Pelanggaran Privasi

Tanpa Aturan Main yang Jelas, CCTV Pendeteksi Wajah ala Surabaya Langgar Privasi Warga

Kriminolog minta pemkot siapkan perangkat aturan hukum sebelum menghubungkan CCTV dengan data kependudukan. Salah-salah hak menyatakan pendapat malah dilanggar.
Tanpa Aturan Main yang Jelas, CCTV Pendeteksi Wajah ala Surabaya Langgar Privasi Warga
Ilustrasi kamera CCTV di ruang publik Indonesia. Foto via Wikimedia Commons/lisensi CC 3.0

Teknologi pendeteksi wajah pada kamera pengintai (CCTV) memang belum terlalu populer di Indonesia. Tapi sebentar lagi Surabaya bakal jadi kota pertama yang akan menerapkan sistem facial recognition lewat CCTV. Hal tersebut diungkapkan Walikota Surabaya Tri Rismaharini akhir pekan lalu.

Risma, panggilan akrab politikus 57 tahun itu, pernah mengungkapkan keinginannya buat memasang CCTV pendeteksi wajah Oktober 2018. Namun keinginan itu agaknya bakal terwujud tahun ini. Risma mengatakan, ribuan CCTV berbekal piranti lunak pendeteksi wajah akan dipasang di jalanan penjuru kota Surabaya. Nantinya sistem tersebut bakal terkoneksi dengan data kependudukan.

Iklan

"Jadi kelebihannya di situ, kan kita tidak tahu orang itu siapa (pelaku), maka dapat di zoom wajahnya lalu kami hubungkan dengan data kependudukan, jadi kita sudah siapkan itu," kata Risma.

Dinas Perhubungan Surabaya bakal menjadi penanggung jawab pemasangan alat tersebut. Setidaknya ada 1.480 unit CCTV yang tersebar di 16 titik. Risma mengatakan sebelumnya pemerintah kota Surabaya sudah memasang beberapa kamera CCTV di terminal bus buat menangkal praktik calo dan mendeteksi pendatang.

Hingga kini belum jelas apakah kamera tersebut sudah memberikan hasil optimal. Tapi yang jelas, Risma sudah ingin memasang kamera CCTV di setiap pintu masuk kampung. Nantinya Pemkot Surabaya akan bekerjasama dengan aparat penegak hukum dan bakal dirilis November.

"Sekarang ini kita sedang setting peralatannya. Kebetulan ini kami buat sendiri software-nya, jadi membutuhkan waktu cukup lama. Mudah-mudahan akhir tahun ini November kelar," imbuh Wali Kota Surabaya itu.

Target jumlah CCTV yang akan dipasang pemkot Surabaya masih jauh dibandingkan Jakarta. Pada Februari 2018, Jakarta baru punya 6.000 unit kamera, dengan target mencapai 60.000 unit. Pemprov Jakarta juga belum punya rencana buat memasang sistem pendeteksi wajah di CCTV. Namun saat ini Polda Metro Jaya punya teknologi kamera yang mampu menembus kaca mobil buat memastikan pengendara memakai sabuk pengaman dan tidak bermain ponsel.

Indonesia sebenarnya tidak masuk ke daftar negara yang warganya paling diawasi CCTV. Cuma Tiongkok yang tampaknya bakal terus memegang predikat negara dengan jumlah CCTV terbanyak di dunia. Pada 2020, Tiongkok diprediksi bakal memiliki 626 juta kamera CCTV atau setara satu kamera buat dua orang. Yang paling terdengar distopian, Tiongkok kini punya teknologi yang bisa memantau orang dari jarak 45 kilometer, plus merekam suaranya.

Iklan

Persoalan kamera pengintai ini memang bak dua sisi mata uang. Pemerintah bersikeras bahwa ini demi keamanan publik dan nasional. Di sisi lain, persoalan perlindungan privasi seperti tak pernah masuk dalam diskursus.

Bisa jadi, apa yang tengah direncanakan Pemkot Surabaya bakal diikuti oleh kota/kabupaten lain. Lantas bagaimana etika dan hukum penggunaan CCTV?

Kriminolog dari Universitas Indonesia Mohammad Irvan Olii mengatakan persoalan privasi adalah hal yang masih akan terus menjadi momok dalam perkembangan teknologi. Menurut Olii, kota besar dengan segala kompleksitasnya memang memerlukan pengawasan, tapi harus jelas siapa yang punya wewenang untuk mengawasi, apakah polisi atau pemerintah.

"Jangan sampai terjadi penyalahgunaan, ketika gambar rekaman digunakan bukan demi kepentingan umum,” kata Olii kepada VICE Indonesia. "Yang paling utama jangan sampai hak privasi dan hak menyatakan pendapat dilanggar."

Yang jelas, teknologi CCTV seharusnya bisa mengungkap tak cuma sekedar maling kelas teri, tapi juga kasus besar yang selama ini belum terungkap. Seperti kasus penyerangan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, yang tak jelas juntrungannya meski tim gabungan pencari fakta sudah dikerahkan. Tim pencari fakta malah sempat menyalahkan bukti rekaman CCTV penyerangan yang kurang jelas gambarnya.

Rekaman CCTV juga seharusnya bisa menjadi alat bukti untuk mendalami kasus kerusuhan pasca Pilpres yang pecah 22 Mei lalu. Komnas HAM menyatakan telah mengumpulkan bukti dari rekaman kamera pemantau di sekitar lokasi kejadian, namun hingga kini belum juga ada titik terang.

Jangan sampai deh kamera CCTV jadi alat yang justru mendiskriminasi warganya, kayak di Tiongkok yang bisa mengetahui ranking sosial dan skor kredit cuma berdasarkan wajah. Kalau sudah begitu episode Nosedive di Black Mirror dan novel 1984 karya George Orwell tak lagi menjadi kisah fiksi.