FYI.

This story is over 5 years old.

Liga Inggris

Beneran Enggak Sih Era Kejayaan Sepakbola Inggris Ada di Dekade 90-an?

Zamannya itu tuh... Zaman Eric Cantona sering bersenang-senang menunjukkan kemampuannya meluncurkan tendangan kungfu, entah ke gawang atau ke penonton.
Kungfu Cantona

Ada kemungkinan kita sedang kembali menapaki era emas sepakbola. Buktinya, selama dua dekade ini, kita sudah jadi saksi dua gelaran Piala Dunia yang enggak jelek-jelek amat, kalau enggak bisa dibilang sangat menghibur. Dua pemain terbaik dunia sepanjang masa masih merumput dan ada kompetisi ketat di Liga Inggris yang terakhir kita saksikan pas Nottingham Forest jadi kampiun. Di saat yang sama, rasa-rasanya elit-elit persepakbolaan Inggris sudah mulai mencapai ujung-ujung popularitas. Lagipula, berapa banyak jam tayang lagi sih yang bisa mereka sikat? Atau berapa banyak gosip transfer sih yang memenuhi berita pagi sampai orang-orang Inggris males masuk kerja? Untuk memastikan apa benar kita sedang berada di zaman emas sepakbola, saya berusaha membandingkan apa yang terjadi sekarang dengan era emas yang sudah lewat dan kerap kita kenang dengan muka sumringah. Yang saya maksud adalah kala ketika persepakbolaan Inggris dipenuhi oleh nama-nama besar seperti Cantona, Bergkamp, Zola dan Le Tissier, zaman ketika penonton Liga Inggris bisa dengan seenaknya melempar gulungan tisu wc tanpa takut kena sanksi UEFA. Masa ketika Premier League masih disebut Premiership. masa itu adalah dekade 90-an.

Iklan

Kualitas Sepakbola itu Sendiri

Pada 1993, kita harus puas dengan menonton pemain macam Steve Talboys, Ian Olney dan Jason Dozzel berlaga. Malah, kalau boleh jujur, salah satu yang bikin kita merasa mengalami era-era emas sepakbola saat ini adalah fakta bahwa kita enggak lagi melihat mereka bermain. Berkat pola makan baru, yang digagas oleh Arsene Wenger -orang yang memasukkan wortel dalam menu makanan pemain- dan melonjaknya jumlah pemain asing, pemain sepakbola Premier League kini lebih bugar dari sebelumnya. Salah satu buktinya bisa ditemukan video ini. Isinya skuad Aston Villa musim kompetisi 1995-96 berlomba-lomba membeberkan minuman kesukaannya.

Puncaknya terjadi ketika penjaga gawang asal Inggris dan Australia harus gontok-gontokkan tentang minuman kesayangan mereka. Di satu sisi ada, Mark Bosnich yang getol minum Ribena dan di sisi lain ada Nigel Spink yang kecanduan Bacardi. Spink bahkan sampai mengakui di depan publik jika dirinya adalah seorang pecandu kokain dan pernah hampir menembak ayahnya sendiri setelah pesta kokain empat hari berturut-turut. Jadi, jelas ada yang salah dalam diet para pemain sepakbola Premiership waktu itu.

