FYI.

This story is over 5 years old.

Opini

Begini Caraku Memahami Konsep Identitas Sebagai Tionghoa Muslim Berdarah Jawa

Aku ingin tak lagi dianggap wakil etnis berbeda-beda, saat berinteraksi sama orang lain di Indonesia. Diriku yang utuh memang seperti ini adanya.
Pengalaman jadi anak percampuran Tionghoa dan Jawa muslim
Penulis artikel ini bersama kedua orang tuanya. Semua foto diunggah dari arsip pribadi Carissa Atrianty

Ketika usiaku masih delapan tahun, ibu menyuruhku pergi ke pesta perayaan Imlek yang diadakan salah satu saudara jauh. Aku pergi bersama dua sepupu sepantaran denganku. Kami enggak kepikiran sama sekali kenalan dengan anggota keluarga lain. Kami datang ke sana cuma demi berburu angpau.

Aku belajar melafalkan bahasa Mandarin supaya dapat salam tempel. Aku memastikan enggak salah intonasi saat ngomong nanti. Aku mengekor di belakang sepupu, yang tiba-tiba berhenti di depan tetua yang sedang duduk. Mereka lancar ngomong bahasa Mandarin. Sesepuh kami tersenyum mendengarnya dan memberikan angpau. Sekarang tiba giliranku.

Iklan

“Xi nian kuai le. Shen ti jian kang wan shi ru yi.”

“Selamat Tahun Baru,” kataku. “Semoga hidupmu sejahtera dan selalu dilimpahkan kesehatan.”

Mereka tak lagi tersenyum. Salah satu dari mereka bahkan memicingkan matanya saat mengamatiku. Sebelum memberikan amplop, dia menoleh ke perempuan di sebelahnya dan ngomong dengan cepat dalam bahasa Mandarin. Sepanjang malam itu, para sepupuku sangat mudah menerima angpau. Sementara itu, saudara jauh selalu menatapku dengan bingung setiap mau kasih amplop kepadaku.

“Pasti karena penampilanmu,” kata ibuku setelah pesta. “Mereka enggak tahu kamu anak siapa.”

Aku baru menyadari maksud ucapan ibu 10 tahun kemudian. Aku melihat perjuanganku selama 10 tahun belakangan ketika ngaca di depan cermin.

Pada 1940-an, kakek-nenek dari pihak ibuku memboyong keempat anaknya, termasuk ibuku dan saudaranya, ke Indonesia dari Tiongkok Daratan. Mereka enggak kenal siapa pun di negara asing ini. Keluarga ibu pindah ke Indonesia untuk mencari nafkah. Di sisi lain, keluarga ayahku sudah menetap di Jawa dari generasi ke generasi. Keluarga ayah semuanya umat Muslim yang taat.

1549262573745-CarissaAtrianty_ViceAsia_Image2

Inilah orang tua penulis artikel ini.

Ayah dan ibu suatu hari bertemu dan saling jatuh cinta. Selama 10 tahun, baik keluarga ibu maupun ayah sama-sama enggak merestui hubungan mereka yang beda agama dan ras. Akhirnya, ibu menjadi mualaf, agar bisa menikah dengan ayah. Aku pun lahir dan dibesarkan sebagai orang Muslim di lingkungan agama beragam. Hubungan kedua keluarga lambat laun membaik, dan enggak setegang yang kubayangkan. Aku sendiri cukup terkejut ketika melihat hubungan kami jadi lebih erat setelah ibu meninggal.

Iklan

Akibat fisikku yang khas anak ras campuran, aku enggak pernah mendapat perlakuan rasis yang berlebihan selama tumbuh dewasa di Indonesia. Namun, aku menyadari kalau orang-orang mempermasalahkan ambiguitas ras, ketika aku beralih dari satu etnis ke etnis lain. Waktu itu, rekan kerjaku tiba-tiba saja memperdebatkan etnisku saat kami sedang makan siang. “Enggak mungkin lah. Mata dia kayak orang Jawa kok,” kata salah satu dari mereka. “Dia enggak mungkin orang Cina. Kulitnya gelap banget!” begitu kata teman yang lain.

Pada situasi sosial berbeda, misalnya saat aku lagi kumpul bareng teman-teman keturunan Tiongkok, mereka akan mengatakan hal sebaliknya. Aku baru menyadari kalau setiap kelompok etnis punya pandangannya sendiri tentangku. Aku merasa hidupku selama ini mirip fenomena perdebatan online baju putih/biru.

Seumur hidup, aku selalu bertanya-tanya tentang identitasku yang sebenarnya. Bisakah aku menjadi bagian dari satu etnis saja? Aku rasa jawabannya enggak. Aku keturunan Tiongkok dan Jawa, tapi aku juga merasa enggak cocok dibilang orang Jawa atau WNI beretnis Cina. Aku sering kesulitan menghadapi kenyataan ini, tetapi di sisi lain, ada sesuatu yang indah dari dua budaya campuran yang begitu kaya dan unik.

1549262681439-CarissaAtrianty_ViceAsia_Image3

Penulis artikel ini dan mendiang ibunya.

Ibu enggak mau aku melupakan warisan budaya Cina darinya. Dia tetap mengajarkanku bahasa Mandarin sejak kecil. Sedangkan ayah tak pernah bosan mengajarkanku tata krama Jawa dan nilai-nilai Islam. Aku memanggil tante dari ibu “Bude” sementara “Yiyi” untuk keluarga dari ayah. Aku kadang menyalakan dupa untuk menghormati kakek-nenek dari ibu. Meskipun itu bertentangan dengan kepercayaan Islam, ayah toh menerima tradisi itu sebagai bagian dari identitasku.

Iklan

Makan daging babi adalah tantangan terbesar. Babi diharamkan dalam Islam, tetapi dianggap makanan pokok bagi keluarga Tionghoa. Ibu memang sudah pindah agama, tapi dia masih suka makan babi setiap kami pergi tanpa ayah. Mungkin ibu cuma kangen dengan makanan khas keluarganya.

Setidaknya, aku beruntung enggak pernah mengalami prasangka rasial. Pernah dapat candaan rasis, sih, tapi aku enggak merasa terganggu sama sekali. Butuh lima tahun bagiku menyadari betapa beruntungnya punya budaya dan didikan campuran. Aku bukan setengah Tiongkok, setengah Jawa. Identitas campuran itulah diriku sepenuhnya. Aku orang Indonesia keturunan Tionghoa generasi ketiga dari pihak ibu, dan orang Jawa generasi kesekian dari sisi ayah.

Lain kali, jangan kaget kalau kamu ketemu perempuan berkulit gelap, berhidung pesek dan bermata besar yang mengenakan cheongsam, lalu ngomong “ Xi nian kuai le” saat Tahun Baru Imlek. Siapa tahu kalian ketemu denganku—atau manusia Indonesia lain sepertiku.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE ASIA.