FYI.

This story is over 5 years old.

Dunia peri

Dua Siswi Sekolahan Ini Termasuk Pelopor Hoax, Bikin Orang Percaya Peri Bisa Difoto

Berbekal tusuk konde, kardus-kardus, serta kamera pinjaman, Elsie Wright bersama Frances Griffith menciptakan Cottingley Fairies—salah satu hoax fotografi terbesar Abad ke-20.
Seluruh foto milik Science and Society Picture Library

_Artikel ini pertama kali tayang di Broadly
_
Berita palsu, hoax, ataupun foto editan mungkin terkesan seperti fenomena yang lumayan baru. Padahal sebenarnya praktik kibul-kibul kayak gini sudah ada lebih lama dari yang kita kira. Salah satu pelopor hoax beraksi tepatnya seratus tahun silam. Kelakar yang dibuat dua perempuan muda jadi heboh di luar perkiraan dan berhasil menipu dunia, termasuk anggota elit terhormat di Inggris. Mereka semua menjadi percaya bahwa peri benar-benar nyata.

Iklan

Elsie Wright, yang pada saat itu berusia 16 tahun, dan Frances Griffith, saat itu berusia 9 tahun, adalah dua sepupu yang tinggal di Cottingle, wilayah suburban di Yorkshire. Mereka sering main di sekitar aliran sungai di taman Wright, dan pulang dengan pakaian basah kuyup. Alasan mereka untuk menimpali omelan ibu masing-masing gara-gara pulang telat adalah mereka ke aliran sungai untuk “melihat peri.” Ayah Wright, seorang fotografer amatir, meminjamkan mereka kameranya supaya mereka bisa membuktikannya. Sisanya bisa ditebak sendiri.

Lima foto Cottingley Fairy yang ikonik, kini dipajang pada National Science and Media Museum dekat Bradford bersama dua kamera yang digunakan untuk memotret, menarik perhatian media dan spiritualis tersohor seperti penulis Sherlock Holmes, Sir Arthur Conan Doyle. Ayah Wright tidak percaya bahwa foto-foto makhluk mungil bersayap yang membawakan kedua perempuan tersebut bunga benar adanya, namun ibu Wright percaya. Jadi dia membawa kedua perempuan tersebut menemui Theosophical Society untuk meminta pendapat sekunder.

Foto milik Science and Society Picture Library

Society spiritualis Inggris dengan antusias mengumumkan bahwa foto-foto tersebut nyata dan mulai berkampanye secara besar-besaran untuk meyakinkan orang-orang atas keotentikannya, sebagai bagian dari kepercayaan mereka terhadap hal-hal spiritual. Pada 1920, Conan Doyle menggunakan foto-foto tersebut untuk mengilustrasikan artikel yang dia tulis soal keberadaan peri. Seorang cenayang juga mengunjungi rumah keluarga tersebut di Cottingley, mengklaim dia melihat peri di mana-mana.

Iklan

“Ini merupakan momen ‘terkenal’ mereka yang pertama,” ujar Geoff Belknap, kurator fotografi dan teknologi fotografis di Museum Sains dan media. “Karena diasosiasikan dengan seseorang seperti Conan Doyle, yang tampaknya memercayai mereka, mereka jadi memiliki kredibilitas. Ada alasan mengapa mereka jadi dipercaya—ada cukup unsur yang membuatnya dipercaya.”

Bagi kita, foto-foto tersebut jelas tampak palsu—potongan gambar-gambar dari sebuah buku dan ditempel ulang pada kardus dan, sebagaimana diakui Griffiths kemudian, dihias oleh tusuk konde. Bahkan ekspresi perempuan-perempuan itu, yang datar saja saat memandang ke kamera, tampak begitu ‘diatur’. Jadi mengapa ada begitu banyak orang yang percaya?

Foto milik Science and Society Picture Library

“Foto-foto itu tampak palsu bagi kita karena kita telah melihat begitu banyak gambar. Manipulasi foto sekarang sangat mudah, jadi tingkat skeptisisme kita juga sudah banyak berubah,” ujar Belknap. “Orang-orang di zaman itu biasanya melihat foto-foto tersebut dalam buku atau koran, sehingga tidak memberikan cukup kedalaman. Fakta bahwa kamu tidak bisa melihat bahwa peri tersebut berada di tanah karena eksposur kamera menyembunyikan tusuk kondenya, dan hal ini membuatnya tampak kredibel.”

