FYI.

This story is over 5 years old.

Berita

Pertamina Berupaya Menghabisi 'Saudara Tirinya’ Pertamini

Pertamini yang menjual BBM eceran dengan cara kreatif dianggap BUMN migas itu melanggar aturan pemerintah. Bisnis akar rumput ini terancam dilarang beroperasi selamanya.
Kios Pertamini di Bendungan Hilir. Foto oleh penulis.

Perjalanan darat melewati jalan lintas Sumatera Selatan-Jambi pertengahan 2014 adalah kali pertama saya melihat fasilitas pengisian bahan bakar bertuliskan Pertamini, yang beroperasi di jalanan terpencil. Terdiri atas tabung berisi bahan bakar, selang menyerupai sarana pom bensin, serta warna merah putih laiknya Stasiun Pengisian Bahan Bakar Umum (SPBU) resmi milik Pertamina.

Saya meyakini kios dan alat pengisian bahan bakar minyak bertuliskan Pertamini memiliki hubungan resmi dengan Badan Usaha Milik Negara PT Pertamina; sepertinya mereka bersaudara. Saya sempat lama mengira Pertamini dihadirkan khusus oleh Pertamina untuk melayani daerah-daerah terpencil yang tak memiliki stasiun pengisian bahan bakar.

Iklan

Keyakinan itu keliru besar.

Asumsi saya tentang Pertamini goyah, setelah membeli BBM di salah satu kiosnya, di pinggir jalan Kota Bandung. Rupanya mereka menjual BBM di atas harga standar pemerintah, kadang mencapai Rp10.000 per liter. Tidak ada bedanya dari harga yang dipatok bensin eceran lainnya.

Fakta lain lebih mengejutkan, Pertamina ternyata 'saudara tua' yang berupaya menghabisi eksistensi Pertamini. Kisah ini lebih mirip narasi David melawan Goliath. Pemicu sengketa ini adalah kemiripan merek dagang. Pertamina menganggap para pengecer BBM melakukan pelanggaran serius. "Kami sudah daftarkan keberatan kami ke Depkumham karena terlalu mirip dengan brand dan semua perlengkapan Pertamina," kata Wianda Pusponegoro, Vice President Corporate Communication PT Pertamina saat dihubungi VICE Indonesia.

Sengketa Pertamina dan Pertamini tidak sesederhana tuntutan mengganti nama. Jika merujuk aturan Badan Pengatur Kegiatan Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas), kegiatan penjualan bensin eceran ini melanggar UU No 22 tahun 2001. Dasar hukum itulah yang dipakai Pertamina untuk meminta pemerintah melarang sepenuhnya kehadiran kios-kios Pertamini. BUMN Migas itu sekaligus menutup sepenuhnya kemungkinan menggandeng pedagang bensin eceran berkongsi bersama, lantaran mereka menjual premium dan solar yang disubsidi negara.

"Harus dicermati teliti. Karena kebanyakan pengecer ilegal ini justru beroperasi di area dekat SPBU," ungkap Wianda. "Apalagi tidak ada landasan hukum mengambil keuntungan dari BBM premium dan solar yang merupakan BBM khusus penugasan pemerintah."

Iklan

Pertamini, selama ini tumbuh organik di banyak tempat. Sarana pengisian bahan bakar swadaya ini ternyata punya sosok pencetus. Andri Ali Said mengaku pada VICE sebagai salah satu konseptor ide awal alat pengisian BBM ala Pertamini. Dia pertama kali merakit alat itu di Jakarta delapan tahun lalu.

Andri mengklaim tidak pernah sengaja mencetuskan julukan Pertamini. Kendati demikian, dia mengakui, pemakaian nama Pertamini lebih mudah diterima masyarakat dan menguntungkan pedagang sejenis karena mudah diingat. Selain itu, para penjual bensin eceran yang memakai alat Pertamini menganggap bisnis ini menjanjikan serta inovatif.

Salah satunya adalah Wullai Uniwaly, pria asal Kota Ambon, Maluku, yang beralih memakai alat Pertamini setelah lama berdagang bensin eceran memakai botol.

"Di Ambon agak jauh dari tempat bensin juga, agak di gunung," ujar Wullai. Dia menjual bensin setara premium dengan alat itu, mematok harganya Rp7.500 per liter. "Karena lebih praktis ini pakai alat ini, sebelumnya jual eceran pakai botol. Kata orang di sana, kalau pakai botol curang juga, engga satu liter."

