sejarah hiphop kronik hiphop indonesia ulang tahun hiphop kelahiran hiphop
Boyz Got No Brain tampil di salah satu tur Pesta Rap pada 1995. Foto: arsip BGNB.
50 Tahun Hip-hop

50 Tahun Kelahiran Hip-hop: VICE Melacak Kronik Genre Ini di Indonesia

Hip-hop Indonesia terpicu demam breakdance. Musisi hip-hop empat generasi merunut bagaimana hip-hop merebak ribuan kilometer dari Bronx.

Pada 11 Agustus 2023, tepat lima puluh tahun lalu DJ Kool Herc memainkan beat buatannya pada sebuah pesta di Bronx. Liputan ini dibuat untuk memperingati peristiwa kultural tersebut.

Generasi I: Intro

“Semua bermula dari demam breakdance,” ucap Asmara Hadi Santoso sambil memandang langit-langit, memulai usahanya mengingat kali pertama ia beririsan dengan budaya hip-hop. 

Adoy, sapaan akrabnya di keluarga, sudah berumur 10 tahun saat Gejolak Kawula Muda (1985) dirilis sebagai respons industri terhadap demam breakdance yang jadi obsesi anak muda perkotaan.

Iklan

Kemampuan meniru tari kejang, padanan bahasa untuk breakdance, menjadi parameter keren. Adoy sudah cukup dewasa untuk mengerti kekuatan budaya asing ini. Umur belia membuatnya tak mengindahkan komentar Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara yang menyebut breakdance sebagai simbol kemelorotan moral generasi muda. Sama seperti remaja Indonesia kebanyakan, ia cuma pengin senecis Septian Dwi Cahyo.

Bedanya, saat remaja seusianya sibuk latihan mematah-matahkan tubuh agar bisa disebut breaker, Adoy malah penasaran pada musik latarnya. “Kalau temen lagi pada breakdance tuh [gue] lebih kagum sama suara yang dihasilin dari background musiknya, dulu pertama kali denger lagunya Ice-T ada scratch-nya tuh, terkenal banget. Cikiciw, cikiciciw!” Adoy menirukan suara gesek-gesek piringan hitam.

Beruntung rasa penasaran Adoy terhadap kultur hip-hop didukung oleh akses terbaik yang bisa dimiliki remaja Jakarta: teman yang kaya raya. Ia hampiri teman yang orang tuanya bekerja di luar negeri agar bisa dititipi kaset-kaset musik latar breakdance ini ketika pulang ke Indonesia. Dari situ, telinganya terpapar album Critical Beatdown (1988) dari Ultramagnetic MCs dan album fenomenal dari grup rap Public Enemy berjudul It Takes a Nation of Millions to Hold Us Back (1988).

Iklan

Mulai belajar nge-rap, Masa SMP dan SMA Adoy di Jakarta dihabiskannya untuk manggung. Tempat aktualisasi diri paling umum saat itu adalah dengan ikutan kompetisi. “Pertama kali gue tahu ada kompetisi rap itu di diskotik namanya Fire. Dulu memang demam breakdance [dari jalan] mulai beralih ke lantai dansa.”

Meski sejak awal ‘90an berbagai aktivitas hip-hop dan rap sudah ramai, setidaknya di Jakarta, kesepakatan bersama menabalkan perhitungan umur hip-hop di industri musik Indonesia baru dimulai pada 1 November 1993. Label mayor Musica Studios jadi peletak batu pertama dengan merilis album Ku Ingin Kembali oleh rapper berusia 23 tahun, Iwa K. Album diproduksi oleh sekumpulan produser papan atas yang menamai diri Guest Music Production. 

Rilisnya album itu menanamkan benih mimpi menjadi rapper kepada banyak sekali anak muda. Grup rap kini punya harapan rekaman album!

“Akses untuk membuat album hip-hop itu kan sulit ya, kayak teknik sampling itu dulu membutuhkan alat yang memang cukup mahal, tidak semua orang punya juga di Indonesia. Kami punya jalan pintas: beli piringan hitam yang ada musik instrumentalnya. Biasanya artis-artis luar [negeri] ada tuh. Nah, kalau mau bikin demo kita pake itu [sebagai musiknya],” kata Adoy kepada VICE.

