Seksisme Di Balik Perencanaan Kota

FYI.

This story is over 5 years old.

Tata Kota

Seksisme Di Balik Perencanaan Kota

Banyak kota di dunia dirancang memakai sudut pandang lelaki, sehingga perempuan mengalami hambatan dan rasa tidak nyaman di luar rumah. Waktunya mengubah paradigma tersebut.

Artikel ini pertama kali tayang di Motherboard.

Saya pernah tinggal di beberapa kota besar di dunia dan selalu penasaran kenapa saya merasa lebih aman di kota seperti Mumbai dan New York, dibanding New Delhi atau Washington D.C.

Statistik menunjukkan bahwa perilaku kekerasan terhadap perempuan lebih sering terjadi di Delhi dibanding Mumbai. Tingkat kriminalitas di DC juga lebih tinggi dibanding New York. Saya juga punya pengalaman pribadi untuk membuktikannya—ketika di DC, saya tengah berjalan kaki di daerah yang sepi. Seorang pria mengikuti saya dan memamerkan 'anunya' di trotoar di siang hari. Suatu ketika di Delhi, saya mempertimbangkan untuk memanggil taksi Uber, esoknya seorang perempuan menuduh supirnya melakukan tindakan pemerkosaan.

Iklan

Ada semacam rasa tidak nyaman tinggal di kota-kota metropolis dan saya terus berusaha mencari tahu lokasi-lokasi yang aman di tengah segala infrastrukturnya. Mengingat latar belakang saya adalah sejarah urban planning, saya mengambil kesimpulan bahwa kebanyakan desain kota besar tidak pernah memperhitungkan perempuan.

"'Tempat perempuan itu di dalam rumah' merupakan salah satu prinsip desain arsitektur dan urban planning Amerika Serikat paling penting dalam satu abad terakhir," tulis Dolores Hayden, seorang ahli sejarah tata kota lewat esainya What Would a Non-Sexist City Be Like?

Rencana tata kota New York City pada1660. Sumber gambar: New-York Historical Society Library, Maps Collection

Kini tata kota berada di titik persimpangan yang penting dalam sejarah umat manusia, mengingat sistem-sistem infrastruktur berbagai negara mulai tertinggal oleh inovasi-inovasi baru. Sekarang ada Uber, Gojek, Grab dan berbagai transportasi umum berbasis applikasi yang menggantikan sistem transportasi tradisional. Elon Musk berusaha membangun Hyperloop, semacam kereta kapsul berkecepatan tinggi dan juga lorong bawah tanahnya. Gaya hidup manusia pun mulai berubah: semakin banyak anak muda ngontrak tempat tinggal bareng sebelum mereka menikah, dan anak-anak akan cenderung memilih tinggal seatap di rumah orang tua karena mahalnya harga jual maupun sewa rumah. Tren ini terjadi di semua negara.


Kita tidak bisa menghapus seksisme begitu saja atau mencegah cowok-cowok iseng yang suka nongkrong lalu menggoda penumpang perempuan di stasiun kereta. Ini adalah masalah budaya, dan tata kota tidak bisa menghilangkan masalah ini sekali libas. Setidaknya sekarng banyak perencana perkotaan mencari desain dan teknologi baru yang akan memperhitungkan faktor kenyamanan hidup perempuan dalam perencanaan kota masing-masing.

Iklan

Transportasi adalah area di mana pembagian ruang dan interaksi antar gender paling terasa dalam keseharian. World Bank beberapa kali menggelar konferensi tahunan tentang transportasi yang inklusif, salah satu tanda bahwa sebuah kota sukses secara ekonomi dan sosial.

"Kita membutuhkan sebuah sistem yang bisa menghubungkan semuanya dengan mulus—yang bisa menyesuaikan dengan kebutuhan penduduk," kata Susan Zielinski, mantan planner transportasi di kota Toronto yang juga seorang profesor di Universitas Michigan.

Zielinski, yang pernah terlibat dalam desain sistem dan protokol baru demi infrastruktur kota yang lebih seimbang, mengatakan bahwa banyak perdebatan seputar isu akses.