Andri mengajak saya melihat langsung bagaimana tabung Pertamini dibuat oleh belasan rekan kerjanya, di sebuah bangunan tak terpakai kawasan Manggarai, Jakarta Selatan. Alat Pertamini dibuat melalui dua tahun proses riset dan percobaan, sampai akhirnya pria berusia 30-an dan kawan-kawan itu berani menjualnya secara massal. Meskipun dibuat dari teknologi sederhana, rancangannya tidak dipersiapkan main-main. Bagian luar stasiun pengisian sederhana ini dibuat dari kotak besi tebal, sedangkan bagian dalamnya merupakan drum berkapasitas 200 liter berlapis bahan anti-karat. Dudukan pemadam kebakaran (APAR) juga sudah disediakan untuk berjaga-jaga.

Iklan

"Ada saluran masuk dan saluran buang juga, rangka atap komplet sama lampunya, dan untuk dudukan APAR-nya sendiri ada, rodanya kita pakai rem, selangnya juga memang khusus buat kimia. Jadi selang ada ulir kawatnya di dalam," kata Andri. Satu set pertamini dijual seharga Rp6,5 juta. Andri mengaku bisa membawa pulang sekitar Rp70-100 juta per bulannya dari penjualan Pertamini rakitan. Pertamini jelas lebih masuk akal bagi pengecer bermodal cekak. BPH Migas mengizinkan pembangunan SPBU ukuran kecil asal memenuhi berbagai syarat. Misalnya memiliki jarak minimal tertentu dari SPBU resmi dan tersedia data konsumen pengguna yang kebutuhannya terverifikasi. Tapi aturan modal pembangunan pom bensin kecil yang dipatok BPH Migas berada di kisaran Rp75 juta-hingga Rp100 juta, belum tentu terjangkau kebanyakan penjual bensin eceran.

Salah pekerja di bengkel Andri berpose dekat rangka alat Pertamini. Foto oleh penulis.

Ketika ditanya perihal sertifikasi alat oleh pemerintah, Andri mengaku belum memilikinya. Walau begitu, ternyata PT Pertamina pernah mengajaknya bertemu. "Sempat kita diundang sama orang Pertamina waktu itu. Sampai sekarang saya engga tahu lagi gimana tuh ceritanya. Udah lumayan lama mungkin setahun yang lewat lah," kata Andri.

Karena itulah, Ali merasa heran alat buatannya sedang dibidik Pertamina atas perkara pelanggaran merek dagang dan penjualan ilegal BBM bersubsidi. "Kalau alasan mereka subsidi, bagaimana dengan gas yang tiga kilo itu? Itu dijual bebas di warung-warung. Itu subsidi juga," kata Andri. "Kalau mereka mempermasalahkan pedagang eceran, lalu bagaimana dengan pedagang bensin eceran botolan yang dari tahun kapan sudah ada."

Saya kemudian beralih ke Bendungan Hilir, Jakarta, di lokasi bawah pohon berjarak kurang dari 10 kilometer dari Pom Bensin. Ferry Agustian duduk berteduh sambil merokok di samping alat Pertamini miliknya. Dalam suasana terik matahari menyengat, saya mengajaknya bercakap-cakap. Ferry mengaku bisa meraup untung hingga Rp150,000 per hari, dengan menjual Premium dan Pertamax dalam harga yang disamakan yaitu Rp10.000 per liter.

Setelah bercakap-cakap dengan Ferry, saya tersadar; tidak ada alat pemadam kebakaran di kios kecil itu. Walaupun Andri telah merancang dudukannya, ternyata belum tentu pedagang menyediakan alat yang dimaksud. Artinya tidak ada jaminan keamanan bagi penjual maupun pembeli BBM di Pertamini. Barangkali ini salah satu kelemahan besar Pertamini yang membuat Pertamina ogah disangkut-pautkan—bahkan memusuhi—bisnis akar rumput tersebut.

"Bagaimana jika ada kebakaran dan merembet ke pedagang kaki lima sekitar dan melahap bangunan?" saya bertanya.

Ferry enteng menjawabnya sambil mengarahkan satu telunjuk ke selokan di sisi lain jalan raya. "Paling nanti pakai air doang, dari situ tuh di seberang."