Tragikomedi Arsenal di Liga Champions
Sumber gambar: PA Images

FYI.

This story is over 5 years old.

Sepakbola

Tragikomedi Arsenal di Liga Champions

Inilah kisah di balik konsistensi kegagalan Arsenal menembus Babak 16 Besar Liga Champions enam kali berturut-turut.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports.

Hegel mengatakan peristiwa dan tokoh yang sangat penting dalam sejarah dunia sepakbola akan muncul setidaknya tujuh kali. Hegel lupa menambahkan: yang pertama kali muncul itu tragedi, enam kali sisanya adalah lelucon.

– Kutipan Karl Marx diambil dari esai 'Brumaire XVIII Louis Bonaparte', tentunya sudah dipelesetkan sesuka hati oleh penulis.

Nama Arsenal berpeluang kembali tercatat dalam sejarah. Jika dalam liga Champions musim 2017 klub asal Highbury ini takluk menghadapi Bayern Munich, artinya Arsenal gagal tujuh kali berturut-turut menembus babak 16 besar turnamen elit Eropa. Mari berandai-andai bahwa Arsenal bukan sebuah klub sepakbola. Anggap saja semacam band yang karirnya jeblok walaupun rutin bikin album. Untuk band semerana itu, mungkin kita akan bilang, "udahlah Bang cari karir lainnya saja." Kira-kira begitulah kondisi Arsenal saat ini. Dalam kompetisi sekelas Liga Champions, nasib Arsenal memang suram. Saban tahun mereka cuma jadi pesakitan di kompetisi klub tertinggi di benua Eropa itu. Bagaikan Sisifus, Arsenal terus berjuang masuk zona Eropa di Premier League, lolos babak penyisihan grup, untuk sekedar gagal lagi di babak 16 besar.

Iklan

Kita mungkin gatal ingin meneriakan "GAGAL MANING SON!" pada Arsene Wenger lalu bersikap bodoh dengan capaian Arsenal. Kecuali kalau kalian fans berat ya. Tapi setidaknya mari kita mencoba bersimpati. Catatan luar biasa mentok di babak 16 besar Liga Champion ini, yang tampaknya belum pernah dialami klub elit lainnya, bukan semata perkara salah urus manajemen. Oke mungkin ini akibat ketidakbecusan Arsene Wenger—kalau memang benar itu alasannya—sebagai alasan utama yang  terlintas di otak kita setiap kali menelaah alasan prestasi Arsenal jalan di tempat. Tapi, saya bisa menunjukkan bahwa faktor pelatih bukan satu-satunya alasan. Setelah pertama kali dibenamkan di babak 16 besar Liga Eropa oleh Barcelona pada musim kompetisi 2010/11, anak asuh Arsene Wenger terhitung banyak berbenah. Kita setidaknya bisa satu suara mengatakan bahwa kedalaman skuad Arsenal jauh lebih baik sekarang. Masalahnya, yang terjadi di lapangan tidak menunjukkan perbedaan berarti. Prestasi Arsenal yang kini dihuni bintang sekelas Mesut Ozil dan Alexis Sanchez tak kunjung membaik dibanding ketika skuad mereka diperkuat Robin van Persie, Cesc Fabregas, Emmanuel Eboue, dan Alex Song.

Barangkali masalahnya bukan di skuad. Bisa jadi apesnya Arsenal setiap masuk fase 16 besar Liga Champion karena lawan-lawan mereka memang jarang ada yang lemah. Sepanjang sejarah takluknya Arsenal di babak 16 besar liga Champion, The Gunners kalah secara berurutan dari Barca, AC Milan, Bayern Munich, Bayern Munich lagi, Monaco—ini kekalahan Arsenal yang paling memalukan—dan sekali lagi Barca. Kecuali Monaco, semua lawan yang dihadapi Arsenal adalah klub seram yang pada masanya sedang dalam performa terbaik. (Meski AC Milan kelihatan biasanya saja akhir-akhir ini, ketika menumbangkan Arsenal, klub legendaris Italia itu sedang hebat-hebatnya. Skuad mereka kala itu diperkuat oleh Clarence Seedorf, Mark van Bommel, Zlatan Ibrahimovic, dan Robinho. Semua pemain tadi sedang di masa jayanya). Arsenal pun selalu terkuras tenaganya di fase grup. Kecuali musim kompetisi 2011/12, ketika Arsenal berhasil mengangkangi Marseille, Olympiakos, dan Borussia Dortmund dalam fase grup, klub London Utara ini harus menghadapi musuh-musuh yang berat karena Arsenal paling mentok jadi runner up grup.