KRL khusus perempuan di Keio Line Stasiun Shinjuku, Tokyo. Sumber gambar: Wikimedia Commons

Ada beberapa alasan kenapa perempuan mengakses transportasi dengan cara yang berbeda dibanding laki-laki. Contohnya, perempuan memiliki kebiasaan yang berbeda dalam hal transportasi karena banyak dari mereka menyambi pekerjaan dan tugas rumah tangga. Mereka juga cenderung menempuh lebih banyak perjalanan pendek dibanding pria. Perempuan kemungkinan besar mempunyai lebih banyak urusan perintilan yang harus diselesaikan dibanding suami, sebab data global menunjukkan lebih banyak perempuan bekerja sebagai freelancer—gaya hidup yang membutuhkan banyak pertemuan-pertemuan secara spontan dan last minute. Selama perempuan masih digaji lebih rendah dibanding laki-laki (rata-rata gaji perempuan secara global lebih rendah 20 persen dari rerata di Amerika Serikat), mereka membutuhkan sistem transportasi yang sesuai dengan kondisi keuangan cekak.

Iklan

"Transportasi adalah titik tumpu yang memberikan perempuan kesempatan untuk berpartisipasi dalam dunia pekerjaan," kata Sonal Shah, perencana tata kota asal Delhi yang bekerja untuk Institute for Transportation and Development Policy.

Isu akses transportasi semakin diperberat oleh faktor keamanan: Kebanyakan perempuan di New York sudah pernah mengalami situasi tidak enak: duduk di kereta yang kosong sambil dipandangi oleh pria bejat. Tempat-tempat umum lainnya yang juga kerap tidak aman seperti stasiun kereta, parkiran mobil dan halte bis di jalanan yang sepi dan gelap semakin membuat perempuan enggan untuk meninggalkan rumah sebelum jam berangkat atau pulang kerja, demi menyelesaikan proyek—semakin memperparah kesenjangan gaji antar gender.

Survei keterkaitan gaji perempuan dan pilihan moda transportasi umum mereka di AS. Sumber gambar: FIA Foundation

Beberapa kota berusaha menyesuaikan sistem mereka agar lebih ramah terhadap perempuan. Di Brasil misalnya, kota Rio de Janeiro berusaha membuat kereta lebih aman dengan menambah jumlah lampu di setiap gerbong. Sama seperti Jepang dan India, mereka juga menambahkan gerbong khusus perempuan, solusi tambal sulam yang cepat dalam isu transportasi. Pemkot New York mempertimbangkan sistem gerbong KRL terbuka agar penumpang bisa mudah pindah dari area yang sepi ke yang lebih ramai.

Di India, yang berulang kali kasus pelecehan seksualnya menjadi isu nasional dalam beberapa tahun terakhir, pemerintah setempat berusaha memasang sebanyak mungkin CCTV, kamera pengawas dan memperbanyak lampu di dalam kereta maupun stasiun. Namun, seperti kata Shah, tidak semua pojokan bisa diawasi. Metode ini tidak selalu sukses—di daerah yang dihuni masyarakat berpendapatan rendah, solusi ini justru bisa menimbulkan masalah kesehatan dan isu privasi.

Iklan

Zielenski mengatakan banyak negara-negara Skandinavia—tidak heran, mengingat negara dari kawasan itulah yang terdepan dalam isu kesetaraan gender—telah membuat sistem yang lebih ramah dengan cara menghubungkan kereta, mobil dan sepeda secara mulus dan aksesibel.

Kini banyak generasi perencana tata kota maupun arsitek muda mengikuti jejak yang sama. Mereka tidak ingin sekedar mendesain jalan raya agar muat lebih banyak mobil atau memperbaiki mutu jalanan. "Generasi millenial mengerti pentingnya sistem dan multimodalitas angkutan umum dibanding sekedar mencari identitas lewat mobil pribadi," ungkapnya.


Selagi sistem transportasi semakin mendekati kesetaraan, berarti yang tersisa adalah tempat tinggal, kantor dan tempat nongkrong. Di ruangan-ruangan inilah kita masih harus melawan mental patriarki yang mendasari filosofi para arsitek dan insinyur sipil ketika merencanakan sebuah kota.

Seperti yang ditulis oleh Dolores Hayden di esai What Would a Non-Sexist City Be Like?, kebanyakan kota didesain agar laki-laki bisa dengan mudah keluar rumah dan pergi bekerja selagi perempuan tinggal di rumah dan merawat anak-anak. Pulang ke rumah dianggap sebagai masa istirahat bagi lelaki, jadi rumah didesain terpisah dengan lingkungan kerja, terutama karena banyak pekerjaan lelaki di saat itu melibatkan industri yang kotor dan penuh polusi.

Perencanaan kota satu zona macam ini, dimana pekerjaan dipisahkan dari rumah sayangnya tidak pernah berubah biarpun angka tenaga kerja perempuan semakin meningkat dan banyak pekerjaan mulai beralih dari buruh pabrik ke lingkungan kantoran paska revolusi industri. Kini, pola ini semakin memberatkan perempuan sekaligus melakoni 40 persen (atau bahkan lebih di negara-negara berkembang) dari tugas rumah tangga serta membesarkan anak.