Di tahun yang sama dengan “lahirnya” hip-hop Indonesia, Adoy diperkenalkan oleh seorang teman kepada Erik Sutondo di tongkrongan area Setiabudi. Merasa referensi hip-hop yang cocok satu sama lain, keduanya mulai ngerap bareng lewat jalur ngamen.

Iklan

“Di department store biasanya ada booth yang suka [kasih] pengumuman terkait diskonan. Di booth itu, gue dikasih spot untuk bikin ramai toko, buat narik perhatian pengunjung. Ya udah kita spit bars tapi bawain rima-rima dari lagu-lagu rapper luar. Kan jaman dulu belum paham apa itu freestyle.”

Berpakaian apa adanya, bahkan sering sendal jepitan, Adoy dan Erik suka dibilang “kumuh” oleh announcer booth department store itu. Bukannya tersinggung, keduanya malah merasa sematan ini lumayan representatif dengan keadaan mereka. Ditambah kecintaan mereka terhadap musik-musik kulit hitam, mereka lantas menamai diri Black Kumuh.

Flashnews situasi industri: lahirnya superstar baru atas nama Iwa K membuat industri musik haus akan hadirnya penantang baru. Lomba rap semakin ramai peserta, grup anak muda cari panggungan secara gerilya. Radio Prambors, yang memiliki acara unjuk bakat offline bernama Tenda Mangkal, mulai kebanjiran grup hip-hop yang butuh eksposur. 

Geliat ini direspons pelaku industri. Sebuah lomba di Jakarta Hilton Convention Center (JHCC) dihelat dengan nama IT Wonderland pada akhir 1994. Desas-desus beredar bahwa pemenang lomba akan dibuatkan album karena acara bekerja sama dengan Guest Music Production, orang di balik kesuksesan Iwa K. Adoy dan Erik tertarik. Rapper mana yang tidak?

JHCC sebagai tempat kompetisi adalah saksi bisu berkumpulnya sekumpulan anak muda pencinta rap yang menamai diri mereka dengan macam-macam identitas: Black Kumuh, Black Skin, G-Tribe, Ucog, atau Sindikat 31. Kelak, masing-masing grup ini akan bertumbuh kuat menyebarkan pengaruh hip-hop dengan jalannya masing-masing.

Iklan

Audisi dimulai, hampir semua grup rap berdandan dan bergaya sesuai parameter hip-hop yang mereka yakini. Tapi di satu sudut, ada dua anak kurus berseragam SMA melantunkan rima cepat dan membawakan lagu ciptaan sendiri berjudul “Tawuran”. Kombinasi yang tak bakal diapresiasi menteri pendidikan mana pun.

Nama duo ini: Boyz Got No Brain (BGNB). Selamat datang di era kejayaan hip-hop Indonesia. Era Pesta Rap.

Generasi II: Pesta Rap 3x

Dua belas finalis lomba IT Wonderland sudah dipilih Guest Music Production untuk dilibatkan dalam album kompilasi bertajuk Pesta Rap. Beberapa single yang dianggap Musica Studios cukup kuat, lantas dibikinkan video klip, yakni “Cewe Matre” milik Black Skin, “Bosan” oleh Blake, dan “Nyamuk” yang dinyanyikan BGNB, dua anak berpakaian SMA itu.

Pada masa televisi masih merajai medan promosi musik, kesenjangan popularitas antara mereka yang dibuatkan video klip dengan mereka yang tidak, sangat menjulang. Gerry Konaedi dan Alphonso Parullian, dua personil BGNB, mendadak jadi terkenal.

Pesta Rap berhasil secara komersil, laris manis terjual di pasaran. Gerry mengaku dapat laporan dari label bahwa album terjual hingga 750 ribu keping, melebihi angka penjualan album Tenda Biru milik Desy Ratnasari di periode sama. Promosi album dilanjutkan besar-besaran, dilengkapi dengan berbagai panggung di berbagai kota.

Karena sudah kadung populer, tiga grup rap yang dibuatkan video klip selalu diajak tur promosi. Mereka yang tidak dibuatkan video klip sehingga kalah terkenal, Black Kumuh misalnya, menurut pengakuan Doyz (moniker ini dipakai Adoy sejak Pesta Rap 3), diajak hanya ke beberapa titik saja.