Yang harus diakui adalah selama kurun waktu 1993 hingga 1999, kualitas sepakbola Inggris meningkat tajam. Kembali klub-klub Inggris ke kompetisi Eropa setelah berakhirnya Heysel ban berarti tim-tim Inggris tak lagi bisa pura-pura menganggap bahwa diving header adalah puncak teknik sepakbola manusia dan semuanya langsung berubah total. Dalam sekejap, pemain di posisi center half ini mulai gemar melakakukan operan/lob pendek. Aliran uang dari Sky yang diterima klub memungkinan mereka mendatangkan pemain asing piawai macam Faustino Asprilla dan Jaap Stam. tak cuma pemain mahal saja, beberapa pemain murah dari negara Uni Eropa juga didatangkan untuk mengisi skuad klub gurem. Kedatangan sekelompok pemain asing ini secara tak langsung melebarkan fanbase Premiership dan jadi berita buruk bagi Nigel Quashie yang harus angkat kaki dari Nottingham Forest.
Datangnya Cantona ke Old Trafford memacu skuad setan merah muda untuk mewujudkan potensi mereka. Rivalitas antara United dan Arsenal, salah satu perseteruan paling keren sepanjang masa Sky, berimbas pada meningkatnya performa kedua klub ini setidaknya sepanjang musim kompetisi 1998-99. Tentu boleh berpendapat bila persaingan antara Manchester United dan Arsenal dulu kala turut membentuk apa yang kini kita saksikan: pembelian pemain besar-besaran dengan uang minyak. Apapun alasannya, persaingan di puncak divisi utama Inggris selalu sengit. Enggak seperti Barcelona yang terlalu dominan di La Liga misalnya. Tim terbaik di Inggris adalah tim yang piawai melakukan serangan balik yang diorkestrasi oleh pemain cerdas bernomor sepuluh. Di dekade 90-an, kita punya Bergkamp, Cantona, dan Zola; Kini kita punya Coutinho, Silva, dan Hazard.

Iklan

Seiring meningkatnya kualitas pertandingan sepakbola, tendensi baku hantam di atas lapangan makin turun. Pada 1999, kecenderungan ini belum sepenuhnya habis dari divisi utama sepakbola Inggris (pemain ganas seperti Ben Thatcher masih bermain). Namun, jika dibandingkan dengan tahun-tahun awal Premiership, brutalitas yang tersisa tak ada apa-apanya. Meski kondisi jauh lebih mendukung belakangan ini, setidaknya pada saat itu, pemuda yang mengorbankan masa kecil untuk menjadi pemain sepakbola profesional tak harus takut pensiun muda di umur 22 tahun seperti Neil Ruddock. Imej sepakbola Inggris sebagai ladang pembantaian sudah hilang. Di sisi lain, perawakan pemain saat itu sangat berbeda. Mereka lebih besar dan mampu menahan dorongan yang kuat. Sekarang, perawakan pemain sepakbola hampir seragam: mereka mirip anjing whippet kecil atau microchip yang bentuknya monoton dan mudah masuk dalam komputer sepakbola. Pemain sepakbola tak lagi nyambi jadi "atlit gulat" di lapangan. Tapi tenang, selama masih ada Jonjo Shelvey, kita masih punya harapan karena Jonjo Shelvey membuat sepakbola selalu menarik ditonton.

Fan

Evolusi fan sepakbola Inggris selalu berakhir jadi bencana. Sepanjang dekade 90-an, Premiership menjelma jadi hiburan kelas menengah dengan sedikit ingatan tentang masa sebelum sepakbola jadi mainan kelas menengah. Jelas, enggak ada salahnya jadi kelas menengah. Tapi, kita selalu keki jika melihat teman kita yang baru naik kelas sosial berusaha mati-matian membuat teman barunya terkagum-kagum. Seperti itulah kondisi persepakbolaan Inggris belakangan: snob, kayak orang kaya baru yang pura-pura enggak kenal teman lamanya. Tentu, sekarang kaum kelas menengah Inggris harus puas melihat olah raga kesayangan mereka direbut oleh orang-orang kaya dari Qatar. Mungkin sama rasanya seperti yang dirasakan oleh penduduk Inggris di medio 90 ketika Jack Walker and Marco Boogers mencuri "olah raga" rakyat mereka.

