Sepakbola Inggris Terjerat Masalah Perjudian Akut
Semua foto oleh PA Images

FYI.

This story is over 5 years old.

Sepakbola

Sepakbola Inggris Terjerat Masalah Perjudian Akut

Industri perjudian di Inggris tumbuh subur seiring popularitas Premier League. Beberapa insiden belakangan memicu kebutuhan membentengi sepakbola dan perjudian.

Artikel ini pertama kali tayang di VICE Sports.

Merebaknya industri perjudian dalam kancah sepakbola adalah persoalan yang sejak lama dibahas semua pemangku kepentingan. Setidaknya tiga insiden yang terjadi dalam kurun waktu tiga bulan terakhir terkait judi bola, memicu kembalinya sorotan etis mengenai praktik yang ada di industri sekarang.

Semuanya bermula ketika seorang pria gendut melahap sepotong kue pie. Februari tahun ini, ketika Arsenal tengah berusaha tengah memimpin dalam sebuah pertandingan FA Cup melawan Sutton United, kiper cadangan dari klub non liga itu, Wayne Shaw, membuat sebuah kesalahan konyol dengan mengudap kue di garis gawang. Ketika kemudian Shaw mengaku malakukan itu karena tahu ada yang rumah judi yang bertaruh bahwa dirinya akan melakukan hal sekonyol itu, pernyataannya memicu keributan yang ujung-ujung memaksanya pensiun sebagai pemain sepakbola profesional. Dua bulan berselang, giliran Joey Barton berulah. Pemain sepakbola semenjana ketahuan memasang 1.260 taruhan dalam beberapa pertandingan—lima di antaranya adalah pertarungan yang dia ikuti. Barton kena hukum dilarang main selama 18 bulan. Mungkin malu atau kagok, Barton memutuskan gantung sepatu.

Iklan

Dua hari setelahnya, sebuah taruhan bernilai enam angka dari pasar Asia yang meramalkan sebuah gol menjelang peluit panjang ditiup dalam pertandingan Divisi Satu Irlandia antara Longford Town dan klub Athlone Town yang dimiliki pengusaha asal Tiongkok. Gol yang diramalkan benar-benar terjadi dan bikin keki banyak pihak. Tak lama kemudian, UEFA memberitahu Asosiasi Sepakbola Irlandia bahwa "ada banyak bukti jelas" bahwa ada pola perjudian mencurigakan dalam proses terjadinya gol. Sampai tulisan ini diturunkan, penyelidikan atas kasus ini masih berjalan.

Sepintas, tiga kasus ini seperti tak memiliki kaitan satu sama lain. Dalam dua kasus pertama, patut diakui telah terjadi pelanggaran dan hukuman pun telah dijatuhkan. Sementara untuk kasus terakhir, kita tinggal menunggu hukuman berat akan diterima pelaku jika terbukti ada pelanggaran. Batasan-batasan dalam kasus ini jelas. Yang jadi persoalan, penyebab tiga kasus tadi sama-sama akibat perjudian.

Tak ada yang ambigu dari peraturan-peraturan yang dibuat untuk melindungi integritas olahraga sepakbola. Yang belum jelas adalah hubungan antara sepakbola dan industri perjudian. Praktiknya, yang kerap terlihat adalah industri perjudian menjadi benalu kancah persepakbolaan. Begini gambarannya. Klub-klub di Inggris, liga, badan penyelenggara liga atau bahkan awak media penyiaran semuanya terlibat dengan kongkalikong menggiurkan bersama industri yang bikin tiga insiden di atas benar-benar terjadi.

Iklan

Larangan bermain yang dijatuhkan pada Joey Barton mengakhiri karir pemain berusia 34 tahun ini. Sumber: PA Images.

Dari 20 klub yang berjibaku di Premier League, 11 di antaranya memiliki logo perusahaan perjudian dalam jersey mereka (sebagai catatan, nilai kolektif dana yang didapatkan dari pemasangan logo di jersey meningkat dua kali lipat dalam enam tahun terakhir, setara Rp3,7 triliun per tahun). Kedua puluh klub dalam Premier League punya semacam "kerjasama resmi" setidaknya dengan satu rumah judi. Di sisi lain, kompetisi tiga divisi sepakbola di Inggris sepenuhnya disponsori oleh Sky Bet (yang menggelontorkan £6juta, setara Rp101 miliar per tahun). Kompetisi sepakbola profesional Divisi Empat Skotlandia, Piala Skotlandia dan Piala Liga Skotlandia semuanya disponsori oleh beragam perusahaan taruhan (secara berurutan Ladbrokes, William Hill dan Bet Fred, dana yang dikucurkan oleh ketiga perusahan ini mencapai £3.5juta (setara Rp59 miliar per tahun). FA baru saja mengumumkan Ladbrokes menjadi "partner rumah taruhan resmi Liga Inggris"—sebuah kesepakatan yang menurut CEO Ladbroke "menempatkan perusahaan mereka tepat di jantung sepakbola". Ladbrokes menjadi rumah judi kedua yang bekerja sama resmi dengan Premier League, menyusul penandatanganan kesepakatan serupa dengan rumah taruhan William Hill.

