Tren Kuliner yang Tampaknya Akan Berlanjut di Indonesia Sepanjang 2017
Ilustrasi oleh Daniella Syakhirina

FYI.

This story is over 5 years old.

Kuliner

Tren Kuliner yang Tampaknya Akan Berlanjut di Indonesia Sepanjang 2017

Asian Fusion, makanan pinggir jalan dikemas trendi, dan lelehan keju populer banget tahun lalu. Semua aja dikasih keju. Kapan tren ini akan berakhir ya?

Tahun lalu, berita paling menggemparkan tentang kuliner di Indonesia justru tidak ada kaitannya sama sekali dengan makanan/minuman (atau dalam hal ini sesuatu yang bisa dikonsumsi manusia). Nyaris setahun penuh, pemirsa Indonesia bergelut dengan sidang perkara pembunuhan oleh Jessica Kumala Wongso—perempuan muda yang dijatuhi vonis penjara 20 tahun karena dianggap majelis hakim terbukti membubuhkan sianida pada secangkir kopi vietnam milik kawannya, Mirna Salihin, yang tak lama kemudian tewas. TKP pembunuhan itu adalah sebuah kedai kopi kelas atas di pusat perbelanjaan terbesar Jakarta Pusat. Tentu saja, karena ini terjadi di Indonesia—yang penduduknya punya kecenderungan latah akut, TKP pembunuhan di Olivier Cafe, Grand Indonesia, dalam sekejap menjadi tempat favorit untuk menyeruput kopi sambil berswafoto.

Iklan

Tak bisa dipungkiri, 2016 adalah tahun yang menyebalkan bagi dunia kuliner Indonesia, apalagi mengingat percakapan tentang makanan paling populer tahun lalu adalah "kopi vietnam sianida". Selain Locavore, sebuah kolaborasi sustainable farm-to-table oleh Ray Adriansyah dan Eelke Plasmeijer menjadi salah satu restoran dalam daftar 50 restoran terbaik di Asia, apa lagi yang bisa kita harapkan dari 2016?

"2016 itu ngehek buat hampir semua orang," ujar Sebastian Subakti, pemilik dan Kepala Chef  Taco Local dan Bao Ji. "Apalagi untuk bisnis restoran."

Restoran lokal, biasanya terpacu oleh tuntutan di media sosial, berusaha mati-matian mengimbangi perubahan tren kuliner sepanjang 2016. Mereka yang sehari-hari cuma makan di restoran saban malam, dengan mudahnya menyebut dirinya sebagai "foodie" di kota macam Jakarta dan Bandung. Mereka memotret sajian yang mereka pesan. Mereka pasti memajang foto makanan itu di Instagram, Snapchat, and Path sebagai kewajiban yang tidak boleh dilupakan. Syahdan, jangan kaget bila satu tren kuliner bisa tiba-tiba membanjiri feed media sosial anda, lalu beberapa pekan kemudian tren ini hilang dalam sekejap.

"Harapan saya sih, semoga jumlah orang yang ingin benar-benar makan, bukan cuma ikut-ikutan tren, meningkat tahun ini biar industri makanan bisa benar-benar tumbuh," kata Sebastian.

Inilah beberapa tren yang mendominasi dunia kuliner Indonesia selama setahun lalu. Sepertinya sih sepanjang 2017 masih akan berlanjut. Semoga saja sebagian prediksi ini salah:

Iklan

Layanan Pesan Antar Makanan

Makin populernya layanan delivery telah memicu kemunculan outlet makanan pesan antar yang tumbuh bak jamur. Harus diakui, layanan delivery makanan juga jadi penyambung nyawa restoran yang sudah punya reputasi.

Lazimnya, mereka yang doyan makan di luar lebih memilih mal daripada restoran independen. Alasannya, kemacetan Jakarta tak bisa lagi ditakar dengan akal sehat. Lebih baik nongkrong di mal yang memiliki banyak restoran. Dalam kondisi seperti ini, pemilik restoran independen bergantung pada aplikasi seperti Go-Jek untuk mencari penduduk jakarta yang lapar. "Untung masih ada GO-Jek. Pesenan dari Go-Jek menyumbang lebih dari 40 persen penjualan kami," ungkap Sebastian. "Tapi kamu tahu lah apa artinya. Dari 40 persen itu, 15 persennya masuh kantong GO-jek. Ujung-ujungnya tetap berat buat kita."