Iklan

Hayden mengatakan salah satu cara terbaik untuk mendukung perempuan yang aktif bekerja adalah dengan menciptakan situasi tempat tinggal yang komunal. Misalnya rumah yang dibangun di sekitar taman bermain, dimana orang tua bisa saling menjaga anak tetangga, atau dimana keluarga bisa saling pinjam-meminjam mobil. Saat ini, kita terlalu bergantung kepada tempat penitipan anak, pengasuh anak dan jadwal kegiatan yang menghabiskan waktu dan dana perempuan.

Di Vienna, Austria, para pengembang infrastruktur memikirkan masalah ini di 1993. Lewat proyek bernama Frauen-Werk-Stadt (Perempuan-Pekerjaan-Kota), mereka membangun gedung apartemen yang dikelilingi oleh area taman yang hijau. Kompleks tersebut juga mencakup gedung TK, apotek, dan tempat praktek dokter. Dan lokasinya dekat dengan transportasi umum. Proyek tersebut kini dianggap sukses oleh PBB.

Proyek Vienna juga tidak hanya mencakup tempat tinggal. Di Vienna, trotoar jalanan diperlebar, gang-gang kecil diperterang dan taman umum didesain ulang.
Biarpun ruang umum seperti plaza dan taman dimaksudkan untuk menyatukan penduduk, mereka justru bisa membuat perempuan semakin rentan pelecehan. Saya terkejut ketika Emily May, direktur Hollaback NYC, cabang dari organisasi anti-pelecehan mengatakan ke saya bahwa perempuan di New York adalah yang terbanyak melaporkan isu pelecehan di tempat umum terbuka, di daerah seperti Times Square dan Penn Station, bukan di jalan-jalan kecil atau gang-gang gelap.

Iklan

"Ada asumsi orang-orang di sekitar TKP akan membela perempuan ketika tindak pelecehan terjadi," katanya, "Tapi asumsi ini seringkali terbukti tidak benar. Tingkat trauma akan semakin meningkat ketika tidak ada yang menolong. " May mengatakan ada faktor-faktor tidak terlihat yang membuat seorang perempuan merasa tidak aman di sebuah kota—kurangnya jendela atau pencahayaan yang buruk, tapi hal ini mudah diatasi.

Keamanan di tempat umum tentunya bukan hanya produk dari urban planning yang kacau. Ada juga faktor kultur dan penegakan hukum. Banyak perempuan dari kaum minoritas dan komunitas LGBTQ kerap lebih sering dilecehkan dibanding kaum mayoritas. Dengan cara mendesain ruang pribadi dan publik yang ramah perempuan, pengalaman-pengalaman seperti ini dapat dirubah, dan bahkan mengubah cara masyarakat berinteraksi.

Sudut pandang seperti ini membantu saya mengerti pengalaman pribadi yang menimpa di beberapa kota-kota besar. Di Mumbai misalnya, ruang publik selalu memiliki pencahayaan yang baik dan penuh dengan laki-laki dan perempuan. Sementara di Delhi, begitu saya melangkah keluar dari kereta, saya berada di jalanan sepi yang mengkhawatirkan. Di Washington DC, jalur kereta lebih jarang berhenti dibanding kereta bawah tanah New York. Mengingat daerah tempat saya tinggal jauh dari gedung perkantoran, saya harus berjalan kaki lumayan jauh.


Zielenski berharap teknologi dan inovasi akan merubah pengalaman perempuan yang tinggal di kota besar. Pencahayaan yang cukup di trotoar, misalnya, bisa mengamankan beberapa daerah dan biayanya rendah. Applikasi yang bisa menunjukkan pejalan kaki rute aman pulang ke rumah juga bisa diciptakan. Banyak perencana kota mulai mengadopsi filosofi desain universal yang memperhitungkan kaum defabel, manula, dan tentunya perempuan.

Biarpun tata kota mungkin tidak akan sepenuhnya menghapus masalah yang menimpa perempuan di kota besar—seperti pelecehan di jalanan atau laki-laki di hubungan heteroseksual yang malas melakukan tugas rumah—mendesain kota agar lebih inklusif akan menciptakan lingkungan yang kian semakin membuat setiap manusia setara.

"Harusnya batas antar gender semakin tidak jelas di masa depan," kata Zielenski. "Apa yang baik bagi perempuan itu baik bagi semua orang."