Lalu, iklan-iklan taruhan mulai muncul. Pada 2017, menonton siaran langsung sepakbola Inggris berarti merelakan diri dibombardir oleh iklan taruhan. Ada tiga jenis taruhan: live odds, Free Bets, dan In-play betting. Ada tiga pesohor sepakbola di dalam iklan tersebut: Ray Winstone, Chris Kamara, dan Jurgen Klopp. Slogannya itu kalau diperhatikan lebay abis. "Get yer mobile out" dan "'Ave a bang on that", atau yang paling mantap , "Do you want to be a spectator – or a player?"

Iklan

Iklan-iklan ini mulai marak sejak 2005, ketika Undang-Undang Perjudian Inggris memperbolehkan iklan taruhan di TV. Tak urung, sejak saat itu, mengingat sumbangsihnya yang besar dan tak pernah dalam penyelenggaraan kompetisi sepakbola, iklan taruhan tak pernah beranjak dari tayangan pertandingan sepakbola. Selama empat tahun sampai tahun 2016, rumah judi menggelontorkan miliaran pound untuk membeli spot iklan di TV dan pengeluaran ini bakal terus naik. Tahun kompetisi ini menjadi saksi munculnya format baru: iklan setengah lancar selama ritual salaman sebelum pertandingan dimulai—semacam pengilon terakhir bagi penonton yang membawa ponsel pintar bahwa sesungguhnya masih ada waktu untuk ikut bertaruh.

Para penyiar jelas tak punya otoritas dalam kancah Sepakbola, namun pengaruh mereka tak bisa dianggap enteng. Hal semacam itulah yang terjadi di Inggris, di mana kesepakatan terbaru antara sebuah stasiun TV dan Premier League mancapai nilai fantastis £5.14 miliar (atau setara Rp87 triliun), jumlah yang sangat tinggi dan bahkan melampui pasar transfer seantero Inggris dan alasan kenapa klub-klub Inggris masih sangat menarik bagi para pemain sepakbola kelas dunia.

Dengan kata lain, kita bisa mengatakan bahwa perjudian punya andil dalam jalannya sebuah kompetisi sepakbola di Inggris, yang ujung-ujungnya melarang pesertanya ikut-ikutan bertaruh. Artinya tak berlebihan jika kita menyorot integritas pemain dan klub terkait judi bola setelah ada tiga insiden memalukan yang sudah dibahas sebelumnya.

Iklan

Sumber gambar: PA Images.

Di satu sisi, kita bersyukur pesepakbola nyentrik macam Shaw, Barton, dan kawan-kawannya mau jadi martir guna mengungkap hubungan tak sehat antara rumah taruhan dan sepakbola. Di sisi lain, kita harus berhati-hati bahwa tiga kasus ini cuma pengalihan isu semata. Kasus-kasus ini adalah ancaman dari integritas kompetitif sepakbola, seperti banyak dikatakan banyak orang, namun di saat yang sama menutupi fakta penting bahwa yang salah bukan kompetisi sepakbola tapi manusia yang berkecimpung di dalamya.

Mari kita bahas iklan-iklan TV di atas. Bentuknya bervariasi—endorsement dari seorang pesohor hingga yang bentungnya cuma kepala semata—tapi pesannya toh tetap sama: kalau kamu seorang lelaki muda dan ingin dihargai rekan sejawatmu, mbok ya sekali-kali berani ikut taruhan. Syukur kalau keterusan.

Imej judi sebagai pilihan gaya hidup lebih jauh disandingkan dengan fakta keras bahwa rata-rata pejudi online memiliki tiga akun taruhan. Penelitian termutakhir yang dilakukan oleh Gambling Commisson, badan pangatur rumah perjudian di Inggris, mengungkap bahwa angka orang yang mengaku kecanduan berjudi online naik sampai 40 persen dalam tiga tahun terakhir—dan angka pejudi kambuhan berumur 16-24 tahun hampir naik dua kali lipat di Britania Raya. Dua pertiga pejudi online percaya bahwa mereka lekas bertaruh setelah melihat iklan di TV. lalu apa yang bisa simpulkan? Gampang saja: iklan-iklan rumah taruhan itu bekerja sangat efektif.