Iklan

Posisi ini memiliki kerugian psikologis tersendiri karena artinya selepas fase grup Arsenal ditempatkan sebagai klub inferior dan gampang dikalahkan. Ketika para pemain Arsenal gagal mencapai posisi puncak di fase grup, sudah barang tentu susah membayangkan tim ini bisa melaju lancar sampai ke final. Alhasil, saat harus menghadapi klub lain yang berhasil jadi juara fase grup tanpa sekalipun kalah, skuad Arsenal masuk ke lapangan dengan kondisi mental yang lebih buruk dari lawannya. Arsenal—layaknya klub bola terhormat lainnya—pasti berusaha mati-matian melewati klub semengerikan Barca.  Masalahnya mengawali pertandingan berat setelah momentum yang tersendat-sendat di fase grup, jelas bukan modal bagus. Apalagi untuk tim sekelas Arsenal.

Harus diakui, kekalahan tipis atas Barcelona pada 2011 lumayan menunjukkan taji Arsenal di hadapan calon juara Eropa tahun itu. Sayang, nasib apes memang susah ditolak. Kalau saja Robin Van Persie tak dihadiahi kartu merah gara-gara menendang bola setengah detik setelah wasit meniup peluit, barangkali Arsenal bisa melanggang ke Nou Camp dan tak akan mengalami nasib buruk kalah enam kali berturut-turut di fase 16 besar. Kekalahan tersebut—serta kekalahan atas Milan dan Bayern Munich di musim selanjutnya—menumpuk beban psikologis yang berat bagi anak asuh Arsene Wenger. Skuad Arsenal mungkin saja dalam hati gemetar dan gugup jika lolos fase penyisihan grup.

Iklan

Saat sebuah tim berkali-kali angkat koper di fase yang sama dalam sebuah kompetisi, kita bisa dengan mudah melihat masalah utamanya ada pada mental para pemain. Kira-kira seperti itulah yang terjadi ketika Arsenal bertemu Monaco pada Liga Champions 2015, sebuah pertandingan yang di atas kertas bakal dimenangkan oleh The Gunners. Itulah peluang terbesar Arsenal menembus 16 besar Liga Champion, mematahkan kutukan mereka. Untung tak dapat diraih, malang tak sanggup ditolak. Meski diperkuat oleh Ozil, Sanchez, Olivier Giroud, dan Santi Cazorla, Arsenal kalah memalukan 3-1 dalam leg pertama yang digelar di Stadion Emirates, gara-gara permainan ciamik midfilder Monaco, Geoffrey Kondogbia. Mental pemain Arsenal waktu jatuh, sejatuh-jatuhnya. Pada babak kedua pertarungan itu, skuad The Gunners sampai membiarkan Dimitri Berbatov—striker yang tergolong uzur—mencetak gol.

Foto oleh PA Images

Di leg kedua melawan Monaco, Arsenal memang berjaya, mencetak dua gol tanpa balas. Tapi, hasil itu tak cukup menutupi defisit gol tandang Arsenal. Salah satu aspek paling aneh dari kegagalan enam kali berturut menembus fase 16 besar ini adalah fakta Arsenal selalu kalah  memalukan di leg pertama, lalu kemudian menang heroik di leg kedua. Tragisnya, hasil leg kedua selalu tidak cukup menebus defisit agregat gol yang mereka derita. Pada tahun 2012, Arsenal dibantai 4-0 pada leg pertama di kandang Milan, Stadion San Siro. Arsenal membalas di leg kedua dengan skor meyakinkan 3-0. Setahun kemudian, Arsenal dipermalukan Bayern Munich di kandang sendiri 3-1 sebelum menang dua gol tanpa balas di lega kedua di stadion Allianz. Saat itu Arsenal diperkuat Carl Jenkinson di sayap kanan dan si pemberang Lukasz Fabianski di bawah mistar gawang.

