Jalan Panjang Jamarr Johnson Membela Timnas Basket Indonesia
Foto oleh Sean Teuma

FYI.

This story is over 5 years old.

Basket

Jalan Panjang Jamarr Johnson Membela Timnas Basket Indonesia

Awalnya datang karena panggilan Tuhan, atlet asal AS ini lantas berhasil membawa klub CLS Knight menjadi juara IBL untuk pertama kalinya sepanjang sejarah.

Jamarr Andre Johnson meninggalkan kampung halamannya di New Jersey, Amerika Serikat, demi Indonesia—mengejar cita-cita menjadi atlet basket profesional. Johnson awalnya terpanggil datang ke Indonesia atas panggilan agama. Dia tinggal selama sebulan, melatih anak-anak sekitar bermain basket, sekaligus mengajar agama Kristen sebagai bagian dari program olahraga dari jaringan misionaris internasional yang dinamai Athletes in Action. Kunjungan ke Indonesia itu, nyatanya, bukan yang terakhir. Dia selanjutnya nekat meninggalkan AS. Dari awalnya hanya melatih anak-anak bermain basket, Jamarr terus memupuk mimpi menjadi pemain basket profesional. Ketika pulang kampung, sambil menunggu proses visa, dia berlatih keras. Jamarr tentu sadar dia tidak punya tawaran kontrak profesional jika memutuskan pindah ke Indonesia. Tapi dia yakin sekali jika kembali ke Indonesia, semuanya akan baik-baik saja. "Saya bangun pukul 6 pagi, lari, lalu pergi kerja. Olahraga lagi pada istirahat makan siang, dan usai bekerja saya olahraga lagi. Begitu terus setiap hari," ujarnya. "Saya tidak tahu tim mana di Indonesiayang sedang mencari pemain. Saya engga punya koneksi luar negeri. Saya bahkan engga punya agen, tapi saya yakin saja, akan ada tawaran bagus." Keyakinan Jamarr terbukti. Perkawanannya yang tidak disengaja dengan laki-laki muda yang dikenal ketika pertama datang ke Indonesia mengubah hidup Jamarr. Sobatnya itu ternyata memiliki tim—klub basket betulan—membukakan pintu baginya untuk bermain basket profesional di Tanah Air. Itu adalah hasil dari kerja keras menahun—ditambah secuil keberuntungan—dan dia sadar ini adalah kesempatannya untuk membuktikan diri.

Iklan

Pada tahun pertamanya bergabung dengan klub asal Surabaya CLS Knights, Johnson memenangkan penghargaan pemain muda terbaik, dan dinobatkan MVP dan Finals MVP Indonesia Basketball League 2016. Dia juga memimpin liga dengan mencetak skor, membawa CLS Knights meraih juara untuk kali pertama sepanjang sejarah tim. Jamarr, tidak diragukan lagi, menjadi tulang punggung dari tim yang mengalami musim terbaik dalam sejarah basket Indonesia. VICE Indonesia ngobrol-ngobrol bersama Johnson di Surabaya, di sela-sela persiapannya menyambut musim IBL yang akan datang. VICE Indonesia: Bagaimana ceritanya kamu mendapat kesempatan bermain di klub basket profesional Indonesia?
Johnson: Kesempatan itu mampir dua tahun lalu. Saya ketemu dengan pemilik tim CLS yang sedang main basket, dan kami langsung nyambung. Kami berteman akrab. Kami suka main PlayStation dan nongkrong bareng di Starbucks. Saya engga tahu dia punya tim basket, gila banget deh. Saya awalnya berniat pulang ke AS untuk main di ABA (American Basketball Association-red). Eh, tapi dia bilang dia bisa membantu saya mengurus naturalisasi (menjadi WNI). Saya girang lah. Terus dia juga bilang punya tim basket profesional. Saya kaget, "Lho, kamu punya tim sendiri?!" Dia bilang timnya di Surabaya. Saya belum pernah ke kota itu. Lalu dia mengajak saya ke sana. Sisanya adalah sejarah. Lalu kamu dinaturalisasi jadi warga negara Indonesia?
Prosesnya cukup rumit dan lama. Saya tahu pemerintah Indonesia menerapkan proses ini untuk pemain sepak bola juga, dan katanya prosesnya bisa bertahun-tahun. Proses saya untungnya hanya setahun. Setahun menunggu. Saya wajib belajar macam-macam, mengingat banyak hal. Setelah musim pertama yang sukses, apa target pribadimu selanjutnya?
Saya ingin menjadi semakin efesien, bisa melempar bola lebih tinggi, dan mendapatkan posisi tembak lebih strategis. Biasanya, saya sangat agresif. Tahun lalu saya mendapatkan banyak poin karena saya lebih gede dan kuat dibandingkan pemain tim lawan—jadi saya bisa menerobos paint dengan mudah. Tahun ini, para pemain lawan sudah semakin gede, terutama sesama pemain asing, jadi tembakan jarak menengah dan tembakan tiga poin saya mesti lebih baik. Setiap hari saya latihan shooting bola. Saya melempar sekurang-kurangnya 200 kali tiap hari. Sepadan sih, saya sudah merasakan kemajuannya. Kalau saya punya kesempatan bermain di posisi sayap, kayaknya saya bisa bermain lebih efisien. Tapi tahun ini sejujurnya saya hanya ingin tim saya kembali menang.