Iklan

"Di dunia saat ini, ketika semua dengan gampang diakses, generasi muda sekarang tak akan bisa menghindar dari serbuan iklan rumah judi," ujar Marc Etches, CEO Gamble Aware, pada VICE Sports. "Faktanya adalah kita tak tahu apa dampaknya dalam10 atau 15 tahun ke depan—mungkin malah tak ada sama sekali—tapi setidaknya kita harus bersiap-siap menanggulanginya. Rasanya akan sangat bijak jika iklan taruhan disertai peringatan agar penonton bertaruh dengan penuh tanggung jawab dan sadar risiko ikut memasang taruhan."


Rumah judi sebetulnya model bisnis yang secara tak berimbang menarget kaum miskin (buktinya, kaum miskin di Inggris menghabiskan dua kali lipat jumlah uang untuk taruhan daripada berinvestasi). Mereka terdorong berjudi tanpa banyak berpikir keras tentang moral dan tetek bengek semacamnya. Kawasan perjudian banyak dijuampai di kawasan miskin. Terminal-terminal taruhan fixed odd—yang diiklankan sebagai "kokainnya perjudian"—diperkirakan meraup taruhan senilai £20miliar tiap tahunnya (sebelum pemerintah UK menindak lokasi-lokasi judi ini, membatasi jumlah maksimal taruhan yang mereka bisa terima menjadi £50 atau setara Rp800 ribu per 20 detik).

Parahnya, model perjudian yang diiklankan pada para penggemar sepakbola sudah selangkah lebih maju. Memasang taruhan lewat aplikasi di ponsel pintar tak hanya mengeliminasi kewajiban mendatangi bandar judi. Pejudi bahkan tak harus menyetorkan sejumlah uang, seperti yang banyak kita saksikan di Indonesa dan negara-negara Asia lainnya.

Iklan

Industri rumah judi juga berhasil menerapkan strategi cerdik agar pemasukan tetap stabil meski ada pertentangan dalam badan-badan yang berkecimpung di dalamya. Misalnya, salah satu dana amal rumah perjudian—Young Gamblers Education Trust, menempatkan dua pelaku industri rumah taruhan dalam Struktur Dewan Penasehat. Bulan Januari lalu, seorang tokoh perjudian memegang jabatan di Responsible Gambling Trust charity dan Association of British Bookmakers secara bersamaan. Dia melobi untuk kepentingan badan kedua meski memegang posisi penting di badan yang pertama. Masih kurang konyol, camkan ini: Gamble Aware, organisasi amal yang berkomitmen mengurangi kerugian dan persoalan yang muncul karena judi, malah didanai sepenuhnya oleh rumah-rumah taruhan (seperti yang dimandatkan oleh Gambling Commission).

Sepakbola Skotlandia turut kebanjiran sponsor rumah judi. Sumber: PA Images.

Proses rekruitmen yang diterapkan dalam industri rumah taruhan juga lumayan mencurigakan. Pada 2011, Ladbrokes memperkenalkan aturan baru yang memungkinan lapak-lapak cabang mereka dikelola oleh satu orang saja. Keputusan ini pada akhirnya berhasil mengerem pengeluaran rumah judi itu sampai sebesar £200juta (atau sekitar Rp3,3 miliar) dalam lima tahun. Sejak saat itu, penjaga lapak Ladbrokes yang bekerja sendirian telah menjadi korban penyerangan, pemerkosaan bahkan pembunuhan. Para pekerja di rumah judi Betfred, Stan James, Coral, ataupun Paddy Power kerap rutin diminta bekerja sendirian. Kelimanya adalah rumah judi adalah langganan iklan dalam tayangan sepakbola Inggris.

Iklan

Setelah menerima hukuman larangan bermain, Barton menulis, "FA harusnya menyadari akan adanya pertentangan keras antara aturan yang mereka buat dan kultur yang melingkupi sepakbola modern, ketika semua orang yang menonton tayangan sepakbola di TV atau datang langsung ke stadion dibombardir oleh iklan dari rumah-rumah judi. Ini bukan lingkungan yang ideal untuk menggalang kampanye berhenti berjudi atau bahkan untuk menyakinkan pelaku industri sepakbola bahwa berjudi itu tindakan keliru."

Mantan pemain bertahan Manchester City, Martin Demichelis. turut berkomentar senada ketika kedapatan memasang taruhan dalam beberapa pertandingan sepakbola. "Bertaruh itu kan cuma caraku mengusir kebosanan," katanya. "Yang mengherankan adalah ketika kamu pergi ke stadion, ada banyak iklan dan kesempatan memasang taruhan dari banyak sekali rumah judi."