Iklan

“Kami kalau manggung sold out pasti. Mau 5.000 orang, pokoknya hall itu sold out,” kata Gerry saat ditemui VICE di Bantul, Yogyakarta. “Seminggu bisa tiga kali manggung, ya di Jakarta, ya di luar kota. Sampai Kalimantan! Kita udah di-treat kayak [boyband] New Kids on the Block gitu, dicubit-cubitin ama cewek-cewek. [Padahal] ini hip-hop loh.”

Keberhasilan Pesta Rap membuat Musica Studios percaya diri melanjutkan konsep kompilasi dalam Pesta Rap 2 dan Pesta Rap 3. Semuanya sukses besar, sekaligus memberkahi kita dengan nama-nama keren lain, seperti Sweet Martabak dan Pumpkins Hardcore Crew. Kesuksesan komersil ini juga coba diimitasi Musica ke genre musik lain dengan merilis Pesta Alternatif (1996) untuk musik-musik alternatif. Kompetitor enggak mau ketinggalan mencicipi peruntungan, BMG Music Indonesia memakai konsep serupa dengan merilis album ikonik Indie Ten (1998) yang jadi langkah pertama band seperti Cokelat dan Padi.

sejarah hiphop kronik hiphop indonesia ulang tahun hiphop kelahiran hiphop

Dua foto berikut merekam BGNB waktu manggung saat tur Pesta Rap tahun 1995. Foto: arsip BGNB.

sejarah hiphop kronik hiphop indonesia ulang tahun hiphop kelahiran hiphop

Selesai hiruk pikuk Pesta Rap, BGNB mendapatkan tawaran untuk berdiri sendiri di tahun 1999. Gerry menceritakan ia hampir bergabung dengan BMG Music Indonesia untuk merilis album penuh perdana BGNB.

“Udah dapat [advance payment] 6 juta. Hasil [mastering] lagu juga udah dikasih ke BMG, udah foto buat kover album juga. Inget banget uang [6 juta itu] kami bagi dua, terus kami ke Blok M beli kalung rantai warna perak yang gede banget,” cerita Gerry.

Iklan

Sebulan berselang, BGNB dipanggil ke kantor BMG. Label mengaku belum menemukan lagu jagoan sebagai single album lantas meminta Gerry dan Rully membuat lagu lagi. Menurut pengakuan Gerry, label memberi 5 CD berisi lagu-lagu soul R&B yang royaltinya sudah diurus sehingga bisa dipakai sebagai sample untuk membuat lagu baru. Tapi, ada satu permintaan label yang membuat BGNB tersentak. 

“Tolong bikinin kita lagu kayak ‘Borju’ dong,” kata Gerry menirukan perkataan label saat itu. 

Ini konteks buat kamu yang saat itu belum lahir: “Borju” adalah lagu milik grup rap NEO yang meledak di tahun 1999. Lagu terdapat di album dengan judul sama dan dirilis oleh, tentu saja, Musica Studios.

“Wah, ngamuk kita, Mas. Kalau kami bilang iya [mau], mungkin BGNB bisa kayak Iwa K yang punya banyak album. Tapi entah kenapa aku inget kami malah bilang gini: Kalau kepengen lagu kayak Borju, kenapa enggak bikin boyband aja? Kenapa nge-sign Boyz Got No Brain?” ujar Gerry.

BGNB menolak, berujung hangusnya kontrak. 

Gerry dan Rulli pelan-pelan berpisah. Gerry mulai menggarap proyek solonya dengan moniker Xaqhala. Tahun 2000, ia merilis lagu berjudul “Cewe Rusak” dan disambut industri dengan pelarangan pemutaran lagunya di radio-radio se-Indonesia karena dianggap terlalu eksplisit. “[Presiden] Habibie waktu itu sempet ngomong musik hip-hop enggak cocok sama budaya Indonesia.” Tahun 2002, Gerry memutuskan menjalani hip-hop sambil kerja kantoran di Jakarta. 