Iklan

Pola ini makin menunjukkan problem psikologis kronis yang merundung Arsenal. Pertanyaannya jelas, kenapa Arsenal hanya mampu bertaji di leg kedua pertandingan, setelah hancur lebur di laga pertama? Kesannya setiap pemain sejak jauh-jauh hari yakin bakal tersingkir di babak 16 besar. Nah, kalau memang demikian, heroisme yang ditampilkan di leg kedua sejatinya hanya usaha menyelamatkan muka Arsenal saja. Barangkali, di benak pemain Arsenal, ada pikiran seperti ini "Okelah kita bakal habis di babak 16 besar, tapi kita akan melawan, tapi entar aja di leg kedua." Bagi Arsenal, babak 16 besar telah jadi momok yang mengerikan sampai-sampai mereka punya tujuan mulai di saban gelaran Liga Champion sejak tahun 2011: masuk final itu mustahil, tapi setidaknya mari kita kalah terhormat di babak 16 besar. Konsistensi luar biasa!

Musim lalu, misi "sederhana" lolos ke perempatfinal masih saja gagal dicapai. Bertemu raksasa Barcelona di 16 besar, Arsenal bahkan tak bisa menang gemilang di leg kedua seperti biasanya. Arsenal digasak 3-1 di Nou Camp. Skor memalukan kembali diperoleh The Gunners di kandang sendiri. Gawang mereka dijebol 2 kali tanpa balas. Jika kita memang harus mencari alasan melempemnya Arsenal tahun lalu di babak 16 besar Liga Champions, maka kita setidaknya bisa berkilah bahwa kala itu Arsenal tengah mengalami serangkaian kekalahan. Sebelum laga leg pertama melawan Barca, Arsenal hanya mampu menang dua kali dari enam pertandingan liga domestik Inggris. Dan catatan kekalahan ini bertambah panjang setelah anak-anak London Utara tersingkir dari Liga Champions. Mereka harus menelan kekalahan dari Manchester United lalu digasak Swansea. Bahkan, ketika berjumpa Tottenham Hotspurs tak lama  kemudian, anak buah Arsene Wenger cuma bisa membawa pulang skor kacamata. Di Piala FA, hasil jelek juga seakan lengket dengan citra The Gunners. Mereka tersingkir oleh klub sekelas Watford.

Iklan

Rentetan kekalahan tengah musim ini semacam gejala yang selalu dihadapi Arsenal. Babak 16 besar Liga Champion biasanya berbarengan dengan pertengahan musim Premier League, masa yang kerap dilalui Arsenal berdarah-darah. Sudah menjadi kewajiban sepertinya bagi skuad Arsene Wenger untuk memulai liga secara gagah hanya untuk menutup liga dengan ngos-ngosan. Sebelum dibantai di San Siro pada tahun 2012, Arsenal terlebih dahulu menelan tiga kekalahan dari enam pertandingan terakhir di Premier League. Lalu, ketika digasak Bayern Munich pada tahun 2013, catatan mereka di Premier League juga sedang jauh dari kata lumayan. Sebelum menghadapi Bayern, mereka kalah dua kali dan dua kali pula seri dalam tujuh pertarungan terakhir di Premier League. Selang setahun kemudian, ketika Arsenal kembali ditundukkan Bayern Munich, Arsenal baru saja dibantai di kandang sendiri dengan skor akhir 1-5 setelah melalui hasil seri dan beberapa kemenangan yang kurang meyakinkan.