Jamarr berlatih di GOR Kertajaya Surabaya. Foto oleh Sean Teuma

Kamu merasa ada tekanan tersendiri sebagai pemain asing di Liga Basket Indonesia?
Pertama kali datang ke sini, saya adalah orang Amerika satu-satunya di liga. Itu hal yang saya anggap biasa saja. Ternyata kehadiran saya cukup membuat gempar. Rasanya kayak, "apaan dah? Ini main-main doang kali, bukan basket!" Saya bukan bermaksud menyinggung mutu kompetisi di Indonesia lho. Tapi seiring dengan bertambahnya jumlah pemain Amerika di liga Indonesia, rasanya ada sesuatu yang sulit dicerna pemain-pemain lokal. Mereka belum pernah melawan laki-laki yang berbadan besar dan kuat, yang bisa ngesyut, dunk, dribble, sekaligus mempertahankan kedua sisi—atlet basket yang bisa melakukan segala posisi dan tugas. Saya rutin melihat atlet macam begitu di SMA atau kuliah, tapi tidak di Indonesia. Semoga atlet Indonesia bisa melihat gambaran iklim basket Amerika secara lebih luas berkat kedatangan kami. Kamu sekarang diundang bermain untuk tim nasional Indonesia. Bagaimana rasanya?
Posisi di tim nasional di negara ini penting banget, prestise-nya lebih tinggi dibanding sekadar menjadi pemain asing direkrut liga profesional lokal. Sebab timnas Basket Indonesia dulunya tertutup dengan pemain naturalisasi. Kini pemain kelahiran Amerika seperti saya bisa masuk, dan itu sangat membanggakan. Saya berada di Indonesia dan dipilih untuk membela timnas. Saya sangat tersanjung dan bersyukur. Saya mencoba menemukan kenyamanan di dalam sistem yang ada, bagaimana kami semestinya main basket. Karena setidaknya kalau di CLS Knighst selain saya masih ada satu atlet Amerika lain. Sedangkan kalau di tim nasional hanya ada saya. Jadi rasanya seperti tahun lalu ketika saya mesti melebur dengan budaya asing, mesti belajar dan beradaptasi, agar saya tetap waras. Bagaimana rasanya tinggal di Indonesia?
Setiap hari saya melihat sekitar lalu mikir, "Wah, ada ya negara seperti ini?" Budaya dan lingkungan di Indonesia—setidaknya dibandingkan dengan kampung halaman saya—benar-benar tidak ada duanya. Saya menyaksikan tingkat kemiskinan yang mengkhawatirkan, susah dipercaya awalnya. Itulah yang membuat saya tertarik ketika pertama kali ke Indonesia. Saya belum pernah melihat anak-anak lari-larian nyeker seperti hal yang normal. Hal-hal seperti itu membuat saya berusaha terus rendah hati. Negara ini telah melatih kesabaran saya. Setiap hari saya mengingatkan diri sendiri untuk tetap menjejak tanah. Bangun pagi, mengingat kalau beberapa tahun silam saya engga punya apa-apa. Sedangkan di tempat ini sekarang, saya memperoleh kesempatan untuk berbuat sesuatu. Sebagai orang asal AS yang hidup di negara mayoritas Muslim seperti Indonesia, apakah kamu jadi punya pandangan berbeda soal kebijakan imigrasi Donald Trump?
Umat Islam dan agama-agama lain, pada dasarnya juga manusia. Kita semua manusia, dan kita hidup dalam budaya yang membentuk sistem iman kita. Saya tidak terlalu paham apa yang terjadi di Amerika, karena saya sekarang sangat berjarak dari budaya Amerika. Facebook saya jadi aneh, saya engga bisa mantengin timeline kawan-kawan lama karena pas saya bangun mereka masih tidur.

Yang jelas, saya sedih mendengar apa yang dilakukan Trump terhadap imigran yang telah tinggal di sana. Saya tumbuh besar dengan kawan dari berbagai kebangsaan, dan tidak pernah punya masalah. Setiap orang dari berbagai latar belakang bangsa ada dan tinggal [di Amerika], jadi mengapa mengucilkan seseorang karena agama yang dianutnya? Katanya Amerika negara bebas? Engga masuk akal.