Iklan

Saat ditanya perihal tempat ngumpulnya anak-anak rap zaman itu, Gerry menyebut lapangan basket di Senayan sebagai salah satu hotspot. Anak-anak Pesta Rap kerap ngumpul di sana buat main basket. Karena banyak anak-anak Pesta Rap hadir, tak heran spot ini langsung jadi hot. Banyak anak-anak di luar hip-hop yang akhirnya datang dan membuat lapangan itu malah jadi tempat nongkrong.

“Lo mau sebut siapa aktor tahun ‘90an, pasti main ke situ. Model-model gitu, nongkrongnya di lapangan basket itu. Mau dari Alex Abbath, Karenina Maria Anderson, di situ. Sama siapa tuh yang sekarang cakep banget? Ah, Ussy Ussy! Ussy Sulistyawati! Itu nongkrong di situ, sangking kita hype,” kata Gerry.

Selain wajah-wajah terkenal, Gerry juga spesifik menyebut nama satu anak muda yang datang ke Senayan sambil membawa kotak CD dengan cover artwork seadanya hasil fotokopian. Anak ini terlihat rajin menjajakan album yang diakuinya sebagai bikinannya sendiri itu kepada orang-orang di tongkrongan tersebut. Harga CD sepuluh ribu rupiah, di sampulnya tertulis Realita sebagai judul album.

Tertulis dengan huruf semua kapital, nama rapper muda itu: SAYKOJI.

Generasi III: Hip-hop online

Bisa dibilang, Ignatius Rosoinaya Penjami adalah hasil panen pertama dari kerja tanam yang dimulai Pesta Rap

Igor, panggilan akrabnya, tak begitu menikmati apa yang musik hip-hop luar negeri tawarkan saat mendengarkan koleksi album milik kakak kandungnya. Pesta Rap jadi yang pertama menunjukkan kepadanya bagaimana hip-hop dan rap bisa lebih mudah diterima telinga. 

Iklan

“Waktu gue SMP, salah satu temen gue di kelas bawa kaset kompilasi album Pesta Rap pertama. Jadi, gue pinjem kaset itu dan gue dengerin. Yang gue tangkep, sebagian besar ceritanya sangat mudah untuk gue ngerti, sangat relate. Gue sampai di kesimpulan bahwa oh ngerap itu lo bercerita tentang kehidupan lo seperti pantun tapi pake musik,” cerita Igor saat ngobrol dengan VICE. 

Popularitas Pesta Rap membawa Igor mengulik album-album hip-hop dalam negeri yang lain. Mulai dari Pesta Rap 2 dan Pesta Rap 3, lalu mundur ke album pertama Iwa K. Namun, yang paling berpengaruh buatnya adalah P-Squad, grup rap yang dibentuk oleh dua grup alumni Pesta Rap, Black Kumuh dan Sweet Martabak. Pada 1999, P-Squad merilis album self-titled yang membuat Igor semakin tenggelam dalam hip-hop.

“Menurut gue ini supergrup hip-hop. Perpaduan antara hip-hop yang underground dengan tema berat yang dibawa Black Kumuh, dengan Sweet Martabak yang lagunya sangat catchy dan easy listening. Jadi, secara songwriting seimbang. Fun, tapi secara lyrical bertanggung jawab. Dope banget album ini,” kata Igor sambil menunjukkan dua kaset album self-titled P-Squad yang ia punyai kepada VICE. Igor punya dua kaset agar kalau satu hilang, ia masih punya cadangan.

Karena suka banget sama P-Squad, Igor gemar hadir di gig yang menampilkan P-Squad serta aktif berkomunikasi di website resmi grup itu. Website itu punya forum diskusi tempat pendengarnya saling ngobrol dan bertukar info. Dari sana Igor dapat informasi bahwa ada website lain yang jadi forum komunikasi terbesar masyarakat hip-hop Indonesia di dunia maya. Namanya hip-hopindo.net.

Iklan

Website itu diinisiasi Ferry Yuniardo dan John Parapat, keduanya anggota Sweet Martabak. Forum ini hidup banget. Pencinta hip-hop Indonesia campur aduk berdiskusi sebuah topik, berbagi lagu, promosi event, dan yang paling fenomenal: keystyle battle, forum berbalas rima freestyle lewat ketikan. 

Tahun 2000, Igor melihat informasi bahwa komunitas hip-hopindo.net membuat kompetisi rap di Hotel Sahid Sudirman, Jakarta. Karena mau kenalan dengan para rapper lain, ia memutuskan datang.