Iklan

Fans sepakbola kini tak serasis dulu, dan ini terhitung kemajuan yang baik. Di tahun 1993, seorang fans bisa kena masalah cuma karena ngomong dengan aksen Irlandia. Namun, kemudian muncul kampanye Kick It Out cuma lantaran fans Inggris tiba-tiba sadar bahwa menjadi rasis itu kurang elok (meski sebenarnya mereka masih gatal melakukannya). Saat ini, tak ada hal yang lebih menyebalkan bagi seorang fans selain mendengar klub kesayangan dan bintang pujaan atau mereka sendiri rasis. Apalagi kalau kenyataannya memang begitu. Kalau sudah ngomongin rasisme di ranah sepakbola Inggris, Liverpool dan Chelsea adalah rajanya karena kedua klub ini mengejek Patrice Evra dan Anton Ferdinand yang pernah jadi korban ujaran rasis. Yang bisa kita ambil hikmahnya dari sini bukanlah bahwa sepakbola Inggris sudah lebih bersih dari rasisme, tapi, seberapa jauh fan sebuah tim tutup mata atas pelecehan rasial yang dilakukan klub yang mereka dukung.

Liverpool dan Arsenal adalah dua klub yang sangat sensitif dengan kritik. Meski begitu, tren yang berkembang terakhir menunjukkan pergeseran dari fan menjadi fanboys. Celakanya, keangkuhan fans berbanding lurus dengan prestasi dan kekayaan klub. Intinya, bagi para fanboy ini cuma ada satu prinsip yang mereka pegang: klub saya enggak rasis, pemain kalian doang kali yang bo'ong.
Fan sepakbola kini memang makin kekanak-kanakan. Mereka kini doyan membawa kertas bertuliskan pesan, biasanya pesan-pesan rasis, ke lapangan. Iya sih, fans sepakbola tak pernah jadi suri tauladan yang baik sejak dulu. Cuma ya enggak segitunya juga keles. Pada 1993, sepakbola mulai jadi tontonan yang ekslusif lagi mahal. Dampaknya adalah menghilangnya yel-yel dari stadion. Di masa sebelumnya, yel-yel adalah hal yang lazim terdengar di stadion. Sekarang, penonton sepakbola sebelas-duabelas dengan penonton bioskop. Kadang malah, mereka adalah sekelompok flaneur. Tak banyak cakap apalagi menyanyikan yel-yel, cuma nonton dengan mulut tertutup. Kalau begini, mereka bisa saja datang setelah turun minum, hal yang dianggap dosa besar di zaman Premiership. Meski demikian dalam atmosfer pertandingan sepakbola yang jauh lebih sopan, fans yang datang dalam pertandingan away masih tetap keren. Mereka tahu sejarah tim mereka, mereka protes jika ada hal yang tak mengenakkan. Mereka juga yang terus menyanyikan yel-yel di kandang musuh mereka dengan seenak jidat. Memang, ada beberapa hal yang bikin keki fan pertandingan away misalnya penjagaan yang ketat, harga tiket yang tinggi hingga CCTV yang ada di mana-mana. Tapi, harus diakui pertandingan away masih jadi favorit fan sepakbola.

Iklan

Pemain

Ada banyak hal yang membedakan pemain zaman sekarang dan pemain era 90-an kendati akhirnya keduanya tak beda-beda amat. Dekade 90-an adalah masa-masa pemberontakan dan revolusi, sesuatu yang terjadi sejak akar-akar proletar sepakbola Inggris mulai tercabut. Bagi sebagian orang, musnahnya latar belakang sepakbola sebagai olah raga masyarakat bawah angin segar. Kompetisi sepakbola akhirnya bisa membuka diri bagi atlet profesional dan melahirkan permainan dengan tempo cepat. Akan tetapi, di sisi lain, perubahan ini bisa dipandang sebagai vandalisme terbesar dalam sejarah sepakbola dunia atau yang paling akbar dalam sejarah Inggris. Bentuk vandalisme itu adalah tersingkirnya alkohol dari lapangan hijau di Inggris, atau setidaknya alkohol tidak dikonsumsi terangan-terangan oleh para pemain.