Bisa jadi, dua pemain cuma tengah membela diri. Toh, argumen mereka tak bisa dikesampingkan. Hari-hari ini makin susah membedakan mana kepentingan sepakbola dan mana kepentingan rumah judi. Vonis dijatuhkan pada kedua pemain di atas bisa dilihat sebagai sebuah bentuk kemunafikan. Di saat yang sama, kita pun tak bisa begitu saja menutup mata bahwa FA sudah melakukan edukasi yang dibutuhkan tentang resiko dan larangan ikut serta memasang taruhan. Keduanya memang melanggar peraturan.

Yang menarik dicatat, komentar Demichelis tentang judi untuk membunuh kebosanan ada benarnya. Penelitian menunjukkan di masa ponsel pintar ini, kemampuan otak untuk fokus turun hampir sepertiganya—cuma tinggal 8 detik saja— dan tempat kedua paling popular untuk memasang taruhan—jauh mengungguli kantor, stadion dan pub—adalah di dalam kereta bawah tanah. Nah, yang bikin takjub adalah iklan judi online bisa memanfaatkan keduanya—adiksi terhadap ponsel pintar dan judi—dalam sekali pukul.

Iklan

Mungkin, meski keterpisahan kepentingan antara sepakbola dan industri taruhan bukannya suatu yang mustahil seperti yang sering kita duga. Ketua FA, Greg Clarke, menugaskan anak buahnya menyusun laporan tentang pantas tidaknya rumah judi sebagai mitra bisnis. Sementara itu, meski para penyiar tak punya begitu menahan diri untuk melibatkan diri dalam kesepakatan komersil rumah judi, ada yang mengatakan bahwa pemerintah tengah meninjau ulang aturan tentang industri taruhan yang kemungkinan besar akan membongkar skandal besar di dunia periklanan, seperti yang terjadi di Australia.

"Masalah iklan rumah judi memang sudah seharinya jadi kekhawatiran dan buah bibir banyak orang—ini masalah di hampir semua cabang olahraga tapi paling banyak dijumpai di sepakbola," ujar Marc Etches dari Gamble Aware. "Kalau melihat dari langkah-langkah yang diambil FA, kita akan melihat perubahan besar dalam waktu dekat. Sepakbola akan lebih punya menyadari tanggung jawabnya untuk memberikan pesan yang berimbang tentang judi."

Poin kedua Etches tentang tanggung jawab industri ada benarnya. Meski dalam praktiknya, ada subyektivitas yang susah dihindari: sebagian orang akan menuduh FA bersalah karena menerima uang sponsor dari Ladbrokes, sementara yang lainnya bakal santai-santai saja dengan hal ini. Lagipula, kabar tentang FA yang berbenah diri ini juga terdengar meragukan kendati keren: apakah laporan penelitian yang digagas FA bakal pemecahan masalah yang dibikin oleh FA sendiri? Apakah FA berani melarang diri menerima tawaran menggiurkan dari rumah-rumah judi? Entahlah, kita tunggu saja.

Yang sudah kentara adalah frekuensi terjadinya kasus-kasus kolusi pemain dan rumah judi. FA baru saja mulai menyelidiki kasus penarikan John Terry di menit 26 dalam pertandingan pamungkasnya dengan Chelsea. Ada dugaan, penggantian ini adalah hasil main mata antara orang dalam klub dengan bandar. Jika dugaan tersebut benar, maka insiden ini telah mencederai spirit fair play dan menyebabkan tiga pemasang taruhan menang besar. Bulan lalu, semua mata tertuju pada "kebetulan" antara berita transfer besar—yang biasanya diperoleh dari "sumber anonim"—dengan fakta bahwa perusahaan kembaran Sky Bet menerima taruhan tentang transfer antar pemain di jeda antar musim.

Semakin jelas saja, pemisahan industri perjudian dari sepakbola harus dilakukan secara serius. Persoalan lainnya sekarang adalah mencari cara bagaimana pemisahan industri sepakbola dan judi bisa diatur secara tegas, serta siapa yang akan mengaturnya. Apakah FA, Gambling Comiiison atau Advertising Standards Authority?

Mengingat kepentingan finansial stasiun TV, rumah judi, dan klub sepakbola makin susah dibedakan, rasanya perubahan ini wajib segera digalang dari pihak di luar lingkaran setan. Suporter punya peran penting untuk memutus mata rantai perjudian dan sepakbola.

Follow penulis di akun @A_Hess