“Gue sampai cabut sekolah. Di sana, gue mulai ketemu orang-orang seperti Yacko [Pumpkin Hardcore Crew] dan Paper Clip. Karena gue suka aktif di forum dan ikut keystyle di hip-hop Indo, salah satu panitianya [bilang], ‘Oh ini [yang punya akun] Saykoji.’ Kompetisi rapnya masih besok, lo ikut aja,” kata Igor menirukan ajakan lomba.

Igor antusias, lantas ia dipinjami kaset berisi beat oleh panitia untuk membantunya berlatih. Ia bawa pulang kaset itu, menulis lirik di atas beat lagu, menghapalnya semalaman, lalu melantunnya keesokan hari. Sekolah? Apa itu sekolah?

Igor “Saykoji” tak juara, tapi ia berhasil menembus semifinal. Pencapaian yang menurutnya sangat memengaruhinya. “Waktu itu, lo ngerasa effort lo divalidasi sama komunitas. Gue ngerasa mungkin ini sesuatu yang pelan-pelan bisa mulai gue seriusin,” kata Igor.

Iklan

Berbekal semangat membuncah akibat validasi senior, Igor mulai belajar cara produksi lagu sendiri. Mulailah ia kenal dengan aplikasi pembuat lagu macam Fruity Loops dan Cakewalk Pro Audio. Mendapat kesempatan berkuliah di kampus “mahal” Universitas Pelita Harapan karena jalur ayahnya yang bekerja di sana, Igor coba manfaatkan segala fasilitas yang bisa ia akses. Misalnya, mampir ke Fakultas Musik untuk belajar produksian. 

“Ternyata program Cakewalk Pro Audio dipake sama Fakultas Musik untuk mereka belajar produksi. Jadi kadang-kadang gue nongkrong ama anak musik buat belajar, oh makenya gini, rekaman gini. Lalu karena gue anak Komunikasi, kita punya lab [komputer] untuk unit jurnalisme. Gue belajar editing video di situ pake Adobe Premiere,” cerita Igor.

Kuliah di UPH membuatnya dihadapkan pada kegelisahan baru. Ia tumbuh di keluarga sederhana di Jakarta Timur. Terasa ketimpangan antara dirinya dengan teman-teman kampusnya yang emang lebih mapan. Dari keresahan itu, tercipta lagu “So What Gitu Loh”. 

“Lagu itu gue coba kasih ke radio, sambutannya banyak dan enggak cuma dari Jakarta. Pertama kali naik di radio Bandung sampai-sampai gue dikira dari Bandung. Abis Bandung, baru Jakarta ikutan [naik],” kata Igor.

sejarah hiphop kronik hiphop indonesia ulang tahun hiphop kelahiran hiphop

Saykoji di masa ngulik produksian lagu. Foto: arsip pribadi Saykoji.

sejarah hiphop kronik hiphop indonesia ulang tahun hiphop kelahiran hiphop

Komputer bersejarah Saykoji.

Lagu itu membuat Igor dikontak Blackboard, label yang distribusinya dipegang Electric and Musical Industries (EMI, label milik Universal Music Group). Blackboard menawarkan kontrak rekaman dan distribusi. Igor sepakat. Master lagu hasil mixingan Igor sendiri tanpa diotak-atik langsung dijadikan album pertama Saykoji secara komersil di bawah label mayor. “Itu padahal rekamannya pake mikrofon buat chattingan yang lurus tinggi itu, terus pake stocking digantung di hanger biar kayak pop filter,” cerita Igor sambil tersenyum.

Iklan

Tahun 2005, album self-titled Saykoji dirilis. “So What Gitu Loh” langsung menang Anugerah Musik Indonesia (AMI Awards) untuk Karya Produksi Rap/Hip-Hop Terbaik tahun itu juga. Karier Saykoji melesat. Setahun menjelang, album kedua langsung dirilis dengan judul Musik Hati. Single-nya, “Jomblo”, kembali menjadi hits.

