada dua grup mewakili desa yang sama, lalu bertemu di liga yang sama.

Pelbagai cara ditempuh demi merebut kemenangan, bukan hanya kekuatan fisik dan taktik saja yang disiapkan. Jalur mistik seperti ritual dan rapalan tertentu pun dilakoni. Orang kepercayaan seperti kiai atau dukun jadi rujukan untuk meminta bantuan.

Pemain akan melakukan wirid surah-surah Al-Qur’an yang sudah dirapalkan oleh kiai. Kadang juga dipakai jimat, atau istilah Maduranya ‘kotèka’, untuk meminjam kekuatan entitas gaib.

Pemain pingsan dan tak sadarkan diri (kesurupan) adalah pemandangan lumrah saat nonton naje’ tampar. Orang-orang percaya ini akibat dari jimat dan ritual.

“Pernah juga kejadian, jadi ada grup yang fisik personelnya itu gede-gede, tapi kalah sama grup yang badanya kecil-kecil, dilihat saja sudah enggak masuk akal,” kata Ridwan, pemuda 25 tahun asal Desa Sukosari yang sejak lima tahun lalu sudah jadi penarik.

“Seperti yang barusan, dari tim Penawar Racun ada yang kesurupan, ya seperti tadi itu buktinya,” kata Pak Sari, yang merupakan sesepuh Desa Wonorejo.

Iklan

“Dukun itu memang dari dulu sudah ada, orang kepercayaan bagi tiap masing-masing tim lah istilahnya. Bantu pemain agar lebih kuat dan lebih aman. Malah ada yang sampai dukunnya ikut datang ke sini, ngawasin timnya. Ini diperbolehkan, tidak masalah, sah-sah saja,” Bahrul menimpali.

naje tampar tarik tambang madura tapal kuda olahraga ekstrem

Salah satu personel tim Penawar Racun kesurupan seusai laga. Panitia sigap turun tangan untuk menyadarkan.

Tingginya gengsi ketika jadi pemenang membuat kompetisi ini potensial kisruh. Karena itu tata tertib panitia jadi krusial. “Selalu saya ingatkan, kalau mau mendaftarkan diri, baca dulu tata tertib lomba mulai dari urutan yang pertama sampai terakhir, dipahami, diresapi, dan langsung ditaati,” tegas Pak Sari.

Cara mujarab menangkal kekisruhan adalah dengan mengingatkan peserta bahwa tradisi naje’ tampar bertujuan mempererat tali persaudaraan. Bukan yang lain.

Bertemu banyak peserta dari berbagai desa bikin perlombaan ini seru dan penuh tawa gara-gara ulah peserta nyeleneh. Usainya laga ini juga jadi awal mula para hadirin bertegur sapa dan berakhir saling kenal. Pertemanan dari sini bahkan bisa membantu dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam naje’ tampar, manusia-manusia super dari suku Madura ini bukan cuma beradu otot dan strategi untuk memenangkan lomba. Ada khazanah kebudayaan tentang karakter masyarakat Madura yang keras, nekat, tahan banting, namun tetap religius terpancar dari tradisi ini.