Brunch Jadi Aktivitas Wajib yang Populer

Indonesia adalah surganya kopi. Tak ayal, kedai kopi third wave muncul di mana-mana. Nah, apa yang paling enak dilakukan di kedai kopi kalau bukan brunch? Tentu, kamu bisa menyantap makanan-makanan trendy yang kerap nongol di sosial media seperti, ehem, Avocado Toast. Menurut beberapa pakar kuliner, makin ngetrennya brunch ada hubungannya dengan popularitas  kopi.

"Liat deh semua tempat brunch yang muncul di Jakarta," kata Sebastian. "Maksud gue, kita tahu lah semua ini awalnya dari munculnya kedai kopi third wave. Sambil ngopi enaknya ngapain? Tentu saja Brunch."

Iklan

Masakan 'Asian Comfort Food' Akan Terus Digemari

Di luar negeri, chef seperti David Chang, Danny Bowien, and Eddie Huang sudah memulai mempopulerkan jajanan Asia sejak lama. Di Indonesia, kita membuat asian fusion sebagai agama—apalagi kalau maksudnya mencampurkan bahan makanan korea dan jepang ke cita rasa lokal. Restoran-restoran di Indonesia senang mencampurkan cita rasa Asia dalam santapan comfort food, kata Chris Kerrigan, dari GOODS Cafe.

"Karena kita di Asia," kata Chris."Eksperimentasi sering terjadi dalam penggunaan bahan makanan lokal dan menyajikannya dengan cara yang beda dari metode tradisional, daripada hanya mencampurkan-nya ala fusion."

Kimchi, dashi, dan telur asin kini mudah ditemukan dalam menu di restoran-restoran papan atas Jakarta. Kegilaan akan makanan Asian Fusion menjadi alasan bergesernya makanan berat dari pasta ke nasi putih—sebuah pergeseran yang diharapkan memunculkan ketertarikan atas ratusan citarasa nusantara.

Jajanan Pinggir Jalan Naik Kelas

Jajanan jalanan adalah camilan tidak bergizi tapi digilai. Secara perlahan, jajanan pinggir jalan mulai disuguhkan di restoran-restoran mentereng. Tak usah kaget jika kini ada martabak yang kini diolah semakin aneh-aneh, ada Indomie gourmet dan tahu bulat eksklusif. Oh jangan lupa, tak perlu syok kalau ada varian makanan jalanan yang harganya selangit. Ingat Indomie rebus yang ditambahi parutan keju, bawang putih, telur, kornet, terus harga jualnya setara  sepuluh bungkus Indomie. Iya sih, kreatif. "Tapi harganya sudah keterlaluan," kata Noel Reynaldo, F&M Manager H Group.

Iklan

Restoran Semi-Casual Memang Keren. Tapi, Tren Ini Menyebalkan dan Sebaiknya Berakhir

Okelah, beberapa restoran semi casual dan berkualitas sudah lumayan berhasil mencuri pelanggan dari restoran waralaba bernama besar, berbekal menu-menu yang itu-itu saja. Restoran macam ini intinya menyajikan masakan spesifik dengan harga lumayan mahal, tapi suasananya tidak seangker restoran fine dining.

Sayangnya, restoran-restoran baru ini terlalu menekankan pada sisi penyajian dan membangun hype yang ujung-ujungnya malah memiliki dampak negatif pada bisnis kuliner lokal. Contohnya adalah hype menambahkan lelehan keju yang dipakai banyak sekali restoran semi-casual di seputaran Jakarta.

"Ada blogger makanan pernah menasehati saya," ungkap Noel. "Katanya, biar masakan saya laku, sebaiknya saya menambahkan lelehan keju atau telur rebus setengah matang ke dalam menu. Jadi, pembeli bisa sedikit bermain-main dengan penampilan makanannya. Cheesy banget kan? Semoga 2017 tren-tren kacrut kayak gini sudah hilang."

Kesimpulanya, kalau kamu ingin pengalaman kuliner yang lebih enak, ada baiknya kamu camkan ini: masakan itu buat dimakan. Bukan buat difoto.