Melihat kebiasaan jelek macam ini, tak perlu heran bila kemampuan manajerial sang arsitek Arsenal yang jadi sorotan. Setelah tersingkir enam kali dari babak 16 besar Liga Champion, sepertinya sah-sah saja bila pecinta sepakbola mempertanyakan kinerja Arsene Wenger. Pertanyaan yang sama akan muncul jika kita melihat rekam jejak Arsenal di liga domestik. Fans klub London Utara ini barangkali sudah terlalu bosan atau malah terbiasa melihat usaha mengejar posisi puncak klasemen Premier League selalu kandas di titik yang sama. Mereka juga sudah terbiasa—seterbiasa mereka melihat matahari terbit di pagi hari—menyaksikan konsinstensi bobroknya performa Arsenal di Liga Champion, serta terulangnya persiapan Arsene Wenger yang berantakan menghadapi kompetisi nomor satu di benua Eropa. Okelah Wenger barangkali tak harus menanggung dosa ketika Arsenal gagal melewati klub sekelas Monaco, tapi ketidakbecusan Arsene Wenger terjadi karena dia tak bisa membawa anak asuhnya melewati babak penyisihan grup lebih mulus. Setidaknya juara grup deh. Imbasnya, Arsenal selalu mendapatkan hasil undian tak menguntungkan di fase knockout. Seringnya Arsenal kalah atau seri dari tim-tim semenjana Eropa pada fase grup Liga Champions menunjukkan kelas Arsene Wenger yang sebenarnya di Benua Biru.

Setidaknya, ejekan saya tidak berlaku untuk musim ini. Kita wajib angkat topi bagi Arsene Wenger. Anak asuh Wenger tak pernah kalah sekalipun di fase grup. Per Mertesacker dkk bahkan bisa mengangkangi PSG yang bertabur bintang. Jika kemudian hasil undian memaksa mereka kembali berseteru dengan Bayern Munich, bolehlah kita menganggapnya sekadar nasib buruk. Seandainya tak bertemu Munich, beberapa orang barangkali berani optimis memperhitungkan kemungkinan Arsenal lolos ke babak 8 besar.

Era emas liga Inggris telah lama lewat. Sepanjang kurun 2005 hingga 2012 delapan klub yang masuk final Liga Champion asal Inggris. Tapi kini, situasi tak lagi sama. Premier League bukan lagi pusat persepakbolaan benua biru. Belakangan, klub Inggris malah tak pernah sampai ke semifinal Liga Champions karena bertumbangan di fase awal knockout. Dengan catatan seperti ini, gagal melewati fase 16 besar enam kali berturut-turut adalah sebuah torehan sejarah tersendiri bagi Arsenal, sebuah karakter klub yang mulai jauh tertinggal dari kawanannya. Dari semua klub yang lolos ke fase knockout Liga Champion tahun ini, sepertinya tak banyak yang bertaruh untuk Arsenal. Apalagi ada pilihan seperti Sevilla, Napoli, Atletico Madrid, apalagi nama besar seperti Barca, Juventus dan Real Madrid.

Maka mari kita jujur, kalau kita mengesampingkan alasan psikologis, permasalahan skuad, atau ketidakbecusan manajerial, akhir-akhir ini Arsenal memang sudah tak sanggup berbicara banyak di liga elit benua biru. Biarpun skuad Arsenal berevolusi dan perlahan menunjukkan perkembangan yang positif, klub London yang didirikan 131 tahun lalu ini jauh tertinggal dibanding kompetitornya di papan atas sepakbola Eropa. Memang, Arsenal pernah hampir merebut Trofi Champions 11 tahun lalu. Prestasi yang berselang 11 tahun itu rasanya seperti satu abad di era sepakbola modern. Sekarang, membayangkan Arsenal mengalahkan Juventus dan Real Madrid di ajang Liga Champion bagaikan mimpi di siang bolong. Untunglah kita semua hanya penikmat sepakbola. Bagi penggemar The Gunners, fakta itu merupakan duka yang tampaknya tak kunjung berakhir. Konsistensi gugurnya Arsenal di babak 16 Liga Champion enam kali berturut-turut merupakan salah satu skenario lelucon tragis terbaik abad ini.