Dan mungkin ada yang hilang bersamaan permainan sepakbola Inggris seiring lenyapnya (pengaruh) alkohol dari lapangan. Salah satunya adalah hilang sepakbola tempo lamban yang dilakoni oleh pemain yang masih kena basian ketika berlaga. Permainan macam inilah yang memungkinkan orang macam Matt Le Tissier jadi bintang lapangan. Tempo yang lamban pulalah yang bikin pemain asing yang datang ke Inggris di dekade 90-an langsung tampak bak pemain kelas dunia. Memang, pada pada prakteknya, Cantona, Juninho dan Zola bisa memecundangi barisan belakang klub-klub Inggris. Ketiganya mengalahkan pemabuk-pemabuk ini dengan cara yang sama seperti orang waras mengalahkan orang mabuk dalam pertarungan. Pun, kalaupun cara ini kurang berhasil, tinggal lari mengilingi mereka. Dijamin, pemain lawan yang menghadang mereka segera limbung setelah itu. Dulu, di dekade 90-an, hampir semua kesebelasan di Premiership punya minimal satu pemain tukang mabuk seperti ini. Kini, jejaknya masih tertinggal, barangkali, dalam bentuk pemain bernama Hatem Ben Arfa, yang kian menggendut di Newcastle.

Iklan

Ditilik dari berbagai sisi, ini jelas perkembangan yang bagus. Masalahnya, ada satu generasi yang hilang juga di dekade 90-an. Mereka adalah generasi pemabuk terakhir di lapangan sepakbola Inggris. Manchester United mungkin gagal meraih beberapa titel karena rekan-rekan Bryan Robson tak bisa menenggak 20 pint bir semalam sebelum bertanding.

Namun, mereka justru jadi sekelompok pahlawan yang membumi. Imbasnya, ada ikatan yang dalam antara sesama pemain. FYI, walaupun skill mabuk-mabukan mereka sudah jauh menurun, skuad setan merah di dekade '90 masih bisa bertanding dalam derby sengit dengan kondisi masih tengleng. Apa mau dikata, mereka memang sekumpulan manusia super. Inggris pernah punya ketertarikan terhadap pemain bola alkoholik yang karirnya berakhir tragis, dari George Best hingga Paul Gascoigne. Kini, cinta macam itu sudah hilang. Karena kedapatan merokok saja Jack Wilshire dirundung habis-habisan di acara talkSPORT. Rooney yang bengal itu kerap dibilang menyia-nyiakan talentanya dan dibenci karenanya. Seandainya Rooney bermain dua dekade lalu, rasa-rasanya dia bakal dipuji karena talenta dan kebengalannya. Lagipula, kalaupun ada berita tentang Rooney yang ngeyel minum-minum, semuanya terdengar membosankan. Belakangan, pemain-pemain sepakbola mirip seperti orang yang kemana-mana memakai sarung tangan. Ini, jelas, amat memalukan. Susah menganggap pemain zaman sekarang sebagai sebagai seorang pahlawan kalau "kenakalan" paling banter main videogame dan minum Lucazade. Pertanyaannya: serindu apapun kita pada pemain yang bengal namun jago, apakah ada faedah menjadi pemain yang bengal?

Iklan

Media

Salah satu perubahan yang paling mencolok tentu saja adalah Sky Sports. Di masa awal pembentukannya kanal olahraga ini mirip sebuah raksasa yang masih cupu. Program-program yang ditayangkan begitu buruk hingga butuh setengah dekade sampai kita benar-benar puas meledeknya. Sky di dekade 90-an kesannya adalah kanal raksasa. Padahal itu cuma ilusi. Di lima tahun pertamanya, jaringan Sky Sports hanya mampu menayangkan 60 pertandingan. Bandingkan dengan tahun ini: mereka menayangkan 138 laga. Angka ini diperkirakan akan kembali naik di musim kompetisi tahun depan dan seterusnya. Salah satu keanehan lainnya adalah munculnya TV kabel milik klub sepakbola, bentuk hiburan paling sureal yang pernah ditonton manusia. Menonton MUTV di masa akhir Ferguson dan era Moyes hampir mirip dengan nonton TV pemerintah Uni Soviet di akhir tahun 80-an. Semua penonton hidup dihantui ketakutan sementara mereka yang kritis dan meragukan MU tak pernah masuk dalam siaran MUTV.
Hari-hari ini, perubahan terbesar di TV adalah bersatunya televisi dengan Twitter. Ada masanya ketika pengamat sepakbola hidup bak raja yang tak boleh dibantah kata-katanya. Mereka paling banter jadi diejek lewat yel-yel jika salah memberikan pengamatan.