Fotografi spiritualis telah populer sejak 1870-an, di mana eksposur ganda digunakan untuk membuktikan keberadaan “penampakan,” “Orang-orang memandang foto-foto fenomena paranormal ini cukup sering selama akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20,” ujar Belknap. “Yang membuat foto-foto Cottingley berbeda adalah hal tersebut merupakan manipulasi adegan, tapi bukan manipulasi pada rol filmnya.”

Iklan

Pemilihan waktu foto-foto tersebut, yang menjadi perhatian publik satu tahun setelah berakhirnya PD I, juga merupakan faktor penting. “Pada masa-masa perang atau di saat tingkat kematian tinggi, spiritualisme dan keyakinan-keyakinan yang kurang terang mudah dikapitalisasi,” imbuh Belknap.

Sebagaimana hal viral apapun, perhatian media pada foto-foto tersebut mulai pudar setelah beberapa bulan, menyebabkan apa yang disebut Belknap sebagai “periode dormansi.” Hingga pada 1966, saat seorang reporter dari koran Daily Express menemukan Wright, yang bilang dia hanya “memotret pikirannya saja.” Hal ini menimbulkan daya tarik baru pada kedua sepupu tersebut dan foto-foto mereka; mereka bersikeras telah melihat peri-peri, namun mulai memberikan keterangan-keterangan yang tidak konsisten.

Foto "Fairy Bower" milik Science and Society Picture Library

Pada 1983, kedua perempuan tersebut akhirnya menyampaikan pada majalah The Unexplained bahwa foto-foto tersebut rekaan dan menjelaskan cara mereka membuatnya—namun menambahkan bahwa mereka benar-benar melihat peri di Cottingley. Keterangan tersebut mendorong Geoffrey Crawley, seorang editor fotografer tersohor, menginvestigasi dan menyimpulkan bahwa foto-foto tersebut palsu. Dua tahun kemudian, Wright menyampaikan pada reporter teve bahwa dia dan Griffiths kadung malu untuk jujur setelah seseorang seperti Conan Doyle memercayai mereka.

“Saya rasa sebagian besar soal mengapa mereka memertahankan kisah mereka adalah: mereka tidak ingin merusak reputasi orang-orang dan mereka tidak ingin mendiskreditkan semua orang yang memercayai mereka,” ujar Belknap. “Saya rasa mereka tidak ingin menunjukkan bahwa orang-orang tertipu atau ada unsur hoax di dalamnya, saya rasa mereka tidak ada maksud jahat sama sekali.”

Iklan

Menariknya, kedua sepupu tersebut mengaku bertanggung jawab karena diam, dan foto yang paling kontroversial, dinamai “The Fairy Bower” oleh Conan Doyle. Tak satupun dari mereka tampak di situ; foto tersebut hanya menunjukkan peri-peri menari dia tas rumput. Para perempuan tersebut tidak ada di foto. Wright bilang itu palsu, namun sepupunya sampai ia meningga dunia pada 1989 mengaku bahwa foto tersebut otentik.

Pada 2009, anak perempuan Griffith Christine Lynch muncul di acara teve Inggris Raya bernama Antiques Roadshow mendeklarasikan, sebagaimana ibunya, bahwa foto kelima otentik. “Sepemahaman Griffiths, peri-peri merupakan bagian dari alam, mereka tinggal di sekitar anak sungai bersama makhluk-makhluk liar yang tinggal di sana,” ujar Lynch pada koran Telegraph & Argus.

“Foto-foto ini rekaan, dan terlepas dari apakah palsu atau otentik, yang terjadi adalah mereka menjadi objek kepercayaan orang-orang,” ujar Belknap. “Itulah pada dasarnya yang kita lakukan pada seuruh image—kita menambahkan interpretasi kepercayaan kita sendiri di atas segalanya.”

Apa yang menjadi peninggalan foto-foto tersebut sekarang? Bagi Belknap, ini adalah fakta bahwa mereka telah “menjadi bagian dari kehidupan publik.”

“Kita enggak akan ngomongin soal mereka kalau foto-foto tersebut hanya nangkring di album foto keluarga atau dihancurkan. Fakta bahwa mereka mendapatkan perhatian publik yang begitu besar, dan banyak sekali orang-orang yang membicarakan soal mereka menjadikan mereka objek yang menarik.

“Sulit memahami mengapa kedua perempuan ini memotret foto-foto itu. Saya enggak berpikir mereka tidak memotret dengan harapan akan menyebarkan hoax, mereka hanya dua sepupu yang bermain bersama dan bersenang-senang—namun foto-foto tersebut menjadi topik hangat sehingga sulit bagi mereka untuk menarik diri.”