Zaman berputar terlalu cepat, demam pop melayu membuat hip-hop terempas dari industri. Saykoji mulai merasakan adanya pembatasan kebebasan, merasa idenya seputar musik hip-hop tak begitu didengarkan label. Rasa jengah ini memuncak saat ia memperdengarkan satu lagu yang ia yakin akan beresonansi ke banyak orang saat itu, sekitar tahun 2008. “Waktu itu orang label bilang lagu ini kayaknya orang Indonesia enggak ngerti nih. Itu gue down banget tuh.”

Demi kebaikan bersama, kerja sama tak berlanjut. Saykoji tetap percaya dengan kekuatan lagu barunya ini dan memutuskan keluar dari label. Lagu tersebut ia rilis secara mandiri pada tahun yang sama. Bermodal handycam, ia merekam dirinya sendiri ngerap menyanyikan lagu tersebut. Video dia edit sendiri, lalu unggah sendiri sebagai video klip ke akun YouTube miliknya. Judulnya sederhana dan mantap: “Online”.

Intuisi Igor terbukti tepat. Dianggap sukses menangkap zaman peralihan ke dunia digital, lagu ini langsung naik daun. Sebuah brand provider seluler membeli license lagunya untuk dijadikan jingle promosi. Meski tak masuk MTV, lagu ini menyebar ke seluruh Indonesia lewat media iklan. Tak berselang lama, lagu viral lantas menuntut pembuatan video klip yang lebih proper karena stasiun televisi mulai tertarik memutarnya. Akhirnya dibantu Ferry Sweet Martabak sebagai sutradara, video klip “Online” versi lebih serius dibuat.

Iklan

Meledaknya “Online” adalah momen penting untuk industri hip-hop Indonesia. Apabila Pesta Rap membuat kultur hip-hop digandrungi anak muda seluruh Indonesia, “Online” membuat rap tak lagi milik demografi tertentu. Pada masa kesuksesan lagu ini, musik rap secara santai dinyanyikan office boy, pengamen jalanan, sampai guru sekolah saya di Lampung.

Di ujung timur Indonesia, “Online” juga terdengar ke telinga seorang remaja bernama Jayawijaya Parulian Nababan yang tinggal Papua. Dari hasil mengingat-ngingat, rasanya lagu itulah rap berbahasa Indonesia pertama yang ia dengar. Memorinya agak kabur, habis saat itu dia masih SMP dan baru mulai tertarik pada budaya hip-hop. 

Belum terbayang bahwa dari diri seorang Nababan asal Papua ini akan terlahir salah satu album rap terbaik yang negara ini punya.

Generasi IV

“Iwa K dan Doyz emang masuk TV, tapi yang punya akses untuk bisa nonton MTV kayak gitu-gitu ya orang kaya sih. Gue ada TV, tapi yang nyampe ke kami itu cuma kayak TVRI,” kenang Jaya, menceritakan awal mula dirinya terpapar hip-hop saat SMP, pertengahan 2000-an.

Di masa SMA-nya, Jaya memang mulai lebih serius mengulik rap dan hip-hop. Misalnya, doi mulai berani manggung di pentas sekolah ngebawain lagu “The Real Slim Shaddy” dari Eminem. Tapi, baru di dunia perkuliahan lah karier hip-hopnya dimulai.

Iklan

Pindah ke Bandung pada 2010 untuk kuliah di ITB, Jaya terkejut karena cara pergi ke dunia maya ternyata murah dan mudah. Semakin banyak lagu rap yang ia bisa akses, semakin banyak rapper lokal selain Saykoji yang ia dengarkan. Misalnya, Ecko Show dan 8 Ball yang namanya besar di Soundcloud dan ReverbNation.

Pada 2011, Jaya mendapat kabar bahwa Randi Ismail atau Rand Slam, teman SMA-nya yang juga punya ketertarikan di rap dan hip-hop, tinggal di Bandung, “Kita ketemu ngobrol-ngobrol. Dia ngenalin ke gue hip-hop sebenarnya seru banget. Dia juga nunjukin skena Indonesia tuh gimana. Dia ajarin gue gimana cara produksi. Mulai 2011 lah gue mulai produksi lagu sendiri,” cerita Jaya.

Kalau sudah belajar bikin lagu, artinya sudah ada tuntutan untuk punya moniker. Joe Million akhirnya lahir, berdasar cita-citanya untuk jadi jutawan.