Untungnya, saat itu media dan bisnis olahraga sedang busuk-busuknya. Walhasil para pengamat ini dapat bayaran tinggi tanpa satupun orang bisa menunjukkan betapa pandirnya mereka. Kini, setelah ada Twitter, bersamaan dengan munculnya mantan pemain/pengamat sepakbola yang memberikan amatan dalam keadaan sadar seperti Gary Neville, para pundit sepakbola tua ini mulai kelihatan kedodoran. Bahkan, pengamat sekelas Alan Shearer benar-benar harus mempersiapkan komentarnya jauh-jauh hari agar tetap kedengaran pintar. Selain itu, akses jurnalis ke dalam klub kini makin terbatas. Imbasnya, beberapa suratkabar lokal harus menempuh jurus-jurus jurnalisme khas Buzzfeed agar bisa menyajikan artikel tentang sepakbola. Mereka bisa saja mengais foto dari akun Instagram Luke Shaw dan menyebutnya sebagai "berita." Klub-klub kini punya sumbangsih dalam munculnya jurnalisme sepakbola kacangan lewat akun sosial media mereka. Dari situ kita bisa dapat berita-berita kurang penting dari klub-klub Premier League. Saya, misalnya, masa bodo amat dengan variasi merah putih di jersey Sunderland tahun ini. Apalagi mencari tahu siapa perancangnya. Namun, masalah yang paling besar dari komentator-komentator sepakbola buruk yang berserakan di segala macam media belakangan adalah tulisan sepakbola seakan-akan jadi artikel "yang bisa dikerjakan siapapun." bahkan, kolumnis sayap kanan semenjana The Times atau the Telegraph seperti bisa menyakinkan editor mereka bahwa mereka juga bisa menulis tentang sepakbola. Akibatnya, jika kamu mengecek halaman penulis Dan Hogdes atau Danny Finkelstein, kamu akan menemukan artikel "How will Wayne Rooney fit into Louis van Gaal's 3-5-2?" tepat di bawah "Why Israel needs to continue its assault on Gaza." mengerikan.

Kesimpulan

Sejak tahun 90-an, sepakbola Inggris sudah mengalami banyak perbahan. Ya, semuanya dilakukan demi perkembangan sepakbola. Sayangnya, hasilnya tak berjiwa, penuh rasa tapi branded dan mahal. Mirip seperti London di masa Boris Johnson. Stadion sepakbola jadi tempat yang kamu kunjungi bukan tempat yang kamu hidupi, meski sepakbola jadi berita yang paling sering kamu konsumsi. Untungnya masih ada sedikit penghiburan bagi mereka yang masih mengharapkan era emas Premiership. Kalau kalian masih menghadapkan pemain sepakbola yang rajin berkelahi di pub di akhir pekan, pertandingan tandang mu berdarah-darah dan tim kesayanganmu diisi jenius dan pemabuk, kamu tinggal menengok ke utara Inggris, tepatnya ke Skotlandia. Orang bilang sepakbola Skontlandia sudah mati. Tapi, bagi saya, sepakbola di sana mati untuk kembali hidup. Malah kalau dilihat dari apa yang terjadi saat ini, saya yakin mereka akan mencapai keemasan Premiership di medio 90-an dalam dua musim kompetisi saja! @Callum_TH