Menengok Para Muazin Yang Menyeru Panggilan Tuhan
Semua foto oleh Iyas Lawrence dan Bambang Noer Ramadhan.

FYI.

This story is over 5 years old.

Idul Adha

Menengok Para Muazin Yang Menyeru Panggilan Tuhan

Para muazin selalu mengumandangkan azan, termasuk di hari raya Idul Adha seperti sekarang. Fotografer VICE Indonesia menyambangi masjid seputaran Jakarta, merekam pengabdian mereka.

Azan pertama kali dikumandangkan di Kota Suci Madinah oleh Bilal Bin Rabah, lebih dari satu milenium lalu. Sejak itu, turun temurun umat Islam di seluruh dunia meneruskan tradisi panggilan salat itu tanpa putus—lima kali sehari. Bagi penduduk Indonesia, azan adalah bagian tak terpisahkan kehidupan semua orang. Panggilan Tuhan itu terdengar dari sudut-sudut kampung, kantormu yang terletak di lantai belasan, hingga di apartemen mewah pinggiran kota. Seruan salat ini bagaikan musik yang tak henti-hentinya mengalun. Terutama pada hari raya Idul Adha yang jatuh hari ini.

Iklan

Untuk merayakan hari suci umat Islam ini, VICE mengirim dua fotografer andalan kami untuk merekam sosok yang tak banyak disorot: para muazin. Merekalah yang berjasa melantunkan azan dan beragam puja-puji bagi kebesaran Tuhan dengan suara lantang, meski dirinya sendiri tak dikenal orang.

Azan mungkin punya pakem dan pelafalan yang tidak bisa diganti manasuka. Namun perkara melagukannya, setelah kami mengelilingi masjid di pusat, utara, selatan, timur, maupun barat Jakarta, tiap muazin punya cara berbeda-beda. Begitupun teknis mereka mengumandangkan azan. Contohnya muazin Masjid Istiqlal. Sosok muazin masjid raya itu keluar dari pintu besar dekat tempat imam, langsung menuju ke tanpa mengucapkan sepatah kata pun pada jamaah. Ada kesan agung di sana. Sebaliknya, di masjid kecil kawasan Kebon Jeruk, muazin sekaligus marbot bercengkrama bersama jamaah lebih dulu sebelum melaksanakan tugasnya.

Tentu saja perbedaan ini bisa muncul lantaran tidak semua masjid memiliki muazin khusus. Kadang, tugas menyerukan azan dipikul oleh mereka yang dituakan atau merasa mampu. Mereka cukup diketahui jasanya lewat suara, tanpa perlu terlihat sosoknya. Karena itulah, menjadi muazin sebentuk pengabdian dalam bentuk paripurna.