Duo Joe Million dan Rand Slam rajin merilis belasan track di bawah nama grup SUPER FLAVA selama dua tahun. Rilisan sudah banyak, keinginan untuk mulai cari panggungan muncul. SUPER FLAVA akhirnya dapat panggung di Jakarta Sneakers Day 2013. Gig ini mempertemukan Joe dengan rapper Julius Tanoey atau JuTa. Dari sana, mereka diajak untuk manggung di acara milik JuTa. Rantai sambung-menyambung job manggung dari skena diusahakan Joe terus bergulir. Hari-harinya hanya hip-hop dan hip-hop saja.

sejarah hiphop kronik hiphop indonesia ulang tahun hiphop kelahiran hiphop

Joe Million (kanan) pas nge-rap di Jakarta Sneakers Day 2013. Foto: arsip pribadi Joe.

Suatu hari di sekitar tahun 2013, Joe memutar keras-keras lagu hip-hop di ruangan Unit Kesenian Irian (UKIR) ITB. Berisik suara musik terdengar oleh Senartogok, produser yang namanya harum di lanskap hip-hop. Kebetulan sedang nongkrong di situ, Senartogok menghampiri Joe untuk kenalan. 

“Dari situ kita kenalan, ngobrol, dan [dia nanya] lagumu mana, coba liat dong. Terus dia liat lagu gue masih pake beat [hasil] download semua. Dari situ dia nawarin untuk bikinin beat,” cerita Joe.

Tahun 2014 Joe lulus kuliah. Sambil mencari-cari pekerjaan yang tak kunjung didapat, beat dan lirik mulai digarap Joe bersama Senartogok dengan proses pengerjaan dua tahun. Tahun 2016, kumpulan materi terkumpul dan selesai digarap untuk menjadi album debut Joe Million. Vulgar (2016) mengudara digital, memaksa dunia hip-hop tanah air memalingkan pandangan. Estetika terbaik hip-hop tahun itu telah dihidangkan, datang dari seorang Nababan.

Dari situ kebanyakan dari kita sudah tahu sejarah selanjutnya. Joe banjir sanjungan. Herry Sutresna “Ucok” (Homicide, Morgue Vanguard, Grimloc Records) mendapuk Vulgar sebagai album hip-hop terbaik 2016. Doyz Black Kumuh menyebut Vulgar telah membawa hip-hop Indonesia kembali ke estetikanya. Joe Million resmi memulai karier rap atas nama sendiri di jalan kehormatan. 

Album ini membuat banyak musisi hip-hop senior menghubunginya untuk berkenalan dan ngobrol. Dari situlah, Joe baru tahu ada grup legendaris bernama Homicide ataupun Black Kumuh.

“Mereka ngontak gue duluan. Ngobrol-ngobrol ketemu dengan Bang Doyz langsung ya karena Vulgar tadi. Baru gue [sadar] ternyata ini orang-orang udah lama dan bikin album dengan kondisi yang lebih sulit dari gue. Akhirnya kita terjalin lah komunikasi,” kata Joe. Ia selamanya bersyukur atas kebaikan para pendahulu itu. “Terlepas dari karya ini bagus atau enggak, menurut gue faktor utama album Vulgar bisa dianggap sama industri ya bener-bener cuma opini Bang Ucok. Dia yang pertama kali seingat gue membuat album ini banyak yang denger, yang ngetwit dan promosikan,” ucap syukur Joe.

Enam tahun berselang, Joe sudah merilis dua album tambahan: Bombardir pada 2018 dan Vandal yang dikerjakannya bersama Mardial pada 2020. Pada 2019, ia diajak musisi noise senior Indra Menus untuk membuat projek noise/rap eksperimental dan menjalani tur Eropa. Sampai kini, Joe terus aktif di berbagai festival, bermacam rap battle.

Enggak cuma Joe, Black Kumuh (yang kini berubah ejaan menjadi Blakumuh), Xaqhala, dan Saykoji juga masih setia gerilya di keyakinan sikap masing-masing. Pandangan mereka tak melulu sama. Saykoji dan Xaqhala pernah terlibat adu rima, sementara Doyz mengaku tak tertarik dengan huru-hara media sosial. Yang bisa dipastikan, rasa cinta mereka kepada hip-hop dan rap